MEMORI TERAKHIR
MEMORI TERAKHIR
Oleh: M. Irfan Luthfi
“ Jadikan setiap tanggal 15 Oktober ini
hanya untuk kita bersama..., Kau dan Aku.., ”
Sebuah
catatan kecil yang selalu Aku bawa ke manapun ku pergi. Memori terakhir yang
ingin selalu kukenang dan tak ingin Aku lepaskan meskipun dunia telah berakhir.
Seorang sahabat telah meninggalkan dunia ini dengan bahagia dan meninggalkan
cerita – cerita manis. Lima tahun yang lalu...,
15
Oktober 2007
Aku
duduk di bangku sekolah menengah umum. Aku belajar di sebuah sekolah yang cukup
ternama di tempat tinggalku. Ketika Aku masuk, Aku dikenal sebagai gadis
pendiam. Selalu memperhatikan diri sendiri dan hampir tidak pernah
memperhatikan orang lain. Satu – satunya hal yang menjadi temanku adalah sebuah
buku catatan harian. Setiap emosiku, keluh kesahku, selalu Aku tumpahkan ke
sana tanpa membuat orang lain mengetahuinya. Karena begitu pendiamnya diriku,
Aku sulit sekali mendapatkan teman. Sesekali teman sekelas mengajak ku
berbicara, itu pun jika ada keperluan saja. Rasanya ingin sekali Aku berteriak
dan orang lain bisa mendengarnya, namun apa daya.., sudah menjadi kebiasaanku
untuk memendamnya dalam – dalam dan tidak menghiraukannya.
Suatu
ketika, waktu istirahat sekolah. Aku mengambil bekal makan siangku dan
membukanya. Aku sudah terbiasa membawa bekal makan siang sejak duduk di sekolah
dasar. Orang Tua ku begitu perhatian kepadaku, hingga makan siangku pun mereka
siapkan. Bekal hari ini adalah nasi dan sup jamur dengan udang goreng. Aku
sangat suka sekali sup jamur, apalagi jika ditambahkan dengan udang goreng. Aku
mulai menyukai makanan – makanan itu semenjak Aku kecil. Orang Tua sudah
membiasakanku untuk makan sayuran setiap makan.
Jam
istirahat di sekolah ku diberlakukan dua kali. Jam istirahat pertama
diberlakukan pada jam sembilan dan waktunya hanya lima belas menit. Sehingga
banyak yang tidak keluar dari kelas dan memilih untuk mendengarkan musik atau
bercanda tawa. Sedangkan Aku hanya terus terduduk di tempat duduk ku dan
membaca sebuah buku. Terus membaca buku hingga waktu istirahat berakhir.
Istirahat kedua adalah pukul dua belas siang. Saat itulah banyak yang memilih
keluar kelas untuk mencari makan siang. Aku, cukup berteman saja dengan bekal
makan siangku.
Aku
menghabiskan bekal makan siangku di kala istirahat kedua itu. Karena saat
itulah kelas bisa dikatakan kosong, sehingga hanya tinggal Aku sendiri yang
berada di dalam kelas. Meskipun beberapa kali ada yang masuk untuk mengambil sesuatu
yang tertinggal. Namun Aku selalu mengacuhkannya.
Di
saat Aku sedang menghabiskan bekal makan siangku, seorang anak laki – laki
masuk ke dalam kelas. Dia berjalan mendekat ke arahku, namun Aku tetap
mengacuhkannya karena kupikir ada sesuatu miliknya yang tertinggal dan Ia akan
mengambilnya. Benar saja, Ia berjalan menuju ke arah bangkunya dan mengambil
semacam buku dari tasnya. Buku itu berwarna hitam dengan dua pita pembatas
berada di tengah – tengahnya. Artinya buku itu belum pernah dibuka ataupun
dibaca. Ia kembali berjalan, namun Ia tidak ke arah pintu keluar. Ia berjalan
ke arahku namun dari belakang. Ia menggenggam buku hitam itu dengan kedua
tangannya dan berjalan pelan seperti akan menghampiriku. Aku berpikir, mungkin
karena Ia ingin lebih lama berada di dalam kelas sehingga memilih jalan memutar
yang lebih jauh. Karena keadaan di luar juga terlihat sangat panas, sehingga
mungkin Ia ingin merasakan dinginnya ruang kelas. Namun, seluruh bayangan dan
pikiranku salah!
“Ka’..,
selamat ulang tahun ya.., “ Kata anak laki – laki setelah tepat berada di
sebelah bangku tempatku duduk.
“Eh...?”
Kataku sambil menoleh ke arahnya berdiri.
“Selamat
ulang tahun ya Ka’.....” Ucapnya sekali lagi, namun kali ini dengan tatapan
tajam ke arahku. Tatapannya tajam namun sulit dikatakan, itu begitu
menenangkan.
“Eh...,
iya.., Terima kasih....” Ucapku terbata, terperangah melihat tatapan matanya.
“Ini
sesuatu yang hanya bisa kuhadiahkan untukmu.....” Katanya sambil menggenggam
buku itu dengan kedua tangannya, hendak memberikannya kepadaku.
Aku
yang ketika itu masih memegang sendok, secara spontan langsung melepaskannya.
Kuusap kedua tanganku dengan sapu tangan dan dengan segera Aku berdiri
menyambut buku yang Ia genggam dan hendak diberikan kepadaku. Aku menerima buku
itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku tidak tahu apa yang harus Aku
lakukan. Ketika buku itu sudah berada dalam genggamanku, Aku segera mendekap
buku itu erat – erat dengan kedua tanganku. Aku tetap tidak dapat melepaskan
pandanganku dari tatapannya. Aku hanya dapat berdiri terdiam dengan buku hitam
yang berada dalam dekapanku. Suasana menjadi lebih tenang dan sunyi, meskipun
itu hanya beberapa detik hingga akhirnya Ia mengucapkan sesuatu kepadaku.
“Selamat
ulang tahun ya, Ka’.., semoga buku itu dapat menjadi hadiah yang berarti
ya....” katanya sambil tetap menatapku dalam dalam.
“Eh..,
iya.., Terima kasih...,” Kataku sambil merendahkan dan mengalihkan pandanganku
darinya.
“Tidak
setiap orang bisa merasakan usia tujuh belas tahun ya, Ka’...., “ katanya lagi.
“Eh...?”
Aku kembali menatap wajahnya sekali lagi karena terheran dengan apa yang Ia
katakan.
“Ah..,
sudah tidah usah dipikirkan.., yang penting sekarang kamu sudah berusia tujuh
belas tahun... Ka’..., Selamat ulang tahun ya... “ katanya mencoba menarik kata
– katanya. “Ya sudah.., Aku mau keluar, rasanya lapar ini sudah tidak dapat
ditahan...”
Ia
pun mulai berjalan meninggalkanku yang masih berdiri terdiam sambil menggenggam
buku. Aku yang bingung, spontan saja berlari mengejarnya yang sudah berada di
depan pintu kelas.
“Tunggu
Aku....” Kataku sambil berlari dari bangkuku.
Anak
laki – laki itu pun berhenti dan menoleh ke arahku. Ia tampaknya terheran
dengan apa yang kulakukan.
“Mengapa
kamu tiba – tiba ingin mengikuti ku...? Tanya anak laki – laki itu.
“Tak
apa – apa.., Aku merasa di dalam kelas begitu pengap dan Aku juga ingin mencari
udara segar....” Jawabku beralasan.
“Tapi
tidak apa – apakah jika kamu keluar dari kelas...? tidak seperti biasanya kamu
yang suka tinggal di dalam kelas sendirian.” Tanya anak laki – laki itu lagi.
“Tak
apa..., ayo kita segera mencari sesuatu untuk dimakan. Kurasa bel tidak lama
lagi akan berbunyi” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan sembari mendorongnya
keluar kelas.
Dengan
masih mendekap buku hitam hadiahnya, Aku berjalan beriringan dengannya menuju
ke kantin sekolah. Aku yang masih belum begitu mengenal dirinya, mencoba
mengajaknya berbicara dengan harapan bisa mengenal dirinya lebih dalam.
“Eeem...,
mungkin lucu karena hampir dua tahun kita sekelas tapi Aku belum terlalu
mengenalmu...” kataku memulai pembicaraan.
“Begitu
pula denganku..., lucu juga hampir dua tahun kita sekelas..., Aku juga belum
begitu mengenalmu....” Katanya sambil tersenyum.
Aku
pun mendadak merendahkan tatapanku setelah melihat senyum dan mendengar
ucapannya itu. Aku memikirkan apa yang baru saja Ia katakan. Memang benar,
karena kependiamanku, menjadikan Aku kurang dikenal.
“Apakah
agar dapat saling kenal, kita perlu memperkenalkan diri masing – masing?”
Tanyaku kepadanya sembari menundukkan sedikit kepalaku.
“Heiii....,
ide yang bagus..., dengan begitu kamu akan menceritakan tentang dirimu...,
begitu juga denganku....” Kata anak laki – laki itu.”Tapi tampaknya.., sayang
sekali.., bel sekolah sepertinya hampir berbunyi.... bagaimana jika selepas
pulang sekolah?”
“Eemmm..,
boleh juga.., selepas pulang sekolah sepertinya waktunya cukup banyak untuk
kita saling memperkenalkan diri...” Kataku menyetujui ajakannya itu.
“Jika
demikian, sebaiknya kita kembali ke kelas saja.., lebih baik sebelum lonceng
berbunyi atau kita nanti terlambat. Apalagi setelah ini kita ada kelas
matematika, kan...?” kata anak laki – laki itu sembari menghentikan langkahnya.
“Tetapi,
ketika di dalam kelas tadi kamu berkata bahwa kamu merasa lapar?” Tanyaku
kepadanya.
“Tidak
apa – apa.., aku kan laki – laki.., menahan lapar sampai nanti pulang sekolah
apa susahnya sih?” Jawab anak laki – laki itu dengan tersenyum.”Kita kembali ke
kelas sekarang....”
Anak
laki – laki itu segera memutar badannya dan berjalan menuju kelas. Aku pun
mengikutinya. Berjalan beriringan kembali dengannya. Aku tidak merasa ada
sesuatu hal yang menghalangi antara anak – anak laki itu denganku. Ini adalah
kali pertamanya Aku merasakan hal itu, setelah sekian lama terkurung dalam
kependiamanku. Benar saja, tidak sampai satu menit kemudian, lonceng
berbunyi.., Kelas matematika pun dimulai.., dan Aku tidak dapat berkonsentrasi
dengan pelajaran matematika hari ini. Semuanya karena anak laki – laki yang memberikanku
hadiah buku hitam pada hari itu.
----- ***** -----
Pukul
empat sore, lonceng sekolah kembali berbunyi. Kali ini lonceng menandakan jam
sekolah telah usai. Aku segera membereskan buku buku dan alat tulis untuk
dimasukkan ke dalam tas. Sementara anak laki – laki itu telah terlebih dahulu
keluar dari kelas bersama dengan anak laki – laki lainnya. Takut
mengecewakannya, Aku memasukkan semua buku dan alat tulis ke dalam tas dengan
tergesa – gesa. Hingga tak sadar hadiah buku hitam pemberiannya tidak ikut di
bawa masuk ke dalam tas.
Aku
segera berlari menuju pintu kelas, berharap Ia belum terlalu jauh berjalan.
Namun di luar dugaan, Ia ternyata menunggu ku di depan kelas. Ia bersandar pada
sebuah dinding sambil memainkan telepon genggamnya. Langsung saja Aku
menyapanya, meskipun saat itu nafasku masih terengah – engah.
