Ketika Aku Pulang Kuliah


KETIKA AKU PULANG KULIAH
Oleh: M. Irfan Luthfi

Hari itu sungguh sangat panas. Matahari terasa membakar kulit meski Aku telah mengenakan jaket yang tebal. Celana Jeans, sepatu, kaos kaki tebal, hingga helm yang lengkap dengan penutup muka seolah tak mampu menahan teriknya sinar matahari. Panas matahari semakin terasa di saat lampu lalu lintas di depan UKDW menyala merah. Aku bersama motor kesayanganku harus berhenti menunggu lampu kembali menyala hijau. Sementara Aku menunggu, kusempatkan diriku untuk membalas beberapa SMS yang masuk ke ponselku. Ada sekitar sepuluh pesan yang belum sempat terbaca, dan diantara yang sepuluh itu ada SMS darinya. Kuputuskan untuk membuka sms darinya itu pertama kali dan isinya membuatku tersenyum. Yah, isi dari pesan darinya itu mengatakan, bahwa dia akan kembali ke Jogja esok pagi. Aku mengiyakan, namun ketika akan membalasnya lampu dengan cepat berganti nyalanya menjadi hijau. Segera kumasukkan ponselku ke dalam kantong jaket dan Aku segera melesat meninggalkan persimpangan yang sangat panas itu.


Setelah ku melesat meninggalkan persimpangan itu, Aku dengan cepat menyalakan lampu sen motorku sebelah kiri. Memberikan tanda pada pengendara lain yang ada di belakangku bahwa Aku akan mengambil jalur sebelah dalam. Ya, karena hari itu sangat panas, Aku memutuskan untuk tidak melewati fly over, namun melewati jalur kereta dan Stasiun lempuyangan yang tepat persis ada di bawah fly over tersebut. Jalur dekat stasiun itu memang teduh, namun sayang, kemacetanlah yang menjadi faktor lain mengapa jalan itu jarang dilewati oleh kendaraan roda dua. Hanyalah roda empat ataupun tiga yang sering melewati jalur ini. Entah mengapa, jalur ini serasa menjadi jalur elit.

Lagi – lagi Aku terjebak macet dan sampai mengharuskanku menghentikan laju motorku. Sambil menunggu mobil di depanku melaju, kusempatkan lagi diriku untuk membaca sms darinya lagi. Saat itulah kudengar samar – samar dari pengeras suara stasiun bahwa kereta yang sering membawanya kembali ke Jogja akan masuk. Seketika pikiranku melayang jauh dan dapat terbayang dengan jelas Aku tidak sedang bersama motorku. Pikiranku berhasil menipuku. Meskipun hanya bayangan, namun itu tampak jelas.

---***---

Aku sedang duduk di salah satu kursi peron sambil membaca sebuah buku. Aku duduk tenang, santai, membaca buku itu halaman per halaman hingga akhirnya tersadar ketika pengeras suara stasiun memberitahukan bahwa kereta yang sering membawa dirinya kembali ke Jogja akan masuk. Namun, karena terlalu asiknya, Aku tak sadar jika dia sebentar lagi akan tiba. Aku terus membaca, membaca, dan terus membaca. Hingga Aku tidak mendengar sama sekali suara deru mesin loko dan decitan rem kereta. Hingga suatu saat ketika pandanganku Aku layangkan ke arah rangkaian kereta itu, Aku tanpa sengaja melihat sesosok yang tak asing lagi bagiku. Dia dengan tas ransel di punggungnya baru saja keluar dari salah satu pintu kereta, namun sangat jelas bahwa Aku begitu mengenal sosok itu. Ya itu dia, itulah dia. Perlahan Aku menutup bukuku, memasukkan ke dalam tasku, dan kemudian Aku berdiri. Aku memandanginya sesaat, sesaat sebelum Aku mulai melangkah. Begitu pula dirinya, tampaknya ia juga sempat sesaat melihatku. Karena setelah itu, Ia pun mulai berjalan menuruni peron dan mendekat kepadaku. Begitu pula denganku, meski perlahan, namun jarakku dengannya makin dekat. Hingga akhirnya, Aku berdiri tepat di hadapannya.

Kami sama – sama terdiam. Layaknya pertemuan pertama, kami sama – sama gugup dan tidak ada yang membuka percakapan. Hingga Akhirnya Aku pun mulai membuka percakapan.
“Capek ya Mbak, di kereta…..”

“Ah, enggak kok, Van, jawabnya sambil tersenyum. “Eh, iya tumben kamu di sini….”

