Ketika Aku Pulang Kuliah
KETIKA
AKU PULANG KULIAH
Oleh: M. Irfan Luthfi
Hari itu sungguh sangat panas. Matahari
terasa membakar kulit meski Aku telah mengenakan jaket yang tebal.
Celana Jeans, sepatu, kaos kaki tebal, hingga helm yang lengkap
dengan penutup muka seolah tak mampu menahan teriknya sinar matahari.
Panas matahari semakin terasa di saat lampu lalu lintas di depan UKDW
menyala merah. Aku bersama motor kesayanganku harus berhenti menunggu
lampu kembali menyala hijau. Sementara Aku menunggu, kusempatkan
diriku untuk membalas beberapa SMS yang masuk ke ponselku. Ada
sekitar sepuluh pesan yang belum sempat terbaca, dan diantara yang
sepuluh itu ada SMS darinya. Kuputuskan untuk membuka sms darinya itu
pertama kali dan isinya membuatku tersenyum. Yah, isi dari pesan
darinya itu mengatakan, bahwa dia akan kembali ke Jogja esok pagi.
Aku mengiyakan, namun ketika akan membalasnya lampu dengan cepat
berganti nyalanya menjadi hijau. Segera kumasukkan ponselku ke dalam
kantong jaket dan Aku segera melesat meninggalkan persimpangan yang
sangat panas itu.
Setelah ku melesat meninggalkan
persimpangan itu, Aku dengan cepat menyalakan lampu sen motorku
sebelah kiri. Memberikan tanda pada pengendara lain yang ada di
belakangku bahwa Aku akan mengambil jalur sebelah dalam. Ya, karena
hari itu sangat panas, Aku memutuskan untuk tidak melewati fly over,
namun melewati jalur kereta dan Stasiun lempuyangan yang tepat persis
ada di bawah fly over tersebut. Jalur dekat stasiun itu memang teduh,
namun sayang, kemacetanlah yang menjadi faktor lain mengapa jalan itu
jarang dilewati oleh kendaraan roda dua. Hanyalah roda empat ataupun
tiga yang sering melewati jalur ini. Entah mengapa, jalur ini serasa
menjadi jalur elit.
Lagi – lagi Aku terjebak macet dan
sampai mengharuskanku menghentikan laju motorku. Sambil menunggu
mobil di depanku melaju, kusempatkan lagi diriku untuk membaca sms
darinya lagi. Saat itulah kudengar samar – samar dari pengeras
suara stasiun bahwa kereta yang sering membawanya kembali ke Jogja
akan masuk. Seketika pikiranku melayang jauh dan dapat terbayang
dengan jelas Aku tidak sedang bersama motorku. Pikiranku berhasil
menipuku. Meskipun hanya bayangan, namun itu tampak jelas.
---***---
Aku sedang duduk di salah satu kursi
peron sambil membaca sebuah buku. Aku duduk tenang, santai, membaca
buku itu halaman per halaman hingga akhirnya tersadar ketika pengeras
suara stasiun memberitahukan bahwa kereta yang sering membawa dirinya
kembali ke Jogja akan masuk. Namun, karena terlalu asiknya, Aku tak
sadar jika dia sebentar lagi akan tiba. Aku terus membaca, membaca,
dan terus membaca. Hingga Aku tidak mendengar sama sekali suara deru
mesin loko dan decitan rem kereta. Hingga suatu saat ketika
pandanganku Aku layangkan ke arah rangkaian kereta itu, Aku tanpa
sengaja melihat sesosok yang tak asing lagi bagiku. Dia dengan tas
ransel di punggungnya baru saja keluar dari salah satu pintu kereta,
namun sangat jelas bahwa Aku begitu mengenal sosok itu. Ya itu dia,
itulah dia. Perlahan Aku menutup bukuku, memasukkan ke dalam tasku,
dan kemudian Aku berdiri. Aku memandanginya sesaat, sesaat sebelum
Aku mulai melangkah. Begitu pula dirinya, tampaknya ia juga sempat
sesaat melihatku. Karena setelah itu, Ia pun mulai berjalan menuruni
peron dan mendekat kepadaku. Begitu pula denganku, meski perlahan,
namun jarakku dengannya makin dekat. Hingga akhirnya, Aku berdiri
tepat di hadapannya.
Kami sama – sama terdiam. Layaknya
pertemuan pertama, kami sama – sama gugup dan tidak ada yang
membuka percakapan. Hingga Akhirnya Aku pun mulai membuka percakapan.
“Ah, enggak kok, Van, jawabnya sambil
tersenyum. “Eh, iya tumben kamu di sini….”