“Hei...,
maaf membuat kamu menunggu....” Kataku terengah – engah.
“Eh..,
mengapa begitu tergesa – gesa?. Aku tidak akan meninggalkanmu kok...” Katanya
terheran – heran memandangiku, sementara tangan kanannya masih memegang telepon
genggamnya.
“Maaf,
Aku pikir kamu telah berjalan jauh dan lupa akan tadi siang...” Kataku kembali.
“Aku
tidak akan melupakan apa yang telah Aku katakan. Jika itu sudah menjadi sebuah
janji, Aku tidak akan melupakannya.” Katanya sambil menutup telepon genggamnya
dan memasukkannya ke dalam saku celana. “Sudah yakin tidak ada barang yang
tertinggal lagi di kelas?”
“Sebentar,
Aku lihat dulu ya...” Jawabku sambil membuka tasku.
Aku
melihat ke dalam isi tasku. Semuanya tampak baik – baik saja. Hingga akhirnya
aku tersadar bahwa benda penting dan paling berharga tidak ada di dalam tasku.
Aku segera meminta izin kepadanya untuk
mengambil benda itu di dalam kelas. Semoga saja masih ada.
“Maaf,
sebentar..., sepertinya ada yang tertinggal...” Kataku meminta izin.
“Tidak
apa..., pastikan semuanya tidak ada yang tertinggal ya..” Katanya memberikanku
izin.
Aku
dengan segera masuk kembali ke dalam kelas dan menuju bangku tempatku duduk.
Benar saja, sebuah benda berbentuk seperti buku dan berwarna hitam tergeletak
di atas meja. Aku segera meraihnya dan memasukkannya ke dalam tas. Selepas itu,
Aku segera kembali ke tempat Ia menunggu.
“Maaf
sekali lagi.., telah membuat kamu menunggu...” Kataku sambil agak menundukkan
kepala.
“Tak
apa... ayo kita jalan....” Jawabnya sambil membenahi tasnya.
Ia
pun mulai berjalan perlahan menuju tangga yang berada di ujung koridor kelas.
Aku pun segera menyusulnya dan berjalan beriringan dengannya.
“Jadi
apa yang akan kita lakukan sekarang...? Tanyaku polos.
“Seperti
yang sudah kita rencanakan tadi siang, kita akan saling berkenalan....,
Sehingga Aku dapat mengenalmu dengan baik.., begitu juga denganmu juga akan
mengenalku dengan baik juga....” Jawabnya perlahan.
“Jadi
akan ke mana kita...?” Tanyaku lagi kepadanya.
Tangga
sudah berada di depan mata, Dia pun menuruni anak tangga itu satu persatu
dengan perlahan. Begitu juga denganku yang sedari tadi juga bersamanya.
“Kita
ke pohon mahoni di depan gedung sekolah ini saja ya..., Aku senang ke sana..,
karena di sana Aku bisa melihat matahari tenggelam dengan begitu indahnya...”
Jawabnya sambil melihat ke arah bawah melihat anak tangga yang Ia lalui.
“Kita
bisa melihat matahari tenggelam dari sekolah ini...?” Tanyaku terheran.
“Kamu
akan mengetahuinya nanti....” Jawabnya sambil menatapku dan tersenyum.
Tidak
membutuhkan waktu lama Aku dan anak laki – laki itu menuruni tangga itu.
Berjalan perlahan menuju pintu keluar yang sudah berada di depan mata. Terasa
sekali sekolah tiba – tiba menjadi sangat sepi dan hanya ada Aku dan anak laki
– laki itu. Ia berjalan keluar dari gedung dan segera menuju pohon mahoni yang
terletak di depan gedung. Aku pun demikian, berjalan mengikutinya hingga tiba
di sebuah pohon mahoni yang terletak di depan gedung. Di bawah pohon mahoni itu
terdapat satu buah bangku dan ayunan kecil yang tergantung pada salah satu
ranting pohon mahoni itu.
Ia
pun menghentikan langkahnya setibanya di pohon itu. Aku pun menghentikan
langkahku dan berdiri di belakangnya.
“Jadi..,
di sinilah tempatnya....” Katanya sambil meletakkan tasnya di bangku itu.
Aku
berjalan menuju ayunan itu dan duduk di ayunan itu.
“Aku
tidak tahu tempat yang sering Aku lewati ternyata seindah ini....” Kataku
setelah melihat mentari sore yang bergerak perlahan menuju pucuk horizon.
“Aku
sering menghabiskan waktu di sini ketika Aku merasa sedih, atau ketika sedang
memikirkan sesuatu yang membebani pikiranku....” Katanya sambil duduk di bangku
yang terletak di depan pohon mahoni itu. “Oh, iya.., namaku Rudi.., Rudi
Satya.., Biasanya orang – orang memanggilku Rudi...”
“Namaku
Eka, Eka Putri.., Biasanya orang tua dan saudara – saudaraku memanggilku Eka.
Begitu pula denganmu.....” Kataku sambil mengayunkan ayunan itu perlahan.
“Jadi
kamu Eka Putri.., ya.., Selama ini Aku hanya mengenalmu Eka saja.., lucu sekali
ya....” Katanya sembari tertawa kecil. “Aku pun mengetahuinya setelah tidak
sengaja melihat namamu terpampang di sampul buku catatan harianmu....”
“Maafkan
Aku..., tapi benar – benar Aku baru mengetahui nama kamu Rudi..,” Kataku dengan
menundukkan kepala.
“Mengapa
kamu tidak mencari teman...?” Tanyanya padaku sambil menatap ke arahku.
Aku
pun membalas tatapannya dengan tatapan kosong. Aku tidak dapat menjawab pertanyaan
itu, karena sungguh Aku tidak mengetahui jawabannya.
“Aku
tidak tahu, sungguh.....” Kataku menggelengkan kepalaku dan kembali tertunduk.
“Heeii..,
berteman itu baik..., tidak akan membuatmu kesusahan..., “ Katanya sambil
menatap ke arah matahari terbenam. “Dengan berteman.., apa yang tidak mungkin
kamu lakukan sendirian.., menjadi mungkin....”
“Tapi...,
“ Ucapku terputus. “Aku belum pernah berteman ataupun memiliki teman sejati
sebelumnya...”
“Bagaimana
jika Aku menjadi teman sejati untukmu yang pertama kali...?” Tanyanya padaku
dengan tatapan yang begitu dalam.
“Teman...,
sejati....?” Tanyaku membalikkan pertanyaan yang seharusnya kujawab.
“Iya...,
teman sejati..., mau kah jika Aku menjadi teman sejatimu yang pertama....?”
Tanyanya kembali untuk menegaskan pertanyaannya.
“Tapi...,
Aku takut jika Aku membuatmu kecewa..,” Jawabku tertunduk sembari menggegamkan
tanganku.
Sinar
matahari tenggelam yang begitu terang tiba – tiba menghilang. Ia ternyata sudah
berdiri di hadapanku. Kemudian Ia duduk dengan menggunakan salah satu lututnya
sebagai tumpuan. Ia kembali menatapku tajam namun menenangkan.
“Itulah
pertemanan..., kadang kamu atau Aku harus merasakan kekecewaan.., kadang kamu
atau Aku merasakan kebahagiaan.., kadang kamu atau Aku merasakan kesedihan..,
Semua itu akan bermakna dan membuat sebuah cerita yang akan lama membekas di
ingatanmu.....” Katanya sambil tersenyum.
“Aku
masih belum yakin apakah Aku sanggup melakukannya....” Kataku semakin tertunduk
dalam. Aku merasa jika butir – butir air mataku mulai meleleh dan membasahi
pipiku.
“Eh...,
kok jadi sedih begini siih....?” Tanyanya kepadaku sambil berdiri dari dari
duduknya. “Semua orang pasti membutuhkan orang lain, orang tidak dapat hidup
sendiri....”
Aku
mengangkat kepalaku dan menatap ke arah matanya. Aku terdiam sejenak untuk
memikirkan kata – kata yang baru saja kudengar.
“Semua
orang membutuhkan orang lain, orang tidak dapat hidup sendiri...” Kataku
berbisik.
“Jadi..,
maukah kamu jika Aku menjadi teman sejati pertamamu....?” Tanyanya mengulangi
pertanyaan yang belum kujawab.
Aku
pun berdiri dari ayunan tempat ku duduk dengan tetap menatapnya. Namun Aku
masih terdiam, dan belum mampu menjawab pertanyaan yang jarang sekali bahkan
hampir tidak pernah kudengar.
“Aku...,
“ Aku hampir tidak mampu meneruskan jawabanku sendiri. Aku mencoba menenangkan
pikiranku. Kupejamkan mataku sebentar dan kuhela nafas panjang. Setelah Aku
cukup tenang. Kubuka kembali mataku dan Aku melihat tatapannya masih dalam.
“Ehemm..,
Maukah kamu menjadi teman sejatiku.....?” Tanyaku kepadanya.
Wajahnya
berubah keheranan, namun tidak berapa lama Ia kembali tersenyum.
“Dengan
senang hati, Aku akan menjadi teman sejatimu..., untuk yang pertama dan
terakhir...” Jawabnya lantang.
Seketika
Aku merasa seperti ada angin berhembus lembut menerpa perasaanku. Semenjak Aku
duduk di bangku sekolah, belum pernah kudengar jawaban ataupun pernyataan
semacam itu. Aku pun tersentak dan terduduk kembali di ayunan. Kepalaku
tertunduk, dalam, dan tidak dapat menatap wajahnya. Kugenggam dan kukepalkan
tanganku kuat – kuat mencoba untuk tidak meneteskan air mata. Namun, perasaan
yang bercampur aduk serta perasaan untuk pertama kalinya mendapatkan teman
sejati membuat dinding yang selama ini kuat untuk memendam perasaan, runtuh
untuk pertama kalinya. Aku tidak dapat lagi memendam perasaan ini. Terisak –
isak Aku menangis. Puluhan, bahkan ratusan butir air mata untuk pertama kalinya
membasahi pipiku.
“Heii..,
kenapa kamu menangis....?” Tanyanya sembari kembali duduk dengan tumpuan
lututnya dan menyodorkan sebuah sapu tangan berwarna putih.”Ini bukan
perpisahan kan...? mengapa kamu menangis....?”
Aku
menatap kembali matanya, tatapannya yang tajam dan menenangkan membuatku benar
– benar tidak dapat menahan makin derasnya butir – butir air mata yang
membasahi pipi. Aku hanya dapat mengambil sapu tangan putih yang Ia sodorkan
dan mengusap air mata yang meleleh dan membasahi pipi.
Dengan
terisak – isak, Aku pun berkata, “Ini adalah kali pertama Aku mendengar jawaban
seindah itu. Dan untuk pertama kali juga Aku mendapatkan teman, bahkan teman
sejati....!”
Ia
pun berdiri dan kembali terduduk pada bangku yang terletak di depan pohon
mahoni. Terdengar Ia menghela nafas panjang.
“Jangan
tertunduk seperti itu, lihatlah ke depan, lihatlah ke arah matahari terbenam
itu....” Katanya sambil menatap ke arah matahari terbenam itu. “Aku suka sekali
menghitung mundur hingga matahari benar – benar tenggelam, maukah kamu
menghitung mundur bersamaku...?
Aku
pun mengangkat kepalaku dan menatap ke arah matahari yang terbenam. Sungguh
indah, cahaya oranye terpadukan dengan warna kuning dan merah membentuk hiasan
yang sangat indah di langit. Dengan berpegangan pada tali ayunan, Aku mencoba
untuk berhenti menangis dan menatap ke arah matahari yang terbenam itu.