“Hu.um nee, tadi waktu Mbak sms, Aku baru di deket – deket sini, Jadinya…, ya langsung kesini aja deh….” Jawabku sambil mengusap – usap kepala, malu.

“Hehehe.., kamu tu.., “ balasnya lirih. Dan tampak sekali rona merah pipinya makin terlihat.

“Jadi sekarang, kita langsung ke kost Mbak, atau makan dulu…?” Tanyaku padanya sambil mengajaknya berjalan menuju pintu keluar.

“Kost langsung aja deh…, capek nee…,” jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya. Mengisyaratkan bahwa dia benar – benar capek.

“Tadi Mbak bilang, enggak capek…” kataku mencoba mengajaknya bercanda. “Kalo mau makan Aku traktir lho…, gratis…. Itung – itung ya pesta ulang tahun”

“Wah, kamu baru aja ulang tahun, Van…? Kenapa gak bilang – bilang? Siapa tahu ntar Mbak waktu balik ke sini bawa hadiah buat kamu…” tukasnya sambil tersenyum genit. “Omong – omong ulang tahun keberapa, Van…?”

“Hehehe…, Mbak tu…, kaya Aku gak tahu Mbak aja. Ulang tahun yang ke 19 Mbak….,” jawabku nyengir.

“Wah, bener.., ntar Mbak kasih kamu tamparan yang lembut dee…” balasnya sambil tersenyum lebar kepadaku.

“Hehehe, boleh, boleh, boleh, Mbak ku…., tapi beneran yang lembut ya Mbak..,” kataku setengah berbisik.

“Tapi ada syaratnya, Van…, “ katanya kembali

“Apa syaratnya Mbak…?” tanyaku padanya.

“Eh, ada warung makan tuh.., katanya tadi mau traktir Mbak…” katanya sambil menunjuk ke sebuah warung makan di dekat pintu keluar stasiun.

“Hehe, Oke dee Mbak…,” ----

Kami segera menuju warung makan yang ditunjuknya waktu Aku dan Dia berbincang tadi. Warung makan itu tidak cukup besar, namun bersih dan jelas menyediakan banyak makanan. Sesampainya di warung itu, Aku melihat bahwa seluruh meja hampir penuh. Dan restoran itu tinggal menyisakan satu meja yang letaknya tepat di tengah di bawah lampu gantung klasik berwarna keemasan. Tanpa pikir panjang, Aku segera menuju ke meja tersebut. Sesuai dengan adab, Aku maju terlebih dahulu dan menarikkan kursi untuk Ia duduk kemudian mendorongnya perlahan hingga Ia merasa nyaman. Barulah setelah itu Aku yang duduk di kursi yang berada di hadapannya. Tak lama setelah kami menempatkan diri di meja itu, seorang waitress datang menghampiri kami sambil membawakan sebuah buku menu dan nota pesanan. Kami berdua segera membuka buku menu itu dan menentukan masakan apa yang akan kami pesan. Tidak sampai lima menit ‘berdiskusi’, akhirnya kami memutuskan untuk memesan salah satu menu masakan Sea Food yang menjadi menu andalan di warung makan tersebut. Waitress segera mencatat pesanan dan mempersilakan kami untuk menunggu. Selagi menunggu kami pun mulai berbincang – bincang kembali.

“Udah ya, Mbak…, udah Aku traktir lho ini.” Kataku membuka pembicaraan.

“Iya, iya…, makasih ya, Van…” balasnya sambil tersenyum manis kepadaku.

“Eh, iya Mbak.., tadi katanya buat yang ‘itu’ ada syaratnya. Apa aja Mbak syaratnya..?” tanyaku lugu.

“Mau tahu…?” tanyanya kembali.

“Iya lah Mbak…, penasaran nee…” jawabku kecut.

“Oke deh, buat dapetin ‘itu’ kamu, Van…, musti dapetin lima jari ku…, baru kamu bisa dapetin ‘itu’….” Jawabnya.

“Maksudnya, Mbak…?” tanyaku heran.

“Ya dulu kan, waktu Mbak sms-an ma kamu pernah kasih kata – kata gini “jempol buat Ivan….” Naa, biar lengkap, kamu mesti ngumpulin jari kelingking, manis, tengah, ama jari telunjuk Mbak…” jawabnya sambil tersenyum.

“Wah caranya, Mbak….?” Tanyaku kembali.

“Ayo dong…, katanya Anak PTI.., masa kaya gitu aja nanya….,” jawabnya kembali.