“Hu.um nee, tadi waktu Mbak sms, Aku
baru di deket – deket sini, Jadinya…, ya langsung kesini aja
deh….” Jawabku sambil mengusap – usap kepala, malu.
“Hehehe.., kamu tu.., “ balasnya
lirih. Dan tampak sekali rona merah pipinya makin terlihat.
“Jadi sekarang, kita langsung ke kost
Mbak, atau makan dulu…?” Tanyaku padanya sambil mengajaknya
berjalan menuju pintu keluar.
“Kost langsung aja deh…, capek nee…,”
jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya. Mengisyaratkan bahwa dia
benar – benar capek.
“Tadi Mbak bilang, enggak capek…”
kataku mencoba mengajaknya bercanda. “Kalo mau makan Aku traktir
lho…, gratis…. Itung – itung ya pesta ulang tahun”
“Wah, kamu baru aja ulang tahun, Van…?
Kenapa gak bilang – bilang? Siapa tahu ntar Mbak waktu balik ke
sini bawa hadiah buat kamu…” tukasnya sambil tersenyum genit.
“Omong – omong ulang tahun keberapa, Van…?”
“Hehehe…, Mbak tu…, kaya Aku gak
tahu Mbak aja. Ulang tahun yang ke 19 Mbak….,” jawabku nyengir.
“Wah, bener.., ntar Mbak kasih kamu
tamparan yang lembut dee…” balasnya sambil tersenyum lebar
kepadaku.
“Hehehe, boleh, boleh, boleh, Mbak
ku…., tapi beneran yang lembut ya Mbak..,” kataku setengah
berbisik.
“Tapi ada syaratnya, Van…, “
katanya kembali
“Apa syaratnya Mbak…?” tanyaku
padanya.
“Eh, ada warung makan tuh.., katanya
tadi mau traktir Mbak…” katanya sambil menunjuk ke sebuah warung
makan di dekat pintu keluar stasiun.
“Hehe, Oke dee Mbak…,” ----
Kami segera menuju warung makan yang
ditunjuknya waktu Aku dan Dia berbincang tadi. Warung makan itu tidak
cukup besar, namun bersih dan jelas menyediakan banyak makanan.
Sesampainya di warung itu, Aku melihat bahwa seluruh meja hampir
penuh. Dan restoran itu tinggal menyisakan satu meja yang letaknya
tepat di tengah di bawah lampu gantung klasik berwarna keemasan.
Tanpa pikir panjang, Aku segera menuju ke meja tersebut. Sesuai
dengan adab, Aku maju terlebih dahulu dan menarikkan kursi untuk Ia
duduk kemudian mendorongnya perlahan hingga Ia merasa nyaman. Barulah
setelah itu Aku yang duduk di kursi yang berada di hadapannya. Tak
lama setelah kami menempatkan diri di meja itu, seorang waitress
datang menghampiri kami sambil membawakan sebuah buku menu dan nota
pesanan. Kami berdua segera membuka buku menu itu dan menentukan
masakan apa yang akan kami pesan. Tidak sampai lima menit
‘berdiskusi’, akhirnya kami memutuskan untuk memesan salah satu
menu masakan Sea Food yang menjadi menu andalan di warung makan
tersebut. Waitress segera mencatat pesanan dan mempersilakan kami
untuk menunggu. Selagi menunggu kami pun mulai berbincang – bincang
kembali.
“Udah ya, Mbak…, udah Aku traktir lho
ini.” Kataku membuka pembicaraan.
“Iya, iya…, makasih ya, Van…”
balasnya sambil tersenyum manis kepadaku.
“Eh, iya Mbak.., tadi katanya buat yang
‘itu’ ada syaratnya. Apa aja Mbak syaratnya..?” tanyaku lugu.
“Mau tahu…?” tanyanya kembali.
“Iya lah Mbak…, penasaran nee…”
jawabku kecut.
“Oke deh, buat dapetin ‘itu’ kamu,
Van…, musti dapetin lima jari ku…, baru kamu bisa dapetin
‘itu’….” Jawabnya.
“Maksudnya, Mbak…?” tanyaku heran.
“Ya dulu kan, waktu Mbak sms-an ma kamu
pernah kasih kata – kata gini “jempol buat Ivan….” Naa, biar
lengkap, kamu mesti ngumpulin jari kelingking, manis, tengah, ama
jari telunjuk Mbak…” jawabnya sambil tersenyum.
“Wah caranya, Mbak….?” Tanyaku
kembali.
“Ayo dong…, katanya Anak PTI.., masa
kaya gitu aja nanya….,” jawabnya kembali.
“Hehehe…, yang kan enggak ada
salahnya, Mbak nanya…, biar cepet dapetin ‘itu’ nya…, “
kataku mencoba merayunya.