“Kamu
mulai terlebih dahulu.....” Kataku kepadanya.
“Baiklah..,
Lima...” Katanya setengah berteriak. “Kamu teruskan....”
“Empat....,
Tiga...., Dua..., Satu....” Kataku dengan berteriak.
Tepat
saat itulah.., matahari itu benar – benar menghilang dari garis horizon. Dan
langit perlahan – perlahan mulai gelap.
“Sebelum
gelap, sudikah kamu memberikan secarik kertas dari buku harianmu itu....?”
Pintanya kepadaku.
Aku
pun segera mengangkat tasku dan membukanya. Kuambil buku catatan harianku dan
penanya. Setelah itu, Aku lepaskan satu lembar kertas dari buku catatan harian
itu dan kuberikan padanya.
Ia
menerima kertas dan pena yang kuberikan padanya. Kemudian, Ia terlihat
menuliskan beberapa kalimat pada kertas itu.
“ Jadikan setiap tanggal 15 Oktober
ini hanya untuk kita bersama..., Kau dan Aku.., ”
“Baik..,
simpan catatan ini ya.., Satu hal yang Aku inginkan adalah.., kamu dapat selalu
mengingatku ketika kamu membaca catatan itu....” Katanya sembari memberikan
secarik kertas dan pena itu kepadaku.
“Aku
mengerti..., Aku akan menyimpan dan membawa catatan ini kemana pun Aku pergi,
supaya Aku dapat selalu mengingatmu...” Jawabku sambil menerima kertas dan pena
yang Ia berikan kepadaku.
“Hyaaa...,
hari sudah mulai gelap..., sepertinya sudah waktunya kita harus berpisah dan
pulang ke rumah masing – masing....” Katanya sambil berdiri dari tempat
duduknya.
“Tapi,
Aku tidak mau pertemanan kita berakhir hari ini......” Kataku dengan terbata –
terbata.
“Hei...,
siapa yang mengatakan pertemanan kita akan berakhir hari ini...? Aku hanya
mengatakan, jika hari sudah gelap dan sudah waktunya kita pulang ke rumah
masing – masing....” Katanya sambil tersenyum padaku.
Aku
pun bangkit dari ayunan itu dan berdiri terdiam.
“Di
manakah rumahmu...?, mungkin kita bisa pulang bersama....” Tanyaku kepadanya.
“Aku
tinggal di selatan sekolah ini. Kira – kira ya sekitar dua kilometer dari
sekolah ini...” Jawabnya sambil menunjuk ke arah selatan. “Bagaimana dengan
rumahmu...? jauhkah..?”
“Rumahku
berada di sisi utara dari sekolah ini, kurang lebih satu kilometer...” Jawabku
sembari menggenggam sapu tangan putih yang Ia berikan ketika ku menangis tadi.
“Wah
ternyata berseberangan ya.., Jika demikian.., sepertinya kita harus pulang
sendiri – sendiri ini. Kamu membawa sepeda kan...? Tanyanya kepadaku.
“Aku
selalu membawa sepeda kemanapun Aku pergi....” Jawabku menjelaskan.
“Baiklah..,
Ayo kita lekas pulang....” Ajaknya.
Ia
pun mulai melangkahkan kakinya menuju tempat parkir di mana Aku dan Ia
memarkirkan sepeda. Sesampai di sana rupanya penjaga sekolah sudah memasang
raut muka masam. Ia jengkel karena masih saja ada anak – anak yang pulangnya
menjelang malam.
“Maafkan
kami, Pak.., Maafkan kami.., karena kami ada sesuatu yang harus dikerjakan
sehingga baru bisa pulang saat ini...” Katanya mencoba beralasan.
Untunglah
penjaga sekolah mau mengerti dan memberikan izin untuk mengambil sepeda dari
tempat parkir. Aku pun segera menuju ke tempat di mana Aku memarkirkan sepedaku.
Begitu pula dengannya. Aku menuntun sepedaku ke luar dari gerbang sekolah dan
menunggu dirinya. Tak berapa lama kemudian, Ia keluar dari gerbang sekolah
dengan sepedanya. Ia pun menghentikan sepedanya sebentar. Mungkin karena
melihatku ada di depan gerbang sekolah.
“Sampai
ketemu esok pagi.....,!” Teriaknya sambil melambaikan tangannya dan tersenyum.
Kemudian Ia mulai mengayuh sepedanya menjauh dari sekolah.
Aku
pun membalas lambaian tangannya dengan sapu tangan putihnya dan ikut berteriak,
“Jumpa esok pagi.....!”. Setelah itu, Aku pun mulai mengayuh sepedaku untuk
menjauh dari sekolah dan pulang ke rumah.
“Aku
berjanji padamu, untuk menjadi teman terbaik buatmu..., Aku janji.....” Kataku
dalam hati.
Hari
semakin gelap, namun tidak menambah gelap hati dan perasaanku. Hari itu benar –
benar membuat hati dan perasaanku seperti mendapatkan cahaya kembali.
Mendapatkan teman sejati untuk pertama kalinya dan berjanji untuk terus
berteman selamanya meskipun berbagai cobaan datang dan mencoba menghancurkan
ikatan pertemanan itu.
----- ***** -----
16
Oktober 2007
Hari
berganti, dan Aku seperti memiliki semangat baru hari ini. Memiliki teman baru
benar – benar membuatku semangat pada hari ini. Aku berusaha untuk berangkat
lebih pagi dari biasanya, karena Aku tahu, Ia selalu berangkat paling awal
daripada yang lainnya. Apa yang dilakukan di pagi hari, ketika yang lain belum
datang adalah membersihkan kelas dan papan tulis yang akan dipakai. Aku berniat
untuk membantunya, sehingga Aku berusaha untuk berangkat lebih pagi.
Setelah
sarapan dan memasukkan bekal makan siang ke dalam tas, Aku segera berangkat
menuju sekolah. Pagi itu, jam masih menunjukkan pukul enam lewat lima belas
menit. Sementara perjalananku dari rumah hingga sekolah biasanya hanya memakan
waktu lima menit. Sehingga, besar harapanku dapat bertemu dengannya di depan
gerbang sekolah dan masuk ke dalam sekolah bersama – sama.
Aku
mulai mengayuh sepedaku menuju ke sekolah. Jalanan masih sepi karena belum
terlalu banyak orang yang beraktifitas di pagi itu. Sehingga Aku dapat mengayuh
sepedaku lebih cepat dari biasanya. Namun, setibaku di depan pintu gerbang
sekolah. Aku mendapati pintu gerbang sekolah masih dalam keadaan tertutup.
Ternyata Aku berangkat terlalu pagi. Aku pun menunggu di depan gerbang sekolah,
dan tidak sampai lima menit penjaga sekolah menghampiri gerbang sekolah dan
membuka gembok dan rantai yang menguncinya.
“Pagi
sekali kamu berangkat....? Apakah pekerjaan kemarin sore belum selesai...?
Tanya penjaga sekolah kepadaku.
“Iya..,
pak.., “ Jawabku singkat beralasan.
Aku
menunggunya di depan gerbang sekolah. Sesekali kutolehkan pandanganku ke arah
yang lain melihat kemungkinan Ia datang dari arah yang lain. Hampir lima belas
berlalu sejak gerbang sekolah dibuka dan Ia belum terlihat juga. Sementara
murid – murid yang lain mulai berdatangan ke sekolah. Kutolehkan sekali lagi
pandanganku ke arah yang lain, namun tetap saja Aku tidak melihat tanda – tanda
kehadirannya di sekolah. Bahkan hingga lonceng tanda waktu sekolah lima menit lagi
akan dimulai berbunyi, Ia juga belum terlihat juga. Aku mulai merasa was – was
dengannya. Karena Aku tahu bukan kebiasaanya untuk datang terlambat di sekolah.
Akhirnya kuputuskan untuk segera menyusul ke rumahnya dan memastikan Ia baik
baik saja. Berharap, kemungkinan ada sesuatu hal yang menghambatnya untuk
datang ke sekolah dan bukan sesuatu hal yang lain.
Dengan
berbekal insting dan rasa percaya, Aku mencoba mencari rumahnya, dua kilometer
ke arah selatan. Kupercepat kayuhan sepedaku karena semakin merasa tidak
tenang. Hingga Aku menemukan sebuah kompleks perumahan di arah dua kilometer
selatan sekolah. Segera Aku menuju ke sebuah pos pengamanan kompleks dan
bertanya sesuatu, berharap dapat menemukan rumahnya.
“Selamat
pagi, Pak..., “ Ucap salamku kepada salah seorang petugas keamanan yang berjaga
di situ.
“Selamat
pagi juga, mbak.., ada yang bisa saya
bantu...?” Jawabnya membalas salamku dan menanyakan maksud tujuanku,
“Anu,
Pak..., apakah saya boleh bertanya tentang penduduk di kompleks ini...? Saya
mencari rumah teman saya namun tidak mengetahui alamat pastinya....” Kataku
memohon.
“Mbak-nya mencari siapa.., coba saya
carikan di daftar warga.., siapa tahu ada...” Tanya petugas keamanan itu.
“Saya
mencari seorang teman bernama Rudi Satya....” Jawabku kepada petugas keamanan
itu.
“Eeem..,
Rudi Satya ya.., coba saya cari terlebih dahulu..., mbak-nya bisa menunggu di situ....” Kata petugas keamanan itu
sambil menunjukkan ke arah sebuah bangku kayu.
“Baik,
pak...” Jawabku sambil duduk di bangku kayu itu.
Aku
pun duduk di bangku kayu yang telah ditunjukkan oleh petugas keamanan itu.
Sembari menunggu, kuambil telepon genggamku dari saku rok ku. Tampak lampunya
indikatornya berkedip-kedip, menandakan ada pesan singkat yang masuk. Aku segera
membuka telepon genggamku. Terlihat di sana ada beberapa pesan singkat yang
masuk. Aku segera membukanya. Aku melihat beberapa pesan singkat yang masuk
tidak memiliki nama kontak, dan hanya terlihat nomornya saja. Semua pesan
singkat itu baru masuk pagi ini. Aku membuka salah satu pesan singkat itu.
“Hai Eka.., ini Aku.., Rudi..., Boleh Aku
minta tolong satu hal...,? Izinkan Aku untuk tidak mengikuti sekolah pada hari
ini ya.., Aku sakit dan harus di rawat di rumah sakit....
Oh,
iya.., sekali lagi.., jangan khawatirkan Aku.., Aku baik – baik saja..., di
sini sudah ada perawat yang mengawasi dan merawatku dengan baik.., Terima
kasih, Eka.., “
Betapa
terkejutnya Aku melihat pesan singkat itu. Aku pun segera mengurungkan niatanku
untuk mencari rumahnya. Aku pun segera berdiri dan meminta maaf serta memohon
izin kepada petugas keamanan itu.
“Permisi,
Pak.., sebelumnya mohon maaf..., “ Kataku sambil sedikit membungkukkan badan.
“Iya
mbak....? Ada apa...? Tanya petugas
keamanan itu.
“Sepertinya
Saya sudah mengerti di mana teman saya berada. Saya ingin memohon maaf telah
merepotkan bapak dan meminta izin untuk segera menemui teman saya...” Kataku
memohon, namun kali ini Aku membungkukkan badan lebih dalam.
“Oh,
baiklah.., tidak apa – apa.., ini sudah menjadi pekerjaan saya untuk melayani
setiap tamu yang datang ke kompleks perumahan ini... Silakan saja., tidak apa –
apa.” Jawab petugas keamanan itu ramah.
“Terima
kasih atas bantuannya, Pak..,” Kataku sambil sedikit membungkukkan badanku
lagi.