“Hehehe…, yang kan enggak ada salahnya, Mbak nanya…, biar cepet dapetin ‘itu’ nya…, “ kataku mencoba merayunya.

Selepas kata – kataku yang terakhir, beberapa waitress mendatangi meja kami dengan membawa masakan yang telah dipesan tadi. Waitress itu segera menurunkan masakan yang masih panas dari nampan yang dibawanya ke atas meja kami. Setelah semua masakan diturunkan, barulah waitress itu mempersilakan kami untuk menikmatinya. Aku cukup memberikan isyarat anggukan kepala saja kepada waitress itu.

“Mari Mbak.., silakan dimakan…, “ kataku mempersilakannya untuk memulai.

“Ayo dong kita mulai sama – sama. Enggak enak kalo Mbak yang mulai duluan” ajaknya kepadaku.

“Iya deh Mbak…, “ jawabku membalas ajakannya.

Kami pun mulai menyantap masakan yang sudah terhidang di atas meja. Bersama – sama, sambil diselingi beberapa obrolan kecil namun hangat. Kami makan dengan sangat santainya. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah saatnya kami menyudahi acara makan kami di warung itu.

“Udahan yuk, Mbak.., nggak enak ama yang punya warung nee…” ajakku kepadanya.

“Hehehe…, nggak apa – apa kali, Van…, kan nggak ada biaya tambahan buat makan lama – lama di sini.” Balasnya mencoba berkelakar.

“Tapi kan nggak enak Mbak, yang punya tuu udah melototin kita dari tadi” kataku sambil melirik ke arah pemilik warung.

“Iya deh, tapi…, kamu yang bayar lho…” Balasnya kembali.

“Santai aja, Mbak ku…, judulnya hari ini kan traktir – mentraktir..” kataku kembali.

“Eh, traktir – mentraktir…? Berarti abis ini, Mbak yang gantian traktir kamu…?” tanyanya dengan sedikit nada emosi.

“Nggak kok Mbak…., pokoknya hari ini judulnya Aku traktir Mbak makan…,” jawabku tersenyum.

“Hehehehe…, iya deh, Van…” balasnya sambil tertawa kecil.
Aku, bersamanya segera menuju kasir dan membayar semua masakan yang kami pesan. Memang tidak sedikit, tapi Aku bahagia sekali hari itu dapat mentraktirnya makan.

Setelah itu, Aku, bersamanya segera keluar dari stasiun dan mencoba mencari tumpangan. Aku berniat mengantarkannya sampai ke Kost. Meski itu artinya Aku harus pulang malam, tapi Aku memang ingin melakukannya. Kuhentikan sebuah taksi biru yang kebetulan akan melintas di hadapan kami. Setelah berhenti, Aku segera membukakan pintu untuknya, dan ia tersenyum sebelum masuk ke dalam taksi. Aku segera menyusulnya masuk ke dalam taksi dan setelah kututup pintu kami pun mulai bergerak.

“YSU, Pak…,” kataku kepada sopir taksi.

“Baik, mas…” jawabnya.

Taksi dengan perlahan mulai bergerak meninggalkan Stasiun Lempuyangan menuju YSU. Selama perjalanan, kulihat dirinya tampak sangat lelah. Karena beberapa kali, Ia menutup matanya sejenak sambil menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang. Secara reflek, Aku segera mengambil tas punggungnya yang Ia taruh di bawah kursi. Ia pun mengerti apa yang Aku lakukan. Ia pun segera meluruskan kakinya dan menyandarkan tubuhnya dalam posisi yang paling nyaman. Aku hanya tersenyum saja melihatnya. Mungkin sebenarnya tadi di kereta Ia memang sudah capek.., tapi Ia tak mau mengatakan yang sebenarnya. Tak lama kemudian Aku melihatnya sudah terlelap dalam tidur. Aku tak berani mengganggunya. Biarlah Ia tertidur terlebih dahulu supaya ketika tiba di kost, Ia tidak terlalu capek. Membosankan, memang. Tapi tak apalah, semuanya demi dirinya.

Tiga puluh menit perjalanan terasa lama bagiku. Sebab dari rumahku saja sampai ke kampus kira – kira hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja. Tetapi menggunakan taksi, ternyata lebih memakan waktu. Dan inilah yang sebenarnya yang tidak Aku harapkan. Terkatung – katung selama perjalanan, yang disebabkan oleh macetnya kota Jogja. Apalagi di sore hari ini seperti ini. Ampun, tak dapat ditolak lagi. Jam – jam orang sibuk pulang dari tempat bekerja. Jam – jam sibuk orang pergi mencari tempat untuk makan malam. Sungguh saat itu sangat terasa, jika seluruh orang Jogja memadati jalan. Aku pun cukup bersabar saja, dan tepat pukul 17.58, Aku, bersamanya tiba di komplek YSU. Segera kubangunkan Ia untuk menunjukkan di mata letak kostnya. Ia terbangun dan menoleh kepadaku, kemudian tersenyum.