Selepas kata – kataku yang terakhir,
beberapa waitress mendatangi meja kami dengan membawa masakan yang
telah dipesan tadi. Waitress itu segera menurunkan masakan yang masih
panas dari nampan yang dibawanya ke atas meja kami. Setelah semua
masakan diturunkan, barulah waitress itu mempersilakan kami untuk
menikmatinya. Aku cukup memberikan isyarat anggukan kepala saja
kepada waitress itu.
“Mari Mbak.., silakan dimakan…, “
kataku mempersilakannya untuk memulai.
“Ayo dong kita mulai sama – sama.
Enggak enak kalo Mbak yang mulai duluan” ajaknya kepadaku.
“Iya deh Mbak…, “ jawabku membalas
ajakannya.
Kami pun mulai menyantap masakan yang
sudah terhidang di atas meja. Bersama – sama, sambil diselingi
beberapa obrolan kecil namun hangat. Kami makan dengan sangat
santainya. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.
Sudah saatnya kami menyudahi acara makan kami di warung itu.
“Udahan yuk, Mbak.., nggak enak ama
yang punya warung nee…” ajakku kepadanya.
“Hehehe…, nggak apa – apa kali,
Van…, kan nggak ada biaya tambahan buat makan lama – lama di
sini.” Balasnya mencoba berkelakar.
“Tapi kan nggak enak Mbak, yang punya
tuu udah melototin kita dari tadi” kataku sambil melirik ke arah
pemilik warung.
“Iya deh, tapi…, kamu yang bayar
lho…” Balasnya kembali.
“Santai aja, Mbak ku…, judulnya hari
ini kan traktir – mentraktir..” kataku kembali.
“Eh, traktir – mentraktir…? Berarti
abis ini, Mbak yang gantian traktir kamu…?” tanyanya dengan
sedikit nada emosi.
“Nggak kok Mbak…., pokoknya hari ini
judulnya Aku traktir Mbak makan…,” jawabku tersenyum.
“Hehehehe…, iya deh, Van…”
balasnya sambil tertawa kecil.
Aku, bersamanya segera menuju kasir dan
membayar semua masakan yang kami pesan. Memang tidak sedikit, tapi
Aku bahagia sekali hari itu dapat mentraktirnya makan.
Setelah itu, Aku, bersamanya segera
keluar dari stasiun dan mencoba mencari tumpangan. Aku berniat
mengantarkannya sampai ke Kost. Meski itu artinya Aku harus pulang
malam, tapi Aku memang ingin melakukannya. Kuhentikan sebuah taksi
biru yang kebetulan akan melintas di hadapan kami. Setelah berhenti,
Aku segera membukakan pintu untuknya, dan ia tersenyum sebelum masuk
ke dalam taksi. Aku segera menyusulnya masuk ke dalam taksi dan
setelah kututup pintu kami pun mulai bergerak.
“YSU, Pak…,” kataku kepada sopir
taksi.
“Baik, mas…” jawabnya.
Taksi dengan perlahan mulai bergerak
meninggalkan Stasiun Lempuyangan menuju YSU. Selama perjalanan,
kulihat dirinya tampak sangat lelah. Karena beberapa kali, Ia menutup
matanya sejenak sambil menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang.
Secara reflek, Aku segera mengambil tas punggungnya yang Ia taruh di
bawah kursi. Ia pun mengerti apa yang Aku lakukan. Ia pun segera
meluruskan kakinya dan menyandarkan tubuhnya dalam posisi yang paling
nyaman. Aku hanya tersenyum saja melihatnya. Mungkin sebenarnya tadi
di kereta Ia memang sudah capek.., tapi Ia tak mau mengatakan yang
sebenarnya. Tak lama kemudian Aku melihatnya sudah terlelap dalam
tidur. Aku tak berani mengganggunya. Biarlah Ia tertidur terlebih
dahulu supaya ketika tiba di kost, Ia tidak terlalu capek.
Membosankan, memang. Tapi tak apalah, semuanya demi dirinya.
Tiga puluh menit perjalanan terasa lama
bagiku. Sebab dari rumahku saja sampai ke kampus kira – kira hanya
membutuhkan waktu lima belas menit saja. Tetapi menggunakan taksi,
ternyata lebih memakan waktu. Dan inilah yang sebenarnya yang tidak
Aku harapkan. Terkatung – katung selama perjalanan, yang disebabkan
oleh macetnya kota Jogja. Apalagi di sore hari ini seperti ini.