“Terima
kasih kembali.., hati – hati ya, mbak....”
Kata petugas keamann itu.
Aku
segera berjalan keluar dari pos keamanan dan menuju ke tempat di mana Aku
memarkirkan sepedaku. Tanpa membuang waktu lagi, segera kukayuh sepedaku menuju
ke sebuah rumah sakit terdekat dengan kompleks perumahan itu. Selama aku
mengayuh, perasaan was – was dan tidak tenang bercampur aduk menjadi satu. Aku
tidak ingin sesuatu hal terjadi pada sahabat sejatiku yang pertama. Jarak
antara kompleks itu dengan rumah sakit terdekat adalah sekitar lima kilometer.
Meski agak jauh, namun itu tidak begitu terasa dibandingkan dengan rasa was –
was dan khawatir yang sedang Aku rasakan saat ini. Hingga hampir tidak kusadari
Aku telah tiba di depan rumah sakit itu. Segera Aku masuk ke dalam dan
memarkirkan sepedaku ke tempat yang telah disediakan.
Aku
segera masuk ke dalam rumah sakit itu. Memasuki ruang lobi, Aku langsung menuju
ke bagian reservasi untuk menanyakan keberadaannya.
“Selamat
pagi, permisi....” Kataku menyapa pada salah satu petugas reservasi rumah sakit
itu.
“Selamat
pagi juga.., apakah ada yang bisa saya bantu...?” Katanya menjawab sapaanku
diteruskan dengan menanyakan maksud dan tujuanku.
“Eeem..,
Saya ingin mencari tahu, apakah di sini ada pasien yang bernama Rudi Satya...?”
Tanyaku kepadanya.
“Sebentar
ya, saya carikan dulu di daftar pasien.” Katanya menerima permintaanku.”Pasien
dengan Rudi Satya terdaftar dalam daftar pasien kami, dia ada di ruang 10F01.”
“Eh..,
terima kasih banyak atas informasi dan bantuannya....” Kataku mengucapkan
terima kasih kepada petugas reservasi itu.
“Terima
kasih kembali....” Jawabnya membalas ucapan terima kasihku.
Aku
pun segera menuju ke elevator terdekat untuk segera menuju ke ruangan di mana
Ia di rawat. Sialnya, dari kelima elevator yang tersedia semuanya penuh,
sehingga Aku harus menunggu satu putaran agar dapat segera naik ke lantai
sepuluh rumah sakit itu. Tidak sampai lima menit, elevator pertama telah sampai
di lantai pertama. Pintu elevator itu terbuka dan dalam keadaan kosong. Segera
Aku memasuki elevator itu dan memilih tombol bertuliskan angka sepuluh. Dengan
cepat pintu elevator itu menutup dan baiknya tidak ada orang yang
memberhentikan laju elevator itu. Sehingga Aku tiba di lantai sepuluh hanya
dalam hitungan detik. Aku tiba di lantai sepuluh rumah sakit itu.
Aku
segera menuju ke ruangan yang telah disebutkan oleh petugas reservasi tadi.
Kucari – cari blok dengan kode F, namun tidak segera ketemu – ketemu juga.
Hingga akhirnya aku tiba di blok yang terletak paling pojok dari lantai sepuluh
itu.
“Blok F, Perawatan Intensif”
“Perawatan
Intensif...?” Tanyaku dalam hati. Aku pun segera menahan rasa sedihku dengan
menutup mulutku.
Aku
berjalan perlahan menuju ruang 01. Letaknya tidak terlalu jauh dari pintu blok.
Blok itu benar – benar sepi, dan sepertinya hanya beberapa pasien yang
menempati blok ini.
Akhirnya
Aku tiba di kamar 01. Ku tengok isi dalam kamar itu melalui celah kaca kecil
yang ada di pintu. Aku melihat Ia sedang duduk di atas kursi roda menghadap ke
arah jendela kamar itu. Ku ketuk pintu kamar itu perlahan.
“Permisi...,
tok... tok...” Ucapku sambil mengetuk
pintu kamar.
“Ya....?”
Jawabnya dari dalam kamar. Terlihat Ia juga memutar kursi rodanya sehingga
menghadap ke arah pintu.
Aku
membuka pintu kamar itu dengan menggesernya perlahan. Terlihat jelas ekspresi
wajahnya yang terkejut ketika perlahan melihat diriku yang berdiri di depan
pintu kamar tempat Ia di rawat. Akhirnya pintu kamar itu terbuka penuh, Namun
Aku hanya masih dapat berdiri terdiam melihat keadaannya yang terlihat lemah
dan pucat, terduduk di atas kursi roda.
Aku
tidak tahu dari mana Aku mendapatkan kekuatan itu, tiba – tiba Aku berlari
masuk ke dalam kamarnya dan duduk bersimpuh di depan kursi rodanya, menangis.
Aku tertunduk, tak mampu melihat keadaanya, menangis dan terus menangis.
“Apa
yang terjadi dengan kamu...?” Tanyaku padanya dengan terisak-isak.
Aku
tidak mendengar satu jawabanpun darinya. Hingga akhirnya kuangkat kepalaku
untuk dapat melihat wajahnya. Ia hanya tersenyum.
“Maukah
kau menemaniku melihat kota dari atap?” Tanyanya kepadaku.
Aku
pun segera berdiri. “Aku akan sangat senang sekali menemanimu kemana pun engkau
inginkan...”
Ia
pun lantas mendorong kursi rodanya bergerak mendekati pintu kamarnya. Sedang
Aku hanya berdiri, terdiam dan terpaku. Aku baru tersadar dengan apa yang Ia
lakukan beberapa saat kemudian. Saat tersadar, Aku segera menyusulnya dan memegang
kedua pegangan kursi rodanya. Aku mendorong kursi rodanya perlahan.
“Terima
kasih banyak....” Katanya perlahan.
Aku
mendorongnya perlahan menuju elevator yang akan naik hingga ke atap. Beruntung
sekali, saat itu banyak elevator yang kosong sehingga tanpa menunggu lama Aku
dan Ia dapat segera naik menuju ke atap. Dengan cepat elevator itu naik ke
atap. Ketika elevator itu berhenti dan pintunya membuka, cahaya yang terang dan
hembusan angin yang kuat langsung menerpa. Sehingga Aku sempat tidak dapat
melihat sekitar beberapa saat karena begitu terangnya cahaya yang tiba – tiba
masuk ke dalam elevator.
Aku
segera mendorongnya keluar dari elevator dan menuju ke pagar pembatas gedung.
Perlahan namun yakin, Aku mendorongnya. Hingga akhirnya, Aku dihadapkan pada
pemandangan yang cukup membuatku terdiam dan berhenti mendorongnya.
“Hei..,
kenapa berhenti...? lebih dekat lagi ke pagar...” pintanya sembari mengetuk –
ngetukkan jarinya pada pegangannya.
“Eh..,
Iya..,” Jawabku polos.
Aku
pun mendorongnya lebih dekat lagi pagar pembatas, dan baru berhenti saat kurasa
sudah cukup dekat dengan pagar pembatas. Aku pun melepaskan peganganku dari
kursi rodanya dan berjalan mendekat ke pagar. Kemudian bersandar dengan kedua
tangan menumpu pada pagar.
“Sewaktu
Aku kelas satu.., Aku sering melakukan hal seperti ini di atap gedung sekolah.
Meski hanya empat lantai, namun itu sudah cukup membuatku merasa tenang dan
lebih baik...” Katanya sambil memandangi ke arah gedung perkotaan yang terlihat
kecil. “Namun semenjak Aku tidak dapat berbuat apa – apa dan harus seperti
ini.., ya bagaimana lagi.., Aku terpaksa meninggalkan kebiasaanku itu...”
Aku
hanya terdiam mendengarkan sembari menatap ke arah gedung – gedung perkotaan.
Aku berpikir belum waktunya untukku berbicara.
“Kamu
sebenarnya orang yang baik, Ka’.., hanya saja kamu pendiam.., sehingga sulit
mendapatkan teman...” Katanya lagi. “Apa buruknya sih mempunyai banyak
teman...? kita bisa meminta bantuan mereka ketika kita benar – benar
membutuhkan. Atau ganti menolong mereka, ketika mereka membutuhkan.... Ada
pepatah yang mengatakan, semakin banyak kamu memiliki teman, semakin banyak
cerita yang kamu dapat dan kamu kenang....”
Aku
tetap saja terdiam, terpaku, dan tak tahu harus bicara apa.
“Yaaaah..,
tapi sepertinya takdir berkata lain ya.., “ Ujarnya setelah sesaat menghela
nafas. “Umurku sepertinya tidak lama lagi, dan kesempatanku untuk mencari teman
sebanyak – banyaknya juga tidak akan mungkin.....”
Aku
tercengang begitu mendengar perkataannya yang mengatakan bahwa umurnya tidak
lama lagi. Aku menoleh ke arahnya, dan Ia masih menatap ke arah gedung
perkotaan yang ada di hadapannya.
“Mengapa
kamu berkata demikian...?” Tanyaku terputus – putus. “Apa yang sedang kamu
rasakan hingga kamu berkata demikian...?”
“Aku
sakit, Ka’.., dan Aku berkata demikian juga karena dokter berkata demikian
pula...” Jawabnya sambil tersenyum. “Aku juga tidak mengerti mengapa dokter
juga berkata demikian....”
“Dokter
pasti salah.., kamu tidak akan mati....” Kataku sambil terisak. Air mataku
mulai meleleh.
“Jangan
kamu menjadi sedih.., Aku saja berusaha untuk tetap senang.., supaya kamu ikut
senang dan tidak mengkhawatirkanku...” Katanya sambil menatapku. “Aku hanya
memiliki satu lagi permintaan lagi untukmu.., dan Aku percaya sanggup untuk
melakukannya....”
“Permintaan
apa yang kamu inginkan....? Tanyaku padanya perlahan dan terisak.
“Berteman
baiklah dengan teman satu kelas, atau satu angkatan. Jika perlu dengan kakak
atau adik angkatan.... Aku ingin kamu berdiri di antara mereka, tersenyum
bersama dan tidak lagi menyendiri...” Pintanya kepadaku.
“Tapi..,
tapi....” Kataku mencoba beralasan.
“Tapi
apa, Ka’...? Kamu tidak yakin bisa melakukannya...?” Tanyanya padaku.
“Iya.....”
Jawabku singkat.
“Heeeeeeh.......,
Jika demikian, mengapa kamu melakukan hal yang kamu lakukan sekarang...?”
Tanyanya kembali setelah menghela nafasnya.
“Melakukan
apa yang Aku lakukan sekarang...?” Tanyaku tak mengerti.
“Kau
menjengukku, padahal aku dan kamu..., baru saling mengenal kemarin.....”
Jelasnya.
“Saling
mengenal......” kataku berbisik perlahan.
“Ya..,
Aku dan kamu baru saling mengenal kemarin kan......?” Tanyanya lagi padaaku.
“Apa yang mendorongmu untuk menengokku...?”
“Iya...,
itu..., tak bisa kujelaskan.....” Jawabku sambil tertunduk. “Itu terlalu sulit
untuk dijelaskan...”
Aku
mendengar Ia menggerakkan kursi rodanya dan suaranya makin mendekat ke tempat
di mana Aku berdiri. Ya, Ia mendekat ke tempat ku berdiri.
“Ka’...,
kamu memiliki bakat untuk menjalin pertemanan dengan mudah.... Apa yang kamu
lakukan sekarang ini..., Aku yakin itu adalah dorongan dari dalam hatimu....”