“Mbak, di mana kost Mbak…” tanyaku kepadanya.

“Deket ogg.., nah di situ. Di deket FBS…, “ jawabnya singkat.

Aku berusaha menghapalkan jalan yang Ia tunjukkan kepada sopir taksi itu.

“Pak Sopir, stop…” perintahnya kepad sopir taksi itu.

“Baik, Mbak…” jawab sopir taksi itu kepadanya.

Taksi yang kami tumpangi itupun berhenti perlahan. Aku segera membuka pintu dan turun dari taksi sambil membawa tas ranselnya, Aku menahankan pintu untuknya. Ia pun turun dari taksi dan terlihat wajahnya yang lelah itu berusaha untuk tersenyum kepadaku. Setelah Ia turun Aku membayar ongkos kepada sopir. Memang mahal, tapi semua itu kulakukan hanya untuk dirinya.

“Ini, Van.., kostku…, tapi kamu jangan masuk ya….” Katanya tersenyum.

“Hehehe…, pasti Ibu Kost ya Mbak..” kataku. “Iya kan, Mbak…?”

“Hu.um, Van… mana tasku…” jawabnya polos.

“Ini, Mbak ku….” Kataku sambil menyerahkan tas ransel nya. “Kalo gitu, Aku pamit dulu ya Mbak…, uda malem nih…”

“Uke, Van…, Dadah Ivan….” Katanya sambil melambaikan tangan kecilnya kepadaku.

“Dadah juga Mbak….” Kataku sambil membalas lambaian tangannya.

Setelah itu pun aku segera meninggalkan kostnya dan berjalan menuju halte Trans Jogja terdekat. Aku teringat bahwa motorku masih dititipkan di Stasiun. Aku memutuskan untuk menitipkan motor karena Aku ingin sekali mengantarkannya ke kost. Ternyata agak jauh juga halte Trans Jogja terdekat. Letaknya ada di depan pintu gerbang utama YSU. Aku segera masuk, membeli tiket dan menunggu kedatangan bis yang kebetulan sekali bis yang kutunggu itu adalah bis terakhir untuk hari itu. Selagi menunggu Aku mengambil telepon genggam yang ada di kantong celanaku. Aku membukanya ada sekitar sepuluh sms yang belum terbaca. Segera saja, Aku membuka satu persatu sms yang masuk itu. Isinya macam – macam. Ada yang tanya kuliah lah, ada yang minta dibantuin benerin komputer lah. Ya beberapa ada yang Aku anggap penting, ada yang tidak. Yang jelas, dari sepuluh sms yang masuk itu ada beberapa yang minta curhat dengan ku. Yah, sms ku penuh dengan warna.

Saat Aku sibuk membalas sms – sms itu, terdengar suara bis yang mendekat. Aku menoleh dan terlihat sebuah bis dengan corak warna hijau kuning datang mendekat. Yah itulah Trans Jogja yang akan kutumpangi. Aku segera berdiri dan menuju pintu menunggu bis berhenti dan Aku dapat naik dengan aman. Beberapa langkah berjalan, tiba – tiba telepon genggamku kembali bergetar. Aku tak mempedulikannya. Karena ketika getarannya berhenti, posisiku sedang masuk ke dalam bis dan mencari tempat duduk. Barulah setelah Aku mendapatkan tempat duduk, Aku mengambil telepon genggamku kembali dan membukanya. Ada satu sms masuk dan itu ternyata darinya. Isinya begini:

“Ivaan…, makasih yah buat makan siangnya tadi…, enak…. :D :D :D. Sebenarnya tadi Aku kaget, kamu bisa ada di Stasiun…, tapi Aku seneng ogg Kamu traktir Aku, ampe nganter Aku pulang. Makasih ya, Van…”