Ampun, tak dapat ditolak lagi. Jam – jam orang sibuk pulang dari
tempat bekerja. Jam – jam sibuk orang pergi mencari tempat untuk
makan malam. Sungguh saat itu sangat terasa, jika seluruh orang Jogja
memadati jalan. Aku pun cukup bersabar saja, dan tepat pukul 17.58,
Aku, bersamanya tiba di komplek YSU. Segera kubangunkan Ia untuk
menunjukkan di mata letak kostnya. Ia terbangun dan menoleh kepadaku,
kemudian tersenyum.
“Mbak, di mana kost Mbak…” tanyaku
kepadanya.
“Deket ogg.., nah di situ. Di deket
FBS…, “ jawabnya singkat.
Aku berusaha menghapalkan jalan yang Ia
tunjukkan kepada sopir taksi itu.
“Pak Sopir, stop…” perintahnya
kepad sopir taksi itu.
“Baik, Mbak…” jawab sopir taksi itu
kepadanya.
Taksi yang kami tumpangi itupun berhenti
perlahan. Aku segera membuka pintu dan turun dari taksi sambil
membawa tas ranselnya, Aku menahankan pintu untuknya. Ia pun turun
dari taksi dan terlihat wajahnya yang lelah itu berusaha untuk
tersenyum kepadaku. Setelah Ia turun Aku membayar ongkos kepada
sopir. Memang mahal, tapi semua itu kulakukan hanya untuk dirinya.
“Ini, Van.., kostku…, tapi kamu
jangan masuk ya….” Katanya tersenyum.
“Hehehe…, pasti Ibu Kost ya Mbak..”
kataku. “Iya kan, Mbak…?”
“Hu.um, Van… mana tasku…”
jawabnya polos.
“Ini, Mbak ku….” Kataku sambil
menyerahkan tas ransel nya. “Kalo gitu, Aku pamit dulu ya Mbak…,
uda malem nih…”
“Uke, Van…, Dadah Ivan….” Katanya
sambil melambaikan tangan kecilnya kepadaku.
“Dadah juga Mbak….” Kataku sambil
membalas lambaian tangannya.
Setelah itu pun aku segera meninggalkan
kostnya dan berjalan menuju halte Trans Jogja terdekat. Aku teringat
bahwa motorku masih dititipkan di Stasiun. Aku memutuskan untuk
menitipkan motor karena Aku ingin sekali mengantarkannya ke kost.
Ternyata agak jauh juga halte Trans Jogja terdekat. Letaknya ada di
depan pintu gerbang utama YSU. Aku segera masuk, membeli tiket dan
menunggu kedatangan bis yang kebetulan sekali bis yang kutunggu itu
adalah bis terakhir untuk hari itu. Selagi menunggu Aku mengambil
telepon genggam yang ada di kantong celanaku. Aku membukanya ada
sekitar sepuluh sms yang belum terbaca. Segera saja, Aku membuka satu
persatu sms yang masuk itu. Isinya macam – macam. Ada yang tanya
kuliah lah, ada yang minta dibantuin benerin komputer lah. Ya
beberapa ada yang Aku anggap penting, ada yang tidak. Yang jelas,
dari sepuluh sms yang masuk itu ada beberapa yang minta curhat dengan
ku. Yah, sms ku penuh dengan warna.
Saat Aku sibuk membalas sms – sms itu,
terdengar suara bis yang mendekat. Aku menoleh dan terlihat sebuah
bis dengan corak warna hijau kuning datang mendekat. Yah itulah Trans
Jogja yang akan kutumpangi. Aku segera berdiri dan menuju pintu
menunggu bis berhenti dan Aku dapat naik dengan aman. Beberapa
langkah berjalan, tiba – tiba telepon genggamku kembali bergetar.