Katanya menjelaskan sambil melongokkan kepala agar dapat melihat wajahku yang
tertunduk. “Namun.., apa yang kamu lakukan selama ini adalah berdiam diri...,
Itu sama artinya kamu menyia – nyiakan bakat yang telah kamu miliki....”
“Menyia
– nyiakan bakat....?” Tanyaku padanya perlahan.
“Iya..,
menyia – nyiakan bakat...” Jawabnya singkat sambil memutar kursi rodanya
kembali menghadap ke arah gedung perkotaan.
“Perlukah
Aku meminta maaf kepadamu atas semua ini....?” Tanyaku padanya lagi.
“Mengapa
kamu harus meminta maaf kepadaku....?” Katanya membalikkan pertanyaanku.
“Kamu
sudah banyak mendorongku agar dapat berteman dengan siapapun..., tapi Aku tetap
memberontak dan menurutku itu adalah hal yang tidak mungkin....” Jawabku lirih,
perlahan dan terisak.
“Itu
hanya dorongan dan saran saja kok....” Ujarnya. “Lagipula, jika kamu tidak mau
melakukannya juga tidak apa – apa.., toh kamu juga sudah memiliku sebagai teman
sejatimu kan...?”
“Rudi......”
Kataku lirih, terputus.
“Secara
sadar atau tidak, apa yang kita bicarakan saat ini hanya terjadi jika dua orang
saling mengenal dan berteman kan....?” Katanya mencoba menyadarkanku.
“Rudi.......”
Kataku lirih dan terisak.
“Maukah
kamu membawa teman – teman satu kelas untuk datang kemari....?” Pintanya
kepadaku tiba – tiba.
“Aku.......,
tidak tahu....” Jawabku sembari tertunduk.
“Heeeem...,
atau kamu dapat membawa teman – teman satu kelas untuk ke depan pohon mahoni
yang ada di depan gedung sekolah?, kemudian Aku kan datang untuk dapat
melihatmu berdiri dan tersenyum di antara teman
- teman satu kelas.” Pintanya lagi.
“Aku......,
tidak tahu.....” Jawabku lagi dan Aku makin tertunduk.
“Aku
hanya ingin melihatmu dapat berdiri dan tersenyum di antara teman – teman
kelas.., Kelak itu akan menjadi memori terakhir yang bisa Aku ingat dan Aku
kenang.” Jelasnya.
“Rudi.....”
Bisikku memanggil namanya.
“Iya,
Ka’...?” Tanyanya singkat.
“Apakah
kamu akan terus mengingatku.....? meskipun kamu telah pergi
meninggalkanku....?” Tanyaku padanya.
“Memori
terindah dan berkesan.., itu yang akan Aku ingat.....” Jawabnya sembari
tersenyum.
“Aku
akan membawamu ke sekolah hari ini.....” Kataku kepadanya.
“Baiklah
jika begitu, Aku akan berganti pakaian seragam terlebih dahulu....” Katanya
menerima ajakanku. “Kamu bisa mendorongku untuk bisa sampai di sekolah.....”
“Baik
Rudi..., Aku akan melakukannya” Kataku menerima permintaanya.
Aku
dan Ia pun segera kembali ke kamar. Setibanya di kamar, Ia segera mengenakan
seragam sekolahnya. Sementara Aku menunggu di luar kamar, menunggunya hingga Ia
siap. Beberapa saat kemudian, Ia keluar kamar dengan menggunakan kursi rodanya
dan telah siap mengenakan seragam sekolahnya. Aku pun segera mendorongnya,
terus.., terus..., hingga akhirnya tiba di sekolah. Kudorong Ia hingga masuk ke
dalam lobi gedung dan menempatkannya pada posisi ternyaman.
“Tunggu
sebentar Rudi..., Aku akan memanggil yang lain....” Pintaku padanya untuk
menunggu sebentar.
“Lama
juga tidak apa – apa....” Katanya menerima permintaanku.
Aku
pun segera naik ke lantai di mana kelasku berada. Segera setelah sampai di
lantai yang Aku tuju, Aku segera menuju ke kelasku. Sesampainya di depan kelas,
Aku menjadi bimbang memilih untuk masuk ke dalam kelas atau tidak. Karena saat
itu pelajaran tengah berlangsung dan guru yang bertanggung jawab atas pelajaran
itu sedang mengajar. Tanpa berpikir dua kali, Aku pun memutuskan untuk masuk
kelas. Aku langsung membuka pintu kelas dan hal itu membuat anak – anak dan
guru yang sedang mengajar menjadi terkejut. Aku tidak mempedulikan itu semua.
Dengan mantap Aku segera masuk kelas dan berdiri tepat di depan kelas.
Kubungkukkan badanku sekali di hadapan semuanya dan Aku pun mulai berbicara.
“Selamat
pagi, Teman – teman...,” Kataku mencoba menyapa. “Namaku adalah Eka Putri...,
Aku berasal dari desa yang tidak jauh dari sekolah ini, kira – kira satu
kilometer ke utara. Salam kenal dan mohon bantuannya.....”
Aku
membungkukkan badan sekali lagi, berharap semua yang mendengar di situ
mempertanyakan maksudku.
“Hei.....,
ada apa ini....?” Tanya sang guru kepadaku.
“Tidak
apa – apa, Bu..., Aku hanya ingin berbicara sesuatu di hadapan teman – teman
yang hadir pada pagi hari ini.....”Jelasku pada guru itu lantang.
“Ada
apa..., Ka’....? mengapa kamu tiba - tiba masuk ke dalam kelas dan melakukan
apa yang kamu perbuat sekarang....?” Tanya salah seorang anak kepadaku.
Aku
menolehkan pandangan ke seluruh sudut kelas. Sedikit menghela nafas, dan Aku
mulai berbicara.
“Teman
– teman semua, sebelumnya Aku ingin meminta maaf kepada teman – teman semua
atas tindakan bodohku yang selalu berdiam diri dan tidak pernah mempedulikan
keberadaan teman – teman semua. Aku hanya ingin teman – teman semua tahu, jika
sudah dua hari ini Aku dicoba disadarkan oleh seseorang yang menjadi teman
sejatiku untuk pertama kalinya.... Aku dicoba disadarkan bahwa berteman dan
memiliki teman itu penting.... Ya seseorang itu adalah Rudi.., dan hari ini Ia
tidak masuk sekolah namun Ia ada di lantai pertama menunggu ku dan teman – teman
semua....” Jelasku.
“Apa
yang terjadi dengan Rudi....?”
“Mengapa
Ia tidak masuk sekolah....?”
“Mengapa
Ia menunggu di lantai pertama....?”
Tak
kusangka banyak pertanyaan yang dilontarkan usai Aku menjelaskan sesuatu hal
itu.
“Ia,
Rudi..., teman kita..., sedang sakit.., dan Dokternya berkata bahwa Ia sudah
tidak memiliki umur yang lama lagi....” Jelasku kepada semua yang ada di
hadapanku. “Ia, Rudi..., teman kita.., memiliki satu permintaan terakhir.., Ia
menginginkan sebuah memori terakhir yang indah serta berkesan..., Memori, di
mana Aku dapat berdiri di tengah teman – teman sekalian, tersenyum, bersahabat,
di bawah pohon mahoni di depan gedung sekolah ini....”
Setelah
mendengar penjelasanku, anak – anak langsung bergerak keluar kelas. Aku dapat
menebak Apa yang akan mereka lakukan. Mereka ingin menemui Rudi yang telah
menunggu di lantai pertama dengan kursi rodanya. Aku pun segera menyusul anak –
anak yang telah keluar terlebih dahulu, namun sebelumnya Aku membungkukkan badanku
terlebih dahulu di hadapan guru yang sedang mengajar di hari itu untuk memohon
maaf. Barulah Aku berlalu dari hadapannya dan menuju ke tempat Rudi menunggu.
Sesampainya
di bawah, pemandangan penuh tangis terlihat. Banyak di antara teman – teman
kelas menangis dan menanyakan keadaan Rudi. Namun, Rudi tetap saja berusaha
untuk tetap tersenyum sembari mencoba pertanyaan teman – temannya. Saat Ia
sedang menjawab itulah, Ia melihat diriku berdiri terdiam di ujung tangga. Ia
pun memanggil diriku.
“Hei,
Ka’....? Mengapa kamu tidak ikut bergabung....? Tanyanya padaku dengan setengah
berteriak.
Aku
pun berjalan perlahan menuju ke arahnya. Sementara anak – anak yang lain
membukakan jalan untukku agar Aku dapat segera sampai di hadapannya. Begitu Aku
tiba di hadapannya, Aku begitu terkejut dengan apa yang tiba – tiba Ia lakukan.
Ia memegang salah satu tanganku dan memutar tubuhku sehingga berhadapan dengan
seluruh anak – anak yang di situ.
“Heei....,
Kenalkan.., namanya Eka..., Eka Putri.... Dia adalah teman sejati Aku..,”
Katanya mencoba memperkenalkan diriku di hadapan seluruh anak – anak. “Kamu –
kamu semua yang ada di sini mau tidak menerima Eka sebagai teman kalian....?”
“Aku
mau menjadi teman Eka....”
“Aku
juga iya...”
“Aku
iya.....”
Begitulah
jawaban anak – anak yang terdengar. Semua terdengar hampir sama, yakni
menerimaku sebagai teman mereka.
“Lihat
Eka..., semua mau menjadi temanmu.....” Katanya sambil tersenyum.
Aku
hanya terdiam melihat dan mendengar apa yang baru saja lakukan dan katakan. Aku
juga tidak tahu apa yang harus Aku lakukan selanjutnya. Kemudian, Ia pun
melepaskan tanganku dan memindahkan tangannya ke roda kursi rodanya. Ia mulai
menggerakkan kursi rodanya kembali. Aku yang tersadar melihat hal itu, kembali
melakukan hal yang sama dengan yang Aku lakukan ketika di ruimah sakit. Aku
segera memegang pegangan kursi roda itu dan mendorongnya perlahan. Ia pun
melepaskan tangannya dari roda kursi roda itu.
“Bawa
Aku ke pohon mahoni itu Ka’...” Pintanya dengan berbisik.
“Aku
akan melakukan apa saja yang kamu minta.....” Jawabku dengan berbisik pula.
Aku
pun mendorongnya perlahan keluar dari gedung itu dan menuju ke pohon mahoni
yang ada di depan gedung. Sementara anak – anak yang lain mengikuti di
belakang.
“Ka’...,
seperti permintaanku tadi di ruimah sakit, Aku ingin melihatmu berdiri bersama
teman – teman yang lain, tersenyum dan bersahabat....” Katanya berbisik
mengulangi permintaanya ketika masih di rumah sakit.
Aku
tidak menjawab atas permintaannya tadi dan terus mendorongnya hingga melampaui
pohon mahoni itu. Setelah kira - kira ada jarak lima meter dari pohon mahoni
itu, Aku berhenti mendorongnya dan memutar kursi rodanya sehingga kini Ia
menghadap ke arah pohon mahoni itu. Selepas itu, barulah Aku melepaskan peganganku
dari pegangan kursi roda itu dan berjalan perlahan mendekati anak – anak yang
sudah berdiri terlebih dahulu di depan pohon dan menghadap ke arahnya. Anak –
anak itu menyisakan ruang kosong di tengah. Aku menyadari hal itu dan merasa
itulah tempatku seharusnya berada. Kupercepat langkahku dan ketika tiba di
sana..,
“Terima
kasih, semuanya..., Aku tidak tahu harus berkata apa.., tapi mulai saat ini Aku
akan mencoba untuk berteman dengan kalian semua dan Aku rela jika Aku harus
kecewa, sedih, ataupun merasakan senang dan bahagia jika tidak karena Aku
bersama kalian semua. Rudi lah yang berusaha menyadarkanku selama ini.., namun
Aku baru mengetahui kondisinya pagi ini dan Aku tidak dapat menahan rasa
sedihku....” Kataku dengan terisak.