Aku tersenyum membaca smsnya yang terkesan “romantis itu” tapi hasilnya, Aku malah bingung. Aku harus membalas apa. Aku sempat berpikir terlebih dahulu, kata –kata apa yang akan Aku tuliskan dalam sms balasanku. Benar – benar untuk yang satu ini telah menguras banyak energiku. Sampai – sampai keringat dingin yang keluar, bukannya keringat panas. Ku naik – turunkan kursor telepon genggamku untuk melihat sms – sms yang masuk sebelumnya. Barangkali, Aku bisa mencuri – curi kata – kata yang tepat dari sms – sms yang masuk itu. Selama lima menit Aku mencari, namun belum juga ketemu. Hingga Akhirnya, Aku memutuskan untuk membuat balasannya dengan kata – kataku sendiri. Lucu, tapi mungkin ya inilah yang dapat Aku tuliskan dalam balasanku. Aku menulis begini:

“Hehehe.., masama Mbak…, tapi besok pagi, Hadiah Ulang Tahunku Aku ambil ya Mbak…,”

Aneh benar menurutku isinya. Bukannya saling berterima kasih, namun malah meminta pamrih. Dan Aku berharap, Ia tidak membalasnya untuk yang satu ini. Jujur, untuk sms-nya yang tadi sudah membuatku puyeng untuk membalasnya.

Satu menit berlalu. Dua menit berlalu. Hingga menit ketiga, telepon genggamku belum juga bergetar. Mungkin Ia memang tidak berniat membalasnya atau Ia sedang ada aktivitas lain yang perlu Ia kerjakan. Sampai lima menit berlalu, telepon genggamku juga tidak kunjung bergetar. Hingga Akhirnya, ketika Kondektur meneriakkan sesuatu kepada penumpang, bahwa Bis Akan berhenti di sebuah halte di mana letak halte itu dekat dengan tempat Aku menitipkan sepeda motor, telepon genggamku bergetar. Aku belum sempat membukanya, karena saat itu Aku sedang turun dari bis dan berjalan menuju tempat penitipan sepeda motor. Nah, selama Aku berjalan itulah, Aku baru sempat mencek telepon genggamku yang bergetar di dalam bis tadi. Kurogoh kembali saku celanaku untuk mengambil telepon genggamku dan kulihat, ternyata sebuah sms masuk. Tanpa membuang waktu lagi, Aku segera membukanya dan ini adalah sms-nya. Isinya makin membuatku bingung saja. Isinya begini:

“Boleh, boleh. Besok pagi datang aja ke-kost-an Mbak…, ntar Mbak kasih sesuatu….”

Wah, lagi – lagi Aku harus berpusing – pusing ria. Kali ini harus kubalas apa sms-nya. Aku berusaha memikirkan sebuah kalimat yang singkat, padat, jelas, tidak membuatnya tersinggung, namun malah harus membuatnya tersenyum. Langkahku pun terhenti karena harus memikirkan kalimat itu. Aku segera mencari tempat yang enak untuk duduk, dan Aku menemukan tempat itu di dekat pos Ojek. Langsung saja Aku meminta izin kepada para tukang ojek yang sedang mangkal di situ untuk ikut duduk bersama mereka. Dengan mengutarakan alasan Aku lelah dan perlu duduk sebentar. Alhasil, para tukang ojek yang sedang mangkal di situ pun mengizinkanku untuk duduk bersama mereka.

Aku segera menempatkan diri. Aku duduk di sebuah bangku panjang yang letaknya ada di bawah pohon. Tempat di mana Aku duduk cukup terang, karena di situ selain ada pos Ojek juga ada warung makan. Aku segera membuka sms-nya tadi dan berusaha memikirkan kata terbaik untuknya. Juga memikirkan agendaku esok hari. Aku segera membuka buku agendaku yang ada di dalam tas. Kemudian Aku langsung mencari tanggal hari esok. Aku runut satu persatu tanggal hingga akhirnya sampai di tanggal hari esok. Ternyata besok Aku tidak ada jadwal. Selain hari Minggu, teman – temanku yang biasanya datang ke rumahku untuk belajar bersama memiliki agenda lain sehingga tidak bisa datang ke rumahku. Akhirnya, Aku pun menemukan kalimat yang tepat itu. Ku tulis balasannya begini:

“Uke dee, Mbakku.., tapi besok pagi jam berapa…? Ntar Aku ke tempet Mbak pagi – pagi, Mbak masih tidur…. :D :D :D…”

Setelah itu Aku menekan tombol kirim untuk mengirimkan pesan itu.