Aku tak mempedulikannya. Karena ketika getarannya berhenti, posisiku
sedang masuk ke dalam bis dan mencari tempat duduk. Barulah setelah
Aku mendapatkan tempat duduk, Aku mengambil telepon genggamku kembali
dan membukanya. Ada satu sms masuk dan itu ternyata darinya. Isinya
begini:
“Ivaan…, makasih yah buat makan
siangnya tadi…, enak…. :D :D :D. Sebenarnya tadi Aku kaget, kamu
bisa ada di Stasiun…, tapi Aku seneng ogg Kamu traktir Aku, ampe
nganter Aku pulang. Makasih ya, Van…”
Aku tersenyum membaca smsnya yang
terkesan “romantis itu” tapi hasilnya, Aku malah bingung. Aku
harus membalas apa. Aku sempat berpikir terlebih dahulu, kata –kata
apa yang akan Aku tuliskan dalam sms balasanku. Benar – benar untuk
yang satu ini telah menguras banyak energiku. Sampai – sampai
keringat dingin yang keluar, bukannya keringat panas. Ku naik –
turunkan kursor telepon genggamku untuk melihat sms – sms yang
masuk sebelumnya. Barangkali, Aku bisa mencuri – curi kata – kata
yang tepat dari sms – sms yang masuk itu. Selama lima menit Aku
mencari, namun belum juga ketemu. Hingga Akhirnya, Aku memutuskan
untuk membuat balasannya dengan kata – kataku sendiri. Lucu, tapi
mungkin ya inilah yang dapat Aku tuliskan dalam balasanku. Aku
menulis begini:
“Hehehe.., masama Mbak…, tapi besok
pagi, Hadiah Ulang Tahunku Aku ambil ya Mbak…,”
Aneh benar menurutku isinya. Bukannya
saling berterima kasih, namun malah meminta pamrih. Dan Aku berharap,
Ia tidak membalasnya untuk yang satu ini. Jujur, untuk sms-nya yang
tadi sudah membuatku puyeng untuk membalasnya.
Satu menit berlalu. Dua menit berlalu.
Hingga menit ketiga, telepon genggamku belum juga bergetar. Mungkin
Ia memang tidak berniat membalasnya atau Ia sedang ada aktivitas lain
yang perlu Ia kerjakan. Sampai lima menit berlalu, telepon genggamku
juga tidak kunjung bergetar. Hingga Akhirnya, ketika Kondektur
meneriakkan sesuatu kepada penumpang, bahwa Bis Akan berhenti di
sebuah halte di mana letak halte itu dekat dengan tempat Aku
menitipkan sepeda motor, telepon genggamku bergetar. Aku belum sempat
membukanya, karena saat itu Aku sedang turun dari bis dan berjalan
menuju tempat penitipan sepeda motor. Nah, selama Aku berjalan
itulah, Aku baru sempat mencek telepon genggamku yang bergetar di
dalam bis tadi. Kurogoh kembali saku celanaku untuk mengambil telepon
genggamku dan kulihat, ternyata sebuah sms masuk. Tanpa membuang
waktu lagi, Aku segera membukanya dan ini adalah sms-nya. Isinya
makin membuatku bingung saja. Isinya begini:
“Boleh, boleh. Besok pagi datang aja
ke-kost-an Mbak…, ntar Mbak kasih sesuatu….”
Wah, lagi – lagi Aku harus berpusing –
pusing ria. Kali ini harus kubalas apa sms-nya. Aku berusaha
memikirkan sebuah kalimat yang singkat, padat, jelas, tidak
membuatnya tersinggung, namun malah harus membuatnya tersenyum.
Langkahku pun terhenti karena harus memikirkan kalimat itu. Aku
segera mencari tempat yang enak untuk duduk, dan Aku menemukan tempat
itu di dekat pos Ojek. Langsung saja Aku meminta izin kepada para
tukang ojek yang sedang mangkal di situ untuk ikut duduk bersama
mereka. Dengan mengutarakan alasan Aku lelah dan perlu duduk
sebentar. Alhasil, para tukang ojek yang sedang mangkal di situ pun
mengizinkanku untuk duduk bersama mereka.
Aku segera menempatkan diri. Aku duduk di
sebuah bangku panjang yang letaknya ada di bawah pohon. Tempat di
mana Aku duduk cukup terang, karena di situ selain ada pos Ojek juga
ada warung makan. Aku segera membuka sms-nya tadi dan berusaha
memikirkan kata terbaik untuknya. Juga memikirkan agendaku esok hari.
Aku segera membuka buku agendaku yang ada di dalam tas. Kemudian Aku
langsung mencari tanggal hari esok. Aku runut satu persatu tanggal
hingga akhirnya sampai di tanggal hari esok. Ternyata besok Aku tidak
ada jadwal. Selain hari Minggu, teman – temanku yang biasanya
datang ke rumahku untuk belajar bersama memiliki agenda lain sehingga
tidak bisa datang ke rumahku. Akhirnya, Aku pun menemukan kalimat
yang tepat itu. Ku tulis balasannya begini:
“Uke dee, Mbakku.., tapi besok pagi jam
berapa…? Ntar Aku ke tempet Mbak pagi – pagi, Mbak masih tidur….
:D :D :D…”
Setelah itu Aku menekan tombol kirim
untuk mengirimkan pesan itu.
---
*** ---
Telepon genggamku kembali bergetar. Aku
mencoba melihat dan ternyata sekarang bukan sms darinya, namun dari
operator. Sms itu memberikan tahukan kepadaku bahwa Aku mendapatkan,
ya…, sedikit bonus sms gratis lah karena Aku sudah mengirimkan
lebih dari 25 sms reguler. Aku sedikit tersenyum dan berpikir ini
mungkin sedang rejekiku mendapatkan bonus sms. Selepas itu, Aku
kembali memasukkan telepon genggamku ke dalam saku dan bersiap untuk
meninggalkan pangkalan Ojek itu. Namun sebelumnya Aku mengucapkan
terima kasih kepada para tukang ojek yang sedang mangkal di tempat
itu.
Aku segera berjalan kembali menuju tempat
penitipan sepeda motor. Letaknya tidak jauh. Ya, jika diukur dari
Stasiun kira – kira lima puluh meter lah. Cukup dekat sehingga
dengan berjalan kaki pun dapat dicapai kurang dari lima menit.
Sesampainya di tempat penitipan itu, Aku segera mengambil karcis
penitipan dan beberapa lembar uang seribuan sebagai ongkos penitipan.
Cukup murah, namun aman. Daripada di parkir di tempat parkir stasiun
yang belum tentu aman keadaannya. Setelah menerima kembalian, Aku
segera mencari motorku dan tidak memakan waktu yang lama motorku
dapat Aku temukan. Letaknya di tengah – tengah di antara motor –
motor yang lain. Aku segera mengambil kunci motorku yang ada di dalam
tas, mengambil helm yang ada di bagasi motor, dan kemudian
mengeluarkannya dari tempat parkir. Seorang petugas penitipan
berusaha membantuku dengan menarik motorku keluar dari tempat parkir.
Sehingga Aku tidak kepayahan saat mengeluarkan motorku dari tempat
parkir. Segera kunyalakan mesin motorku, dan melesat meninggalkan
area Stasiun Lempuyangan untuk pulang kembali ke rumah.
Aku berjalan perlahan. Karena hari sudah
gelap dan lalu lintas malam itu tampak padat. Aku mengontrol
kecepatan motorku di bawah empat puluh kilometer per jam. Supaya
tidak terjadi insiden yang tidak diinginkan. Ketika Aku sedang
berjalan, telepon genggamku kembali bergetar. Aku dengan segera
mengambilnya dari kantong celanaku dan melihatnya. Kebetulan saat itu
Aku sedang berada di Perempatan Jalan Hayam Wuruk dan lampu lalu
lintas sedang menyala merah. Segera saja Aku manfaatkan waktu yang
sempit ini dengan melihat telepon genggamku. Sms dari-nya lagi masuk
ke dalam telepon genggamku. Aku membukanya dan membaca isinya. Isinya
seperti ini:
“Hehehe, taw aj klu Mbak suka bangun
kesiangan, n kalo g ada yg bangunin g bisa bangun pagi…, Uke dee,
besok jam 9-an aja…, ya…”
Aku membacanya dengan cepat, dan setelah
itu langsung Aku balas seperti ini:
“Oke dee, mbak…, besok jam 9…,
sekarang Mbak istirahat dulu aj…, cpek kan…? :D :D :D…?”
Selepas itu segera ku masukkan telepon
genggamku kedalam saku ku lagi dan bersiap melesat kembali karena
lampu sebentar lagi akan menyala hijau. Dan benar saja, tidak sampai
sepuluh detik lampu merah berganti dengan lampu hijau. Dengan segera
ku melesat jauh meninggalkan persimpangan itu dan meneruskan
perjalanan pulang. Tapi tetap saja Aku tidak bisa ngebut, karena lalu
lintas penuh dan ditambah lagi malam ini adalah malam Minggu. Waktu
yang sangat tepat untuk orang – orang keluar dan bersantai. Hal ini
tentu saja membuat jalanan makin penuh dan Aku benci dengan hal ini.
Karena waktuku semakin banyak terbuang di jalanan.
Perlahan – perlahan Aku bergerak. Aku
tidak bisa bergerak bebas. Di kanan kiriku, depan, dan belakangku
semuanya motor. Sedangkan kendaraan roda empat berada di belakang
karena tak dapat menembus kemacetan. Sampai setengah jam Aku terjebak
macet. Dan anehnya, di area yang macet itu, tak tampak satu petugas
polisi pun yang mengatur lalu lintas. Sehingga semakin semrawut saja
dan sepertinya Aku akan kemalaman. Aku bergerak kembali, perlahan –
lahan, sedikit demi sedikit hingga akhirnya Aku mencapai di sebuah
persimpangan dan persimpangan itu sangat bertolak belakang dengan
jalan yang kulalui ini. Persimpangan itu tampak lengang. Tidak
terjadi kemacetan sama sekali, dan tampaknya kemacetan hanya terjadi
di jalan – jalan yang akan masuk di persimpangan itu. Sehingga saat
lampu berubah hijau, Aku dapat melesat dan meluncur tanpa hambatan.