“Kemarilah
dan ayo kita perlihatkan bahwa kita semua ini adalah teman yang akan berjalan
bersama....” Ajak salah satu anak yang berdiri dekat dengan ruang kosong itu.
Aku
pun berjalan kembali menuju ruang kosong itu dan memutar tubuhku ketika sudah
berada di sana. Kini Aku dan teman – teman sekelasku sudah berhadapan dengannya
dan Aku berada di tengah – tengahnya.
“Semuanya,
Aku ingin kita semua memberikan senyuman terbaik untuk Rudi...” Pintaku kepada
semua yang sedang berdiri di depan pohon mahoni itu.
Aku
pun berusaha tersenyum meski dalam keadaan yang teramat sedih. Begitu pula
dengan yang lain. Mereka juga tampak berusaha untuk tersenyum meski mengetahui
keadaan Rudi yang sebenarnya. Aku dan mereka ingin memberikan memori terakhir,
yang terindah dan berkesan, yang dapat Ia ingat untuk terakhir kalinya dan
untuk selamanya. Lantas kami pun berteriak....
“Rudi......!
Kami semua adalah teman sejatimu.....”
Setelah
mendengar teriakan itu, Ia terlihat menitikkan air mata namun senyumnya
mengembang. Ia tampak bahagia sekali melihat ku bersama teman – teman satu
kelas mengembangkan senyum untuknya meskipun rasa sedih sedang melanda. Ia
mengeluarkan telepon genggamnya dan memotret kami yang berbaris rapi dan
tersenyum di depan pohon mahoni. Setelah mengambil beberapa gambar....
“Semuanya,
Aku tak tahu berapa lagi Aku akan bertahan.., namun Aku ingin memberikan satu
permintaan pada kalian semua.....” Katanya perlahan.
“Katakan
permintaanmu..., Rudi....!” Teriak salah satu anak.
“Maukah
kalian terus mengingatku.., meskipun Aku telah meninggalkan dunia ini untuk
selamanya, meskipun kalian telah lulus dari sekolah ini dan menemukan kehidupan
masing – masing, dan menyimpan semua cerita dan kenangan manis yang telah kita
lalui bersama hingga waktu yang tidak dapat ditentukan...?” Pintanya padaku dan
semua yang ada di depan pohon mahoni.
“Kami
semua akan melakukan hal itu tanpa kamu minta Rudi.....”
“Ya...
kami akan melakukannya Rudi....!”
“Ya...,
Rudi....! Kami akan melakukannya....!” Teriak anak – anak satu persatu.
“Semuanya..,
bagaimana jika kita nyanyikan lagu kelulusan sekolah kita untuknya.., Kita
tahu.., Sepertinya Ia tidak akan bertahan hingga kelulusan nanti....” Ajakku
kepada teman – teman satu kelas.
“Ide
yang bagus.... Ide yang bagus.... Ayo kita lakukan....” Anak – anak pun
membicarakannya dan menganggap hal itu adalah ide yang bagus.
Kemudian
salah seorang diantara anak – anak yang berdiri di depan pohon mahoni maju ke
depan. Ia adalah anak dari kelas paduan suara yang telah terbiasa memimpin
paduan suara di kelasnya.
“Marilah
kita nyanyikan lagu kelulusan sekolah kita, sebagai tanda kelulusan kita semua,
murid – murid angkatan kedua puluh dari sekolah kita. Kita mulai setelah
hitungan ke empat..” Teriaknya dengan lantang.
“Satu..,
dua...., tiga.., empat.....!”
“Hari ini kita telah menyelesaikan satu
cerita lagi.....
Cerita yang akan menentukan masa depan kita nanti...
Di hadapan guru dan orang tua, kita berjanji...
Untuk menjadi orang yang besar dan berbakti...
Hari ini kita telah menyelesaikan
satu cerita lagi...
Cerita yang akan membuka jalan kita nanti....
Akan menjadi apa kita semua ini...
Ditentukan dengan cerita yang kita lalui ini...
Kini, Aku dapat melihatmu telah
tumbuh dewasa....
Tidak seperti pertama kali ku melihatmu
tiba...
Mampu menentukan jalan mana yang kan
kau lalui...
Dan Mampu menghindari jalan mana
yang tak kan kau lalui...
Sebuah jalan yang panjang telah
menanti di depan mata...
Jalan di mana kau tak dapat
berbalik, atau menghindar...
Hari ini adalah sebagai langkah
awal...
Untukmu mulai meniti jalan
panjang....
Apapun yang akan kamu lakukan....
Selalu ingatlah terlebih dahulu apa
yang sudah kamu lakukan...
Ingatlah Aku dan teman – teman.....
Ingatlah gurumu dan orang tua....
Kini, Aku dapat melihatmu telah
tumbuh dewasa....
Tidak seperti pertama kali ku
melihatmu tiba...
Mampu menentukan jalan mana yang kan
kau lalui...
Dan Mampu menghindari jalan mana
yang tak kan kau lalui...
Tapi mungkin kau akan tersesat...
Di mana kau tidak dapat menentukan
jalan...
Namun selalu ingatlah kata – kataku
ini...
Kembalilah ke awal di mana kau
memulai....
Kini, Aku dapat melihatmu telah
tumbuh dewasa....
Tidak seperti pertama kali ku
melihatmu tiba...
Mampu menentukan jalan mana yang kan
kau lalui...
Dan Mampu menghindari jalan mana
yang tak kan kau lalui...”
Ia
ikut bernyanyi meskipun lirih. Selepas itu, Ia terlihat sangat bahagia. Air
mata yang menetes membasahi pipinya adalah air mata kebahagiaan. Ia tak mampu
mengungkapkan perasaannya dengan kata – kata. Yang Ia rasakan hanyalah rasa
yang melebihi dari rasa bahagia apapun. Sehingga Ia hanya dapat menangis,
membasahi pipinya dengan air mata kebahagiaan.
“Terima
kasih banyak..., semuanya.....” Katanya perlahan.
----- ***** -----
21 Oktober
2007
Beberapa
hari setelah itu, akhirnya Ia meninggal dunia. Ia meninggalkan dunia ini dengan
senyum manis terkembang dari wajahnya. Seperti tak ada beban berat lagi yang
ditanggungnya, Ia meninggalkan dunia ini dengan tenang. Aku bersama – sama teman
sekelas mengantarkannya hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku benar
– benar merasa kehilangan akan teman sejatiku untuk yang pertama kalinya. Aku
benar – benar merasakan bagaimana rasanya kehilangan seorang teman dan juga
sahabat yang mendorongku untuk melakukan hal – hal yang semula tidak mungkin
Aku lakukan. Kini Aku memiliki banyak teman dan juga sahabat. Aku mampu
melakukannya karena dorongan darinya.
“Berteman itu baik, tidak akan membuatmu kesusahan. Dengan berteman,
apa yang tidak mungkin kamu lakukan sendirian, menjadi mungkin...”
“Itulah pertemanan..., kadang kamu atau Aku harus merasakan
kekecewaan.., kadang kamu atau Aku merasakan kebahagiaan.., kadang kamu atau
Aku merasakan kesedihan.., Semua itu akan bermakna dan membuat sebuah cerita
yang akan lama membekas di ingatanmu.....”
“Semakin banyak kamu memiliki teman, semakin banyak cerita yang kamu
dapat dan kamu kenang....”
“Jadikan setiap tanggal 15 Oktober ini hanya untuk kita bersama..., Kau
dan Aku..,”
Kata – kata itulah yang
selalu membuatku teringat akan dirinya. Dirinya yang berusaha mendorongku untuk
dapat berteman baik dengan siapa saja. Dan kini Aku sudah memiliki banyak
teman. Apapun akan Aku lakukan untuk menjaga pertemanan itu.
----- ***** -----
25 Juli
2009
Hari ini
adalah hari kelulusanku dari sekolah ini. Aku dan teman – teman seangkatan
adalah angkatan ke dua puluh dari sekolah ini. Upacara kelulusan akan
dilaksanakan di ruang olahraga sekolahku. Semua turut hadir dalam upacara itu
termasuk orang tua dan guru. Semuanya ingin melihat anak – anaknya maju ketika
dipanggil ke podium untuk menerima tanda kelulusan. Begitu pula dengan orang
tua ku.
Acara
kelulusan akan dimulai pada pukul sembilan pagi. Namun, Aku sudah terlebih
dahulu berangkat ke sekolah. Aku dan teman – teman satu kelas ingin
merencanakan sesuatu untuk mengenang seorang anak laki – laki yang meninggal
dunia setahun yang lalu setelah meninggalkan banyak cerita dan kenangan. Aku
dan teman – teman berencana untuk membuat pidato kelulusan singkat dan Akulah
yang akan menyampaikannya. Teman – teman menilaiku lebih berhak menyampaikannya
karena Akulah yang terus menemani anak laki – laki itu hingga akhir.
Akhirnya
lonceng sekolah berbunyi, menandakan upacara kelulusan akan segera dimulai.
Orang tua dan guru juga sudah hadir di ruangan olahraga sekolah. Sementara
murid – murid yang akan mengikuti upacara telah bersiap, berbaris menurut
kelasnya masing – masing di depan pintu masuk ruang olahraga. Murid – murid
akan masuk ke dalam ruangan setelah dipanggil satu persatu menurut kelasnya.
“Murid
– murid Kelas F dengan wali kelas Bapak Budi Hendarman masuk ke tempat upacara”
Ucap pembawa acara.
Aku
dan bersama teman – teman pun bergegas memasuki ruangan dan menempati kursi
yang telah disediakan. Sementara wali kelas, menempati salah satu kursi yang
ditata berderet paling depan. Aku merasakan jantungku berdebar, apalagi karena
ini kali pertama Aku berbicara di depan umum dalam acara resmi. Kuhela nafasku
beberapa kali untuk mencari ketenangan. Usaha yang kulakukan ternyata
membuahkan hasil, kini Aku lebih tenang dan lebih siap untuk membacakan pidato
kelulusan singkat dari kelasku.
Akhirnya
sesi pidato singkat pun dimulai. Satu persatu perwakilan dari tiap kelas
menyampaikan pidato singkatnya. Hingga akhirnya...
“Pidato
kelulusan dari kelas F angkatan kedua puluh akan disampaikan oleh perwakilan
kelas, Eka Putri.” Ucap pembawa acara.
Aku
pun bergegas berdiri dari tempatku duduk dan berjalan perlahan menuju mimbar
yang ada di depan. Tidak membutuhkan waktu lama untukku berjalan dari tempat
dudukku hingga ke mimbar. Ketika Aku sampai di mimbar itu, Aku merasa melihat
sesosok anak laki – laki duduk di tempatku duduk. Aku melihatnya, Rudi..., Ia
hadir di upacara kelulusannya. Ia mengenakan seragam sekolahnya lengkap dengan
pita kelulusan di dada sebelah kirinya. Ia tampak tersenyum setelah melihat Aku
berdiri di belakang mimbar. Melihat hal itu, Aku pun ikut tersenyum dan yakin
untuk memulai pidato kelulusanku.
“Kepala sekolah, Dewan sekolah, Dewan pembina, guru, dan orang tua yang
kami hormati.
Dan juga teman – teman semua yang hadir di tempat ini, dalam upacara
kelulusan angkatan kedua puluh dari sekolah ini.
Tiga tahun yang lalu, kita semua datang ke sekolah ini dalam keadaan
tidak tahu apa – apa.
Yang kita tahu adalah, kita berhasil masuk ke sebuah sekolah yang cukup
ternama.
Namun seiring berjalannya waktu, kita mulai dihadapkan dengan berbagai
banyak masalah.
Pertemanan, pelajaran, guru, sekolah, keluarga, dan masalah – masalah
yang diluar dugaan kita muncul menghadang dan harus kita selesaikan.
Namun,
Hanya ada satu cara yang paling tepat untuk dapat menyelesaikan masalah
– masalah tersebut.
Yaitu dengan pertemanan.
Setahun yang lalu, salah seorang teman kami, mengajarkan hal itu kepada
kami.
Ia mengatakan bahwa:
Berteman itu baik, tidak akan membuatmu kesusahan, Dengan berteman, apa
yang tidak mungkin kamu lakukan sendirian, menjadi mungkin...
Ia juga mengatakan:
Itulah pertemanan..., kadang kamu atau Aku harus merasakan
kekecewaan.., kadang kamu atau Aku merasakan kebahagiaan.., kadang kamu atau
Aku merasakan kesedihan.., Semua itu akan bermakna dan membuat sebuah cerita
yang akan lama membekas di ingatanmu...,
Inilah konsekuensi dari pertemanan. Namun,
Selain itu, Ia juga mengatakan:
Semakin banyak kamu memiliki teman, semakin banyak cerita yang kamu
dapat dan kamu kenang....
Kami pun menjadi sadar apa arti pentingnya pertemanan dan persahabatan.
Kami dapat menyelesaikan masalah – masalah berat kami melalui ikatan pertemanan
dan persahabatan yang erat. Hingga kami dapat duduk di tempat ini untuk dapat
menerima tanda kelulusan dari sekolah ini.
Namun, salah seorang teman kami itu telah meninggal dunia setahun yang
lalu. Ia begitu banyak mengajarkan nilai – nilai pertemanan itu kepada kami,
meskipun Ia sudah berada di ujung waktu hidupnya. Kami, kelas F angkatan kedua
puluh menyatakan akan selalu melaksanakan nilai – nilai pertemanan yang telah
Ia ajarkan kepada kami, dan terus akan mengingatnya dan mengenangnya hingga
waktu yang tidak dapat ditentukan.
Sekian, pidato singkat dari kami...,
Bapak, Ibu guru yang kami hormati, dan orang tua..,
Hari ini kami telah lulus...
Dan siap untuk memulai langkah kami yang sebenarnya...
Untuk meniti jalan panjang yang tidak pernah akan ada ujungnya...
Sekian,
Terima Kasih.”
Selepas
Aku membacakan pidato kelulusanku, Aku segera turun dari mimbar dan berdiri di
sampingnya. Kemudian membungkukkan tubuhku sedalam mungkin di hadapan pejabat
sekolah, guru, murid, dan orang tua yang ada di depanku. Sejenak suasana menjadi
sepi. Namun kemudian, secara bersamaan.., teman – teman satu kelasku berdiri
dari tempat duduknya dan memberikanku tepuk tangan yang meriah. Hal ini membuat
seluruh hadirin yang ada di tempat itu ikut bertepuk tangan secara meriah juga.
Aku pun mengangkat tubuhku dan berdiri, terdiam, dan melihat ke seluruh hadirin
yang memberikanku tepuk tangan. Aku juga dapat melihatnya ikut berdiri dan
memberikanku tepuk tangan yang meriah. Kutolehkan pandanganku ke seluruh sudut
ruangan, dan Aku melihat hampir tidak ada yang tidak bertepuk tangan. Sehingga,
sekali lagi Aku membungkukkan badanku untuk memberikan tanda terima kasih.
“Terima
kasih.., semuanya...” Ucapku lirih.
Selepas
itu Aku pun kembali berdiri tegak dan berjalan perlahan menuju ke tempat dudukku
kembali. Tepuk tangan itu masih terdengar meriah hingga Aku mencapai tempat
dudukku. Bahkan tepuk tangan itu belum berhenti hingga beberapa waktu kemudian,
sampai akhirnya pembawa acara memberikan kode untuk melanjutkan ke susunan
acara selanjutnya dan barulah tepuk tangan meriah itu mulai hilang dan akhirnya
hilang sama sekali tak terdengar.
“Kamu
hebat, Ka’..., “ Ucap salah satu teman satu kelas yang duduk di sebelahku.
“Terima
kasih banyak..., Aku tidak dapat seperti ini tanpa bantuan dari teman – teman
semua....” Kataku mengucapkan terima kasih.
Acara
selanjutnya adalah penyerahan tanda kelulusan dari sekolah. Satu persatu murid
akan dipanggil sesuai dengan urutan kelas dan nomor absennya. Kemudian murid
yang dipanggil itu maju ke dapan, naik ke atas podium untuk menerima tanda
kelulusan dari kepala sekolah. Acara inilah yang memakan waktu sangat lama,
namun kesemua itu tidak terasa karena semua merasa senang hari ini.
Setengah
jam kemudian, panggilan masuk ke daftar siswa kelas F. Aku dan teman – teman
segera bersiap. Satu persatu dari siswa – siswa kelas F dipanggil. Hingga
akhirnya..
“Eka
Putri....” ucap pembawa acara.
Aku
pun bergegas berdiri dari tempat dudukku dan berjalan menuju podium. Dengan
mantap Aku menaiki panggung dan berjalan perlahan menuju ke hadapan kepala
sekolah.
“Selamat
ya, Nak.., hari ini kamu telah lulus....” Kata kepala sekolah sambil
memberikanku sebuah sertifikat.
“Terima
kasih banyak, Pak....” Ucapku terima kasih sembari membungkukkan sedikit
badanku.
Aku
pun segera menuruni panggung dan bergegas kembali menuju ke tempat dudukku. Aku
menunggu hingga acara pemanggilan itu selesai dilakukan. Namun anehnya, selama
pemanggilan itu, Aku tidak mendengar nama Rudi Satya disebutkan. Apakah Ia
dilupakan begitu saja oleh sekolah hanya karena Ia sudah meninggal dunia?,
Namun...,
“Pemanggilan
terakhir ini adalah ditujukan kepada salah seorang dari siswa kita, salah satu
permata kita, yang telah meninggalkan kita untuk menjalani hidup yang lebih
baik. Jika ada di antara siswa – siswa di sini yang mau mewakili, silakan harap
maju ke depan.” Ucap pembawa acara. “Rudi Satya.....”
Sejenak
ruangan olahraga itu menjadi hening. Semuanya tak ada yang berbicara. Keriuhan
yang terjadi pun tiba – tiba menjadi hilang. Benar – benar tak ada yang
berbicara sama sekali. Akhirnya Aku pun memutuskan untuk berdiri dan maju ke
podium untuk mewakilinya. Namun rupanya tidak hanya Aku saja, seluruh teman
satu kelas ikut maju ke depan namun berada di belakangku. Mereka mengantarkan
ku untuk naik ke panggung untuk menerima tanda kelulusan salah satu teman yang
telah memberikan banyak warna dan cerita. Sebelum Aku naik, kulihat seluruh
wajah teman – teman satu kelasku. Semuanya tersenyum dan saling menganggukkan
kepala memberikan isyarat kepadaku agar Aku segera menerima tanda kelulusannya.
Dengan
mantap, Aku kembali naik ke atas panggung dan berhadapan dengan kepala sekolah.
Sesampainya di depan kepala sekolah, kubungkukkan sedikit badanku untuk
memberikan hormat kepadanya. Barulah kemudian kepala sekolah memberikan tanda
kelulusan itu kepadaku.
“Rudi
Satya adalah anak yang baik.., Ia tidak pernah membuat masalah di sekolah, dan
juga Ia pandai sekali berteman dengan siapa saja. Ia mudah sekali akrab dengan
orang lain meskipun baru pertama kali bertemu.., Ia anak yang baik, salah satu
siswa terbaik angkatan kedua puluh sekolah ini. Oleh karena itu, sekolah akan
memberikan tanda kelulusan dan sertifikat diploma sebagai tanda Ia telah lulus
dari sekolah ini dan menjadi salah satu siswa terbaik. Mohon diterima....” Ucap
kepala sekolah sebelum memberikan tanda kelulusan dan sertifikat diploma itu
kepadaku.
Kepala
sekolah itu pun memberikan tanda kelulusan dan sertifikat diploma itu kepadaku.
Dengan sedikit membungkuk, Aku menerima tanda kelulusan dan sertifikat diploma
itu dengan penuh kebanggaan. Bangga karena teman sejatiku telah lulus dari
sekolah ini dan juga menjadi siswa terbaik.
“Terima
kasih banyak, Pak....” Ucapku sembari menerima tanda kelulusan dan sertifikat
diploma itu.
Bersamaan
dengan itulah, tepuk tangan meriah kembali terdengar. Setelah Aku menerima
tanda kelulusan dan sertifikat diploma itu Aku segera berjalan agak menjauh
dari podium kepala sekolah dan berbalik menghadap ke teman – teman satu
kelasku. Hampir dari seluruh teman – teman kelasku bertepuk tangan, namun juga
menangis bahagia. Mungkin karena salah satu teman mereka yang telah meninggal
dunia, yang telah meninggalkan cerita manis dan kenangan yang indah telah
dinyatakan lulus dan mendapatkan sertifikat diploma sebagai siswa terbaik. Aku
pun segera turun dari panggung dan sesampainya di bawah Aku langsung dipeluk
dan dielu – elukan oleh teman – teman satu kelasku. Itu semua dilakukan di
depan hadirin yang mengikuti upacara kelulusan. Alhasil, tepuk tangan itu tidak
segera berhenti namun semakin keras dan hampir seluruh hadirin berdiri dan
memberikan tepuk tangan yang meriah.
Rudi
Satya, pada hari ini telah dinyatakn lulus dan menjadi siswa terbaik untuk
angkatan kedua puluh dari sekolah ini. Seluruh yang hadir di tempat itu menjadi
saksi, bahwa Ia telah benar – benar dinyatakan lulus dan menjadi salah satu
siswa terbaik.
------ ***** -----
Upacara
berlangsung hingga pukul tiga sore. Setelah upacara selesai, hampir seluruh
murid, guru, orang tua, dan pejabat sekolah meninggalkan tempat upacara. Namun
hanya Aku yang belum meninggalkan tempat itu. Aku masih terduduk sendiri di
ruang olahraga itu, membayangkan Ia ketika menerima tanda kelulusannya. Dengan
perlahan, Aku pun berdiri dari tempat dudukku. Kemudian Aku memutar tubuhku dan
berjalan perlahan menuju pintu keluar. Sebelum mencapai pintu keluar,
kuhentikan langkahku dan kubalikkan tubuhku untuk kesekian kalinya. Aku menatap
bendera sekolahku untuk yang terakhir kali. Aku tidak tahu kapan Aku akan
kembali selepas Aku keluar dari gerbang sekolah nanti. Sejenak Aku
memandanginya dan baru tersadar betapa indah dan bermaknanya lambang dan
bendera sekolahku. Sebuah perisai dengan dikelilingi untaian daun padi dan
kapas serta logo yang menunjukkan inisial dari nama sekolahku. Aku hampir tidak
memperhatikan bendera dan lambang sekolahku, mungkin berbeda dengannya. Ia
hampir selalu tertarik dengan hal – hal kecil. Sehingga Ia dapat mengetahui
segala hal.
Mentari
semakin condong ke barat. Cahaya merah dan kuning mulai menyatu membentuk
cahaya – cahaya sore. Aku pun segera berjalan keluar dari gedung olahraga dan
menuju ke tempat di mana Aku dan Ia saling mengenal. Tempat yang menjadi
lambang serta ciri khas dari sekolah ini. Pohon mahoni. Aku berjalan perlahan
menuju pohon itu dan menemukan bangku kayu serta ayunannya masih utuh, belum
rusak sedikitpun. Aku pun menaiki ayunan itu. Aku menoleh ke arah bangku kayu
itu dan terbayang akan dirinya sewaktu Aku dan Ia saling mengenal di sore itu.
Aku terbayang akan senyumnya yang manis dan tatapannya yang tajam namun
menenangkan. Ketika Aku membayangkan itulah, tak kusadari air mataku meleleh
membasahi pipiku. Di saat – saat inilah waktu itu, Aku memiliki teman sejati
untuk pertama kalinya. Semakin membayangkan dirinya semakin membuatku tak kuasa
menahan sedih yang mendalam. Teman sejati dan terbaik meninggalkanku begitu
cepat. Namun, tiba – tiba Aku tersadar, bahwa meratapi kepergiannya tentu saja
akan membuatnya semakin berat di sana. Segera kuambil sapu tangan putih
pemberiannya dulu dan kuusapkan pada pipi dan mataku yang penuh dengan butiran
air mata. Setelah itu Aku bangkit dari ayunan itu, berdiri dan berjalan menuju
ke depan bangku kayu. Kukeluarkan tanda kelulusan dan sertifikat diplomanya
dari dalam tas. Kemudian kutunjukkan tanda kelulusan dan sertifikat diplomanya
ke arah bangku itu. Aku membayangkan saat ini Ia sedang duduk di bangku itu dan
Aku dengan senang memperlihatkan tanda kelulusan dan sertifikat diplomanya.
“Lihat
Rudi...! Hari ini kamu telah lulus...., kamu juga menjadi siswa terbaik untuk
angkatan kedua puluh sekolah ini......!” Teriakku sambil menunjukkan tanda
kelulusan dan sertifikat kelulusannya. “Aku juga lulus Rudi.., tapi sayang
belum kesempatanku untuk menjadi siswa terbaik.... Tapi yang penting Aku
lulus.... lihat tanda kelulusanku ini....”
Setelah
ku berbicara dan menunjukkan tanda kelulusan itu, Seketika Aku merasakan ada
angin yang berhembus lembut menerpa perasaanku. Angin yang kurasakan sama
seperti yang kurasakan saat Aku dan Ia di tempat ini saling mengenal. Aku
semakin yakin bahwa Ia ada di dekatku dan mendengar semua yang Aku bicarakan.
Betapa senangnya Aku. Aku merasa Ia masih mengingatku sampai sekarang. Namun akhirnya,
karena hari telah beranjak semakin sore dan Aku tidak ingin mendapatkan gertakan
lagi dari penjaga sekolah, Aku memutuskan untuk segera meninggalkan sekolah.
Menjadi murid terakhir yang meninggalkan sekolah demi teman sejati, sahabat,
bahkan lebih dari itu, seseorang yang selalu mendorongku untuk dapat selalu
berteman dan bersahabat dengan siapapun.
“Terima
kasiiih..., Paaaak.....” Teriak ku kepada penjaga sekolah yang telah bersiap di
depan pintu gerbang sembari mengayuh sepedaku kuat – kuat ketika untuk keluar
dari lingkungan sekolah.
“Sama...,
samaa.....!, Selamat atas kelulusanmu.., “ Teriak penjaga sekolah membalas
ucapan terima kasihku.
Tak
kusangka penjaga sekolah Akan membalas ucapan terima kasihku. Aku hanya
tersenyum saja sambil terus mengayuh sepedaku untuk pulang ke rumah.
----- ***** -----
15
Oktober 2012
“ Jadikan setiap tanggal 15 Oktober ini
hanya untuk kita bersama..., Kau dan Aku.., ”
Hari
ini Aku kembali ke kampung halamanku. Selepas lulus dari sekolah, Aku mencari
pekerjaan di kota dan diterima sebagai salah satu staf di kantor sebuah
perusahaan swasta. Penghasilan dari pekerjaan itu cukup lumayan. Bahkan dari
penghasilan pekerjaanku, Aku berhasil membeli sebuah unit apartemen di kota
tempatku bekerja.
Hari
ini dan seminggu ke depan perusahaan memberiku waktu cuti. Selama setahun
penuh, Aku tidak pernah mengambil waktu cutiku hingga perusahaan akhirnya
memaksaku untuk cuti. Oleh karena itu, Aku memutuskan untuk kembali ke kampung
halamanku. Sekadar ingin melepas rasa rindu setelah sekian lama tidak bertemu
dengan orang tua di kampung halaman.
Bus
tidak dapat berhenti tepat di desaku. Bus hanya dapat berhenti di halte yang
jauhnya sekitar enam kilometer ke selatan dari desaku. Meski agak terpaksa, Aku
berjalan kaki dari halte tersebut menuju desaku. Sembari berjalan, Aku
memainkan telepon genggamku. Aku saling berkirim pesan dengan teman – teman
sekelasku dulu melalui sebuah aplikasi media sosial. Saat Aku saling berkirim
pesan itulah, ada salah seorang teman yang menanyakan tentang tanggal. Secara
spontan Aku pun menuliskan balasan...
“Hari ini tanggal 15 Oktober 2012,
lupakah kamu...? :D :D”
Saat
itu pula lah Aku melintasi sekolah ku dulu. Sesaat Aku menoleh dan melihat ke
arah pohon mahoni yang ada di depan gedung. Aku pun menghentikan langkahku
karena teringat dengan sesuatu. Sesuatu yang besar, penuh cerita dan penuh
dengan kenangan. Dengan segera Aku membuka tasku dan mengambil buku catatan
harianku. Kubolak balikkan halaman buku catatan harianku dan secara tak sengaja
ada satu lembar kertas terlepas dan jatuh ke tanah. Kuambil kertas yang
terlepas itu dan membalikkannya. Sebuah tulisan yang benar – benar
mengingatkanku pada masa lalu ada di kertas itu.
“ Jadikan setiap tanggal 15 Oktober ini hanya untuk kita bersama...,
Kau dan Aku.., ”
Aku telah berjanji kepadanya
untuk menjadikan setiap tanggal 15 Oktober menjadi hari khusus untukku dan
dirinya. Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya kesibukan, membuatku
lupa akan janji itu. Dan kertas yang terjatuh itu seakan membangkitkan memori
terakhirku akan dirinya. Kupandangi sejenak kertas yang baru saja membangkitkan
memoriku itu. Kertas itu sudah menguning, namun tulisannya masih tampak jelas
dan dapat dibaca. Sehingga Aku masih dapat membaca jelas.
Aku mengurungkan niatanku
untuk segera pulang ke rumah. Aku ingin mengingat masa laluku dengan teman
sejatiku yang telah memberikan cerita dan kenangan. Aku merasa, catatan yang
jatuh itu mungkin merupakan firasat bahwa Ia rindu akan kehadiranku setelah
lima tahun Aku tidak menjenguknya. Akhirnya, Aku memutar langkahku dan berjalan
perlahan menuju ke arah pohon mahoni yang ada di depan gedung. Pohon mahoni itu
kini tampak lebih besar. Namun bangku kayu dan ayunannya masih utuh dan belum
rusak sedikitpun. Akhirnya Aku sampai di depan pohon mahoni itu.
Aku
berjalan menuju ke ayunan itu dan kemudian menaikinya. Rasanya masih sama
meskipun sudah lima tahun Aku tidak pernah menaiki ayunan itu lagi. Aku
memandangi bangku kayu yang ada di depan pohon mahoni. Dan seperti kembali ke
masa lalu, Aku dapat melihat kembali dirinya dengan senyum dan tatapannya yang
tajam namun menenangkan.
“Heeeeem...,
maaf ya.., lima tahun ini Aku tidak pernah ke sini....” Kataku sambil
menggoyang – goyangkan ayunan perlahan.
Aku
dapat melihat dengan jelas bayangannya, Ia kembali menolehkan wajahnya dan
tertunduk. Sepertinya Ia sedih.
“Setelah
upacara kelulusan itu, Aku segera mencari pekerjaan di kota keesokan harinya,
dan hasilnya sekarang Aku bekerja sebagai staff di sebuah kantor perusahaan di
kota. Aku kini sudah memiliki penghasilan dan dapat membiayai semua kebutuhanku
sendiri. Bahkan Aku juga sudah dapat membeli apartemen sendiri di kota tempatku
bekerja. Sederhana, namun sudah cukup untukku tinggal sendiri di kota.” Kataku
menceritakan apa yang sudah aku lakukan selama lima tahun ini. “Aku baru
teringat akan janjiku dahulu, janjiku dan janjimu untuk menjadikan setiap
tanggal 15 Oktober menjadi hariku dan harimu..., saat tadi Aku melihat pohon
mahoni ini. Ya, benar.., pohon ini benar – benar mengingatkanku padamu..”
Terlihat
sekali Ia kembali menolehkan wajahnya kembali dengan raut muka keheranan.
“Berkat
doronganmu dulu, kini Aku menjadi lebih baik... Aku dapat dengan mudah berteman
dan akrab dengan siapa saja...” Kataku lagi. “Kamu bagiku adalah lebih dari
teman sejati..., namun malaikat penyelamatku...., Ya malaikat penyelamat.....”
Kini
wajahnya berubah dari keheranan menjadi wajah yang penuh dengan kebahagiaan. Ia
tersenyum dan dengan tatapan yang tajam namun menenangkan.
“Yak...,
sepertinya Aku harus segera melanjutkan perjalananku. Aku berencana untuk
pulang ke rumah hari ini. Sudah lima tahun juga, Aku tidak kunjung menengok
orang tuaku. Oh, iya mungkin nanti sore Aku akan mengunjungi makammu. Aku akan
membersihkan makammu.” Kataku sambil beranjak dari ayunan itu. “Aku berjanji
akan datang ke sini tiap tahun untuk menepati janjiku dan janjimu.
Selepas
Aku berbicara, Seketika Aku merasakan ada angin yang berhembus lembut menerpa
perasaanku. Angin yang kurasakan sama seperti yang kurasakan saat Aku dan Ia di
tempat ini saling mengenal. Aku semakin yakin bahwa Ia ada di dekatku dan
mendengar semua yang Aku bicarakan.
“Terima
kasih, Rudi....., Kamu masih mau menjadi teman sejatiku.....” Kataku sembari
membungkukkan badan di depan pohon itu. Kemudian barulah Aku memutar badanku
dan berjalan keluar dari sekolah untuk melanjutkan perjalananku ke rumah.
Rudi,
teman, sahabat sejatiku untuk selamanya hingga waktu yang tak dapat ditentukan.
Berteman itu baik, tidak akan membuatmu kesusahan, Dengan berteman, apa
yang tidak mungkin kamu lakukan sendirian, menjadi mungkin...
Itulah pertemanan..., kadang kamu atau Aku harus merasakan
kekecewaan.., kadang kamu atau Aku merasakan kebahagiaan.., kadang kamu atau
Aku merasakan kesedihan.., Semua itu akan bermakna dan membuat sebuah cerita
yang akan lama membekas di ingatanmu...,
Semakin banyak kamu memiliki teman, semakin banyak cerita yang kamu
dapat dan kamu kenang....
----- ***** -----
MEMORI
TERAKHIR
FollBack Mil, . hehe
BalasHapuslokerberbagi.blogspot.com