--- *** ---

Telepon genggamku kembali bergetar. Aku mencoba melihat dan ternyata sekarang bukan sms darinya, namun dari operator. Sms itu memberikan tahukan kepadaku bahwa Aku mendapatkan, ya…, sedikit bonus sms gratis lah karena Aku sudah mengirimkan lebih dari 25 sms reguler. Aku sedikit tersenyum dan berpikir ini mungkin sedang rejekiku mendapatkan bonus sms. Selepas itu, Aku kembali memasukkan telepon genggamku ke dalam saku dan bersiap untuk meninggalkan pangkalan Ojek itu. Namun sebelumnya Aku mengucapkan terima kasih kepada para tukang ojek yang sedang mangkal di tempat itu.

Aku segera berjalan kembali menuju tempat penitipan sepeda motor. Letaknya tidak jauh. Ya, jika diukur dari Stasiun kira – kira lima puluh meter lah. Cukup dekat sehingga dengan berjalan kaki pun dapat dicapai kurang dari lima menit. Sesampainya di tempat penitipan itu, Aku segera mengambil karcis penitipan dan beberapa lembar uang seribuan sebagai ongkos penitipan. Cukup murah, namun aman. Daripada di parkir di tempat parkir stasiun yang belum tentu aman keadaannya. Setelah menerima kembalian, Aku segera mencari motorku dan tidak memakan waktu yang lama motorku dapat Aku temukan. Letaknya di tengah – tengah di antara motor – motor yang lain. Aku segera mengambil kunci motorku yang ada di dalam tas, mengambil helm yang ada di bagasi motor, dan kemudian mengeluarkannya dari tempat parkir. Seorang petugas penitipan berusaha membantuku dengan menarik motorku keluar dari tempat parkir. Sehingga Aku tidak kepayahan saat mengeluarkan motorku dari tempat parkir. Segera kunyalakan mesin motorku, dan melesat meninggalkan area Stasiun Lempuyangan untuk pulang kembali ke rumah.

Aku berjalan perlahan. Karena hari sudah gelap dan lalu lintas malam itu tampak padat. Aku mengontrol kecepatan motorku di bawah empat puluh kilometer per jam. Supaya tidak terjadi insiden yang tidak diinginkan. Ketika Aku sedang berjalan, telepon genggamku kembali bergetar. Aku dengan segera mengambilnya dari kantong celanaku dan melihatnya. Kebetulan saat itu Aku sedang berada di Perempatan Jalan Hayam Wuruk dan lampu lalu lintas sedang menyala merah. Segera saja Aku manfaatkan waktu yang sempit ini dengan melihat telepon genggamku. Sms dari-nya lagi masuk ke dalam telepon genggamku. Aku membukanya dan membaca isinya. Isinya seperti ini:

“Hehehe, taw aj klu Mbak suka bangun kesiangan, n kalo g ada yg bangunin g bisa bangun pagi…, Uke dee, besok jam 9-an aja…, ya…”

Aku membacanya dengan cepat, dan setelah itu langsung Aku balas seperti ini:

“Oke dee, mbak…, besok jam 9…, sekarang Mbak istirahat dulu aj…, cpek kan…? :D :D :D…?”

Selepas itu segera ku masukkan telepon genggamku kedalam saku ku lagi dan bersiap melesat kembali karena lampu sebentar lagi akan menyala hijau. Dan benar saja, tidak sampai sepuluh detik lampu merah berganti dengan lampu hijau. Dengan segera ku melesat jauh meninggalkan persimpangan itu dan meneruskan perjalanan pulang. Tapi tetap saja Aku tidak bisa ngebut, karena lalu lintas penuh dan ditambah lagi malam ini adalah malam Minggu. Waktu yang sangat tepat untuk orang – orang keluar dan bersantai. Hal ini tentu saja membuat jalanan makin penuh dan Aku benci dengan hal ini. Karena waktuku semakin banyak terbuang di jalanan.

Perlahan – perlahan Aku bergerak. Aku tidak bisa bergerak bebas. Di kanan kiriku, depan, dan belakangku semuanya motor. Sedangkan kendaraan roda empat berada di belakang karena tak dapat menembus kemacetan. Sampai setengah jam Aku terjebak macet. Dan anehnya, di area yang macet itu, tak tampak satu petugas polisi pun yang mengatur lalu lintas. Sehingga semakin semrawut saja dan sepertinya Aku akan kemalaman. Aku bergerak kembali, perlahan – lahan, sedikit demi sedikit hingga akhirnya Aku mencapai di sebuah persimpangan dan persimpangan itu sangat bertolak belakang dengan jalan yang kulalui ini. Persimpangan itu tampak lengang. Tidak terjadi kemacetan sama sekali, dan tampaknya kemacetan hanya terjadi di jalan – jalan yang akan masuk di persimpangan itu. Sehingga saat lampu berubah hijau, Aku dapat melesat dan meluncur tanpa hambatan.