Tak terasa setelah empat puluh lima menit
perjalanan, akhirnya Aku tiba di rumah. Saat Aku masuk, rumah tampak
sepi. Ku lihat jam tanganku untuk meyakinkan diriku bahwa Aku tidak
terlambat pulang. Dan nyatanya tidak. Jam tanganku masih menunjukkan
pukul tujuh malam. Namun rumah terlihat sepi, lampu – lampu saja
belum dinyalakan. Akhirnya kuputuskan untuk masuk saja lewat pintu
garasi rumah. Sekalian Aku memasukkan motorku dan apabila keluargaku
pulang dari bepergian dapat lewat pintu kamar tamu yang biasanya Ayah
atau Ibu membawa kunci serepnya. Setelah Aku memasukkan motorku, dan
mengunci kembali pintu garasi, Aku segera menghidupkan semua lampu
dan menutup semua korden. Kemudian barulah Aku pergi ke kamar untuk
berganti pakaian dan istirahat sejenak sebelum melakukan aktivitas
selanjutnya.
Aku segera merebahkan diri di kasur yang
empuk. Kuambil telepon genggamku kembali untuk memeriksa apakah ada
sms atau missed call yang masuk. Untuk kali ini telepon genggamku
tidak memunculkan notifikasi apa – apa. Ini berarti bahwa saat ini
sedang tidak ada sms atau missed call yang masuk. Karena tidak ada
apa – apa, ya.., Aku langsung saja mengambil headset yang
tergeletak di atas meja dan mendengarkan musik dengan menggunakan
headset itu sambil menunggu keluargaku pulang. Namun tak sampai lima
belas menit Aku mendengarkan musik, Aku tertidur…..
---***---
Aku merasa tidurku sangat pulas. Karena
saat sampai Ibuku membangunkanku Aku tidak bisa dibangunkan. Bahkan
sampai tiga kali Aku dibangunkan. Bukannya Aku malas bangun, namun
karena badanku sangat letih. Aku merasa semua badanku terasa sehabis
mengangkat beban berat. Beban yang teramat berat. Hingga fisikku tak
kuat lagi dan akhirnya ambruk. Aku terbangun setelah Ibuku
membangunkanku untuk yang ketiga kalinya. Perlahan Aku membuka mata
dan kembali mengambil telepon genggamku. Aku segera memeriksanya, dan
agak terkejut ketika Aku mendapati ada sekitar sepuluh sms yang masuk
dan belum terbaca. Tanpa membuang waktu lagi, Aku segera memeriksa
sms yang masuk itu satu persatu dan untungnya diantara yang sepuluh
itu tidak ada sms yang masuk darinya. Kesemua sepuluh sms itu dari
teman – teman kuliahku. Barulah ketika Aku akan menutup kembali
telepon genggamku, sebuah sms masuk. Aku buka kembali dan sms itu
adalah darinya. Isinya berupa sapaan “selamat pagi” kepadaku.
“Pagyyyy Ivaaaaan……. #melambaikan
tangan”
Aku pun membalas smsnya dengan sapaan
selamat pagi juga.
“pgyyy jg mbaak,…… #melambaikan
tangan n berjalan mendekat”
Setelah itu, Aku kembali menaruh telepon
genggamku di kasur. Karena Aku tahu, biasanya ada jeda waktu sekitar
sepuluh hingga lima belas menit sejak balasanku dikirim kepadanya.
Aku segera memanfaatkan waktu yang cukup singkat itu untuk mencuci
muka dan sholat subuh. Kemudian Aku baru kembali ke kamar untuk
memeriksa telepon genggamku lagi. Kini saat kuperiksa, tidak ada
notifikasi apa – apa. Bahkan sms-nya darinya pun tidak ada. Karena
tidak biasa terjadi, Aku segera membawa telepon genggamku dan
memasukkannya ke dalam saku celana pendekku. Setelah itu, Aku
melaksanakan rutinitas pagiku.
Hari ini adalah hari Minggu. Hari yang
sangat kutunggu – tunggu. Karena di hari ini Aku dapat libur
setidaknya sehari dari segala kegiatan perkuliahan. Aku dapat
melakukan semua aktivitas yang Aku inginkan. Termasuk menepati
janjiku kepadanya tepat jam Sembilan di kostnya. Aku segera
mempersiapkan dirinya. Aku segera membersihkan diri, berpakaian, dan
menyiapkan semua perlengkapan pribadiku yang aku masukkan ke dalam
tas ransel. Setelah menyantap beberapa sendok nasi, Aku segera
berangkat menuju kostnya. Selama perjalanan, jantungku terus
berdegup. Tidak tahu apa yang akan Ia lakukan saat Aku tiba di
kostnya. Karena terlalu dalam membayangkannya.., beberapa kali Aku
kelupaan untuk melaju saat lampu lalu lintas menyala hijau. Sehingga
beberapa kali, pengendara motor di belakangku membunyikan klakson
untuk memperingatkanku. Aku bergerak perlahan, karena tidak ingin
terjadi apa – apa dengan diriku sebelum dapat bertemu dengannya.
Dan syukur, selama tiga puluh menit perjalanan, Aku tiba di area
kampus YSU. Aku segera menuju ke komplek kostnya yang ada di dekat
FBS. Sesampainya di sana, segera kuparkirkan motorku dan berjalan
menuju depan pintu masuk kost. Kemudian Aku melihat ke arah jam
tanganku. Jam masih menunjukkan pukul delapan lewat lima puluh menit.
Sepuluh menit lebih awal dari kesepakatan yang telah dibuat. Segera
Aku mengambil telepon genggamku dan mencoba mengirim sms kepadanya.
“Mbaaak…, Aku udah di depan….”
Setelah mengirim sms, Aku segera mencari
tempat duduk yang kebetulan ada di sekitar kostnya. Beberapa menit
Aku menungguinya sambil ber-sms-an dengan teman – teman kuliahku.
Hingga tanpa kusadari, Ia sudah berada di belakangku.
“Ivaan….” Katanya memanggilku.
Aku pun menoleh ke belakang dan melihat
dirinya dengan senyum manisnya itu. Aku pun menjadi gagap
dibuatnya..,
“Eh…eh.., mbak…..”
“Belum jam sembilah loh…, ini tu….”
Katanya sambil menunjuk ke arah jam kost.
“eh, tapi jam ku udah lho, mbak…,”
balasku sambil menunjukkan jam tanganku. “tuh iya kan mbak…,
malahan uda jam Sembilan lewat sepuluh menit…”
“Eh, Ivan tuuu…, kalo udah janjian
dee.., datengnya pagi – pagi…” katanya genit.
“Hehehehe.., mbak…” ----
“Kemarin mbak, nyuruh dateng ke sini
buat ngapain to…? , kok mbak lupa…” tanyanya kepadaku tapi
dengan ekspresi wajah yang menimbulkan ketanda tanyaan besar.
“Yah, mbak…, Aku aja nggak tahu
kenapa di suruh dateng ke sini. Mbak sendiri belum bilang apa – apa
kemaren” jawabku lugu.
“Eh, belum to…? Kayaknya seinget
mbak.., mbak mau kasih kamu sesuatu…” katanya sambil tersenyum.
“Eh, iya…, Aku lupa mbak….,
hehehehe…., maaph deh mbak… kan inbox sms-ku banyak.., jadinya
banyak yang lupa…” jawabku berpura pura lugu. “trus, mbak mau
kasih hadiah apa….?”
“emmmm, sini deh…,” katanya sambil
menunjuk ke arah sampingnya.
Aku kemudian berjalan mendekatinya dan
berhenti tepat di sampingnya. Kemudian kuletakkan tanganku di atas
sandaran kursi yang Aku duduki tadi. Ia menoleh kepadaku, secara
bergantian Aku pun menoleh dan menatap raut wajahnya. Beberapa menit
lamanya, kami saling berpandangan. Hingga Akhirnya, Ia mendekat..,
semakin mendekat…. dan…
-----
**** ------
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit……
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit……, Aku tersentak kaget dari
lamunanku. Rupanya pengendara motor yang ada di belakangku
membunyikan klakson untuk memperingatiku. Kemudian Aku melihat di
depan ku tampak lengang. Tidak ada motor atau mobil yang berhenti di
depanku. Rupanya selama Aku melamun tadi, kemacetan telah berangsur –
angsur mencair dan lalu lintas di depan Stasiun Lempuyangan kembali
lancar.
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit…..,
Sekali lagi Aku diklakson oleh pengendara motor yang berada di
belakangku. Aku segera melesat dan memacu motorku secepat –
cepatnya meninggalkan area Stasiun Lempuyangan. Selama perjalanan Aku
baru tersadar sepenuhnya bahwa yang “sepertinya terjadi” itu
hanyalah bayangan dari lamunanku saja. Aku tidak tahu, mengapa itu
tampak seperti nyata dan benar – benar terasa Aku melakukan itu
semua. Aahh…, mungkinkah ini karena diriku yang benar – benar
mencintai dirinya…?
----
*** -----
Komentar
Posting Komentar