Aku Ingin Melihat Dunia Sekali Lagi!


Aku Ingin Melihat Dunia Sekali Lagi!
Oleh: M. Irfan Luthfi



Pagi itu serasa pagi terakhir buat Aku. Aku yang selalu terbangun dengan selang infus menancap pada pergelangan tangan, dan alat bantu nafas yang tidak pernah lepas dari hidungku. Tiap pagi, Aku selalu berharap dapat terbangun dari tempat tidurku, dan dapat bergerak, berjalan dengan bebas tanpa adanya benda – benda yang kini membantu ku hidup. Percayalah, benda – benda yang menempel pada tubuhku kini benar benar menjadi nyawa bagi ragaku. Terlepas salah satu saja dari benda – benda itu, mungkin ragaku hanya akan menjadi seonggok daging tak bernilai.


Aku mulai berteman dengan benda – benda itu tepatnya sekitar tiga tahun yang lalu. Saat Aku didiagnosa menderita kanker stadium akhir dan mengharuskan Aku untuk berhenti dari semua aktifitas keseharianku. Kuliahku terputus, teman – teman seolah pergi meninggalkanku begitu saja, dan Aku merasa hanya menjadi beban saja bagi keluargaku –Terutama kedua orang tuaku. Aku yang hanya terus terbaring di tempat tidur menunggu ajal menjemput hanya bisa meneteskan air mata tiap kali mengingat seluruh hidupku dulu yang pernah Aku jalani. Bahkan hingga bantal tempat ku terbaring menjadi basah karena air mataku. Tapi itulah yang benar – benar hanya Aku bisa lakukan. Aku tidak bisa melakukan apa – apa lagi, termasuk berdiri saja bagaikan berusaha bintang di langit. Hal – hal semacam itu sudah sangat susah sekali Aku lakukan. Andaikan sebelum Aku meninggalkan dunia ini Aku diberikan kesempatan untuk melihat dunia sekali lagi, sungguh itu adalah karunia terbesar yang Aku terima dalam hidup. Namun, Aku berpikir…, hal itu sungguh mustahil sekali.

Ini adalah tahun ketigaku terbaring di tempat tidur. Setelah terbangun, seperti biasa, Ibu datang menghampiriku untuk mengecek kantung piss pot untuk segera dibuang. Kemudian datang Ayah yang membawakan sarapan pagi yang sudah disesuaikan dengan saran dokter. Semenjak derita ini Aku rasakan, semua makanan lezat tampaknya meninggalkan jauh – jauh dari diriku. Rasanya Aku benar – benar dicampakkan dari kenikmatan dunia ini, dan hanya menjadi raga tanpa nyawa yang kapan saja bisa mati. Ayah tidak hanya membawakan makanan itu, namun juga membantu ku untuk melahapnya. Untuk makan, Aku masih bisa melakukannya sendiri. Namun, untuk membuatku nyaman saat makan itulah, bantuan dari Ayah sangat Aku butuhkan. Mulai dari menaikkan posisi tempat tidur, hingga Aku menjadi setengah terduduk. Menarik meja makan dari pinggir tempat tidur dan menempatkannya di depanku. Barulah Aku bisa makan dengan nyaman.

Ketika Aku makan, Ayah dan Ibu membersihkan di sekeliling tempat tidurku, jika ada sampah – sampah kecil yang berceceran. Juga memerika botol infus yang tergantung. Apabila sudah hamper habis, harus segera diganti. Kapasitas tabung oksigen juga tidak terlewatkan, jika hamper mencapai titik nol, maka biasanya Ayah langsung menghubungi agen tabung oksigen terdekat untuk melakukan penukaran. Semuanya itu dilakukan saat pagi hari dan itupun dilakukan kurang dari satu jam. Sehingga terasa sekali, waktu berkumpul dengan keluargaku hanya satu jam saja di pagi hari. Setelah itu.., mereka berdua akan kembali meninggalkanku untuk melanjutkan aktifitas mereka masing – masing. Duniaku kembali sepi. Hanya Aku sendiri terbaring di tengah – tengah duniaku. Sesekali menengok ke luar dari jendela di sisi kananku dan melihat pemandangan yang tak pernah berubah. Sebuah dinding tegak yang menghalangi sebagian cahaya matahari untuk masuk ke dalam duniaku. Aku memiliki satu impian kecil yang benar – benar ingin Aku wujudkan. Aku Ingin Melihat Dunia Sekali Lagi!. Aku Ingin Melihat Dunia Sekali Lagi!. Oh, Tuhan.., izinkanlah Aku untuk dapat melihat dunia indah-Mu untuk terakhir kali sebelum ajal-Mu menjemputku. Kupanjatkan terus doa itu, tanpa melihat waktu. Aku masih memiliki harapan untuk hidup dan berkumpul kembali bersama keluarga dan menjalani kegiatan – kegiatan yang dulu belum pernah Aku lakukan. Aku ingin belajar bersama teman – teman. Aku ingin bermain dengan teman – teman. Dan satu impian yang pasti diimpikan oleh tiap anak, yakni membahagiakan kedua orang tuanya. Oh,Ya Tuhan, jika Engkau mendengarkan doaku ini…, terimalah dan kabulkanlah doaku ini Yaa Tuhan. Aku benar – benar menginginkan kehidupanku yang dulu…,

----****----


Hari keempat belas, bulan kedelapan, tahun ketiga. Kembali Aku terbangun dari tidurku dan melihat kembali keadaanku yang belum berubah. Suasana masih sepi, dan Aku tahu bahwa Aku terbangun lebih awal dari biasanya. Entah mengapa, sudah tiga hari ini Aku selalu terbangun lebih awal dari biasanya Aku bangun. Kembali Aku melihat ke arah jam dinding yang terpasang di atas pintu kamarku. Jam itu masih menunjukkan pukul empat pagi. Dua jam lebih awal dari jam seharusnya Aku bangun yakni pukul enam pagi. Aku berusaha untuk kembali tidur namun berulang kali Aku mencoba, Aku tidak dapat memejamkan mata barang sedikitpun. Hingga saat Aku berusaha memejamkan mataku kembali. Aku mendengar suara yang begitu jelas dan keras memanggil – manggilku.

“Nak.., bangun dan tanggalkanlah selimutmu!”

Aku berusaha mencari – cari asal suara itu dan tidak menemukan apapun. Kemudian suara itu terdengar untuk kedua kalinya.

“Nak.., bangun dan tanggalkanlah selimutmu!”

Aku kembali menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari – cari asal suara itu, Tapi tetap saja tak ada apa – apa. Hingga akhirnya, suara itu pun terdengar untuk ketiga kalinya.

“Nak.., bangun dan tanggalkanlah selimutmu!”

Kali ini suara itu dibarengi dengan terbukanya pintu kamarku dengan perlahan.

“Krieeeeeeeerrtttt…….”

Saat itulah dari dari pintu itu masuklah sesosok makhluk yang hanya berupa cahaya putih terang benderang dan ukurannya jauh besar dari pintu duniaku. Makhluk itu berjalan mendekat dan semakin dekat makhluk itu dengan tubuhku, makin dingin pula keadaan di sekelilingku. Suasana yang tadinya panas, kini terasa lebih dingin dan sejuk bagai diterpa oleh angin yang berhembus pelan. Suasananya sungguh membuatku sangat nyaman. Hingga tanpa sadar, makhluk itu sudah berdiri merapat dengan tempat tidurku. Aku pun segera berpaling menghadap ke arah makhluk itu. Tampak tanganku yang menggenggam pagar pembatas tempat tidur berada di dalam cahaya putih itu dan terasa dingin. Dingin seperti es. Aku berusaha menarik tanganku yang masuk ke dalam cahaya putih itu, namun tak bisa. Seakan makhluk itu menggenggam erat tanganku. Akhirnya Aku pun terdiam dan tak melakukan apa – apa. Hingga akhirnya makhluk itu pun berbicara kepadaku.

“Nak.., bangunlah, dan tanggalkanlah selimutmu.”

“Tapi Aku tak dapat bergerak.., seluruh tubuhku terasa kaku dan tidak dapat digerakkan” Kataku kepada makhluk itu.

“Nak.., bangunlah, dan tanggalkanlah selimutmu.” Kata makhluk itu berkata demikian kembali.

“Aku tidak bisa…! Tidak bisa…,! Seluruh badanku telah kaku dan tidak dapat digerakkan..! Lihatlah…!” Kataku sedikit keras sembari berusaha menggerakkan kakiku yang masih tertutupi oleh selimut. Sebuah keajaiban terjadi!, dengan mudahnya Aku menggerakkan kakiku. Seakan tidak ada beban pada kedua kakiku, Aku bisa menggerakkan kedua kakiku dengan bebas. Air mataku segera keluar dengan derasnya. Betapa senangnya Aku dapat menggerakkan kaki ku kembali. Namun makhluk itu terus mengulangi perkataan yang sudah diucapkan sebelumnya.

“Nak, bangunlah, dan tanggalkanlah selimutmu.”

Akhirnya Aku mengerti apa yang makhluk itu katakan kepadaku, dan Aku pun berusaha untuk bangkit dari tempat tidurku. Mulai dari tanganku, menggenggam pada kedua pagar pembatas di sisi kanan dan kiri tempat tidurku. Kemudian dengan perlahan menarik tubuh bagian atasku untuk bangun, terus, terus, dan perlahan hingga Aku dapat duduk dengan sempurna. Kemudian Aku menoleh ke arah makhluk itu lagi dan terlihat sekali ada suatu bagian dari dirinya yang membuka kancing pagar pembatas itu dan mendorongnya turun. Sehingga terbuka berjalan buatku untuk dapat bangkit dari tempat tidurku. Makhluk itu kemudian berkata lagi.

“Nak, bangunlah, dan tanggalkanlah selimutmu.”

Aku segera membuka selimut yang masuh menutupi kakiku