Tak terasa setelah empat puluh lima menit perjalanan, akhirnya Aku tiba di rumah. Saat Aku masuk, rumah tampak sepi. Ku lihat jam tanganku untuk meyakinkan diriku bahwa Aku tidak terlambat pulang. Dan nyatanya tidak. Jam tanganku masih menunjukkan pukul tujuh malam. Namun rumah terlihat sepi, lampu – lampu saja belum dinyalakan. Akhirnya kuputuskan untuk masuk saja lewat pintu garasi rumah. Sekalian Aku memasukkan motorku dan apabila keluargaku pulang dari bepergian dapat lewat pintu kamar tamu yang biasanya Ayah atau Ibu membawa kunci serepnya. Setelah Aku memasukkan motorku, dan mengunci kembali pintu garasi, Aku segera menghidupkan semua lampu dan menutup semua korden. Kemudian barulah Aku pergi ke kamar untuk berganti pakaian dan istirahat sejenak sebelum melakukan aktivitas selanjutnya.

Aku segera merebahkan diri di kasur yang empuk. Kuambil telepon genggamku kembali untuk memeriksa apakah ada sms atau missed call yang masuk. Untuk kali ini telepon genggamku tidak memunculkan notifikasi apa – apa. Ini berarti bahwa saat ini sedang tidak ada sms atau missed call yang masuk. Karena tidak ada apa – apa, ya.., Aku langsung saja mengambil headset yang tergeletak di atas meja dan mendengarkan musik dengan menggunakan headset itu sambil menunggu keluargaku pulang. Namun tak sampai lima belas menit Aku mendengarkan musik, Aku tertidur…..

---***---

Aku merasa tidurku sangat pulas. Karena saat sampai Ibuku membangunkanku Aku tidak bisa dibangunkan. Bahkan sampai tiga kali Aku dibangunkan. Bukannya Aku malas bangun, namun karena badanku sangat letih. Aku merasa semua badanku terasa sehabis mengangkat beban berat. Beban yang teramat berat. Hingga fisikku tak kuat lagi dan akhirnya ambruk. Aku terbangun setelah Ibuku membangunkanku untuk yang ketiga kalinya. Perlahan Aku membuka mata dan kembali mengambil telepon genggamku. Aku segera memeriksanya, dan agak terkejut ketika Aku mendapati ada sekitar sepuluh sms yang masuk dan belum terbaca. Tanpa membuang waktu lagi, Aku segera memeriksa sms yang masuk itu satu persatu dan untungnya diantara yang sepuluh itu tidak ada sms yang masuk darinya. Kesemua sepuluh sms itu dari teman – teman kuliahku. Barulah ketika Aku akan menutup kembali telepon genggamku, sebuah sms masuk. Aku buka kembali dan sms itu adalah darinya. Isinya berupa sapaan “selamat pagi” kepadaku.

“Pagyyyy Ivaaaaan……. #melambaikan tangan”

Aku pun membalas smsnya dengan sapaan selamat pagi juga.

“pgyyy jg mbaak,…… #melambaikan tangan n berjalan mendekat”

Setelah itu, Aku kembali menaruh telepon genggamku di kasur. Karena Aku tahu, biasanya ada jeda waktu sekitar sepuluh hingga lima belas menit sejak balasanku dikirim kepadanya. Aku segera memanfaatkan waktu yang cukup singkat itu untuk mencuci muka dan sholat subuh. Kemudian Aku baru kembali ke kamar untuk memeriksa telepon genggamku lagi. Kini saat kuperiksa, tidak ada notifikasi apa – apa. Bahkan sms-nya darinya pun tidak ada. Karena tidak biasa terjadi, Aku segera membawa telepon genggamku dan memasukkannya ke dalam saku celana pendekku. Setelah itu, Aku melaksanakan rutinitas pagiku.

Hari ini adalah hari Minggu. Hari yang sangat kutunggu – tunggu. Karena di hari ini Aku dapat libur setidaknya sehari dari segala kegiatan perkuliahan. Aku dapat melakukan semua aktivitas yang Aku inginkan. Termasuk menepati janjiku kepadanya tepat jam Sembilan di kostnya. Aku segera mempersiapkan dirinya. Aku segera membersihkan diri, berpakaian, dan menyiapkan semua perlengkapan pribadiku yang aku masukkan ke dalam tas ransel. Setelah menyantap beberapa sendok nasi, Aku segera berangkat menuju kostnya. Selama perjalanan, jantungku terus berdegup. Tidak tahu apa yang akan Ia lakukan saat Aku tiba di kostnya. Karena terlalu dalam membayangkannya.., beberapa kali Aku kelupaan untuk melaju saat lampu lalu lintas menyala hijau. Sehingga beberapa kali, pengendara motor di belakangku membunyikan klakson untuk memperingatkanku. Aku bergerak perlahan, karena tidak ingin terjadi apa – apa dengan diriku sebelum dapat bertemu dengannya. Dan syukur, selama tiga puluh menit perjalanan, Aku tiba di area kampus YSU. Aku segera menuju ke komplek kostnya yang ada di dekat FBS. Sesampainya di sana, segera kuparkirkan motorku dan berjalan menuju depan pintu masuk kost. Kemudian Aku melihat ke arah jam tanganku. Jam masih menunjukkan pukul delapan lewat lima puluh menit. Sepuluh menit lebih awal dari kesepakatan yang telah dibuat. Segera Aku mengambil telepon genggamku dan mencoba mengirim sms kepadanya.
“Mbaaak…, Aku udah di depan….”

Setelah mengirim sms, Aku segera mencari tempat duduk yang kebetulan ada di sekitar kostnya. Beberapa menit Aku menungguinya sambil ber-sms-an dengan teman – teman kuliahku. Hingga tanpa kusadari, Ia sudah berada di belakangku.

“Ivaan….” Katanya memanggilku.

Aku pun menoleh ke belakang dan melihat dirinya dengan senyum manisnya itu. Aku pun menjadi gagap dibuatnya..,

“Eh…eh.., mbak…..”

“Belum jam sembilah loh…, ini tu….” Katanya sambil menunjuk ke arah jam kost.

“eh, tapi jam ku udah lho, mbak…,” balasku sambil menunjukkan jam tanganku. “tuh iya kan mbak…, malahan uda jam Sembilan lewat sepuluh menit…”

“Eh, Ivan tuuu…, kalo udah janjian dee.., datengnya pagi – pagi…” katanya genit.

“Hehehehe.., mbak…” ----

“Kemarin mbak, nyuruh dateng ke sini buat ngapain to…? , kok mbak lupa…” tanyanya kepadaku tapi dengan ekspresi wajah yang menimbulkan ketanda tanyaan besar.

“Yah, mbak…, Aku aja nggak tahu kenapa di suruh dateng ke sini. Mbak sendiri belum bilang apa – apa kemaren” jawabku lugu.

“Eh, belum to…? Kayaknya seinget mbak.., mbak mau kasih kamu sesuatu…” katanya sambil tersenyum.

“Eh, iya…, Aku lupa mbak…., hehehehe…., maaph deh mbak… kan inbox sms-ku banyak.., jadinya banyak yang lupa…” jawabku berpura pura lugu. “trus, mbak mau kasih hadiah apa….?”
“emmmm, sini deh…,” katanya sambil menunjuk ke arah sampingnya.

Aku kemudian berjalan mendekatinya dan berhenti tepat di sampingnya. Kemudian kuletakkan tanganku di atas sandaran kursi yang Aku duduki tadi. Ia menoleh kepadaku, secara bergantian Aku pun menoleh dan menatap raut wajahnya. Beberapa menit lamanya, kami saling berpandangan. Hingga Akhirnya, Ia mendekat.., semakin mendekat…. dan…

----- **** ------

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit…… Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit……, Aku tersentak kaget dari lamunanku. Rupanya pengendara motor yang ada di belakangku membunyikan klakson untuk memperingatiku. Kemudian Aku melihat di depan ku tampak lengang. Tidak ada motor atau mobil yang berhenti di depanku. Rupanya selama Aku melamun tadi, kemacetan telah berangsur – angsur mencair dan lalu lintas di depan Stasiun Lempuyangan kembali lancar.

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit….., Sekali lagi Aku diklakson oleh pengendara motor yang berada di belakangku. Aku segera melesat dan memacu motorku secepat – cepatnya meninggalkan area Stasiun Lempuyangan. Selama perjalanan Aku baru tersadar sepenuhnya bahwa yang “sepertinya terjadi” itu hanyalah bayangan dari lamunanku saja. Aku tidak tahu, mengapa itu tampak seperti nyata dan benar – benar terasa Aku melakukan itu semua. Aahh…, mungkinkah ini karena diriku yang benar – benar mencintai dirinya…?
---- *** -----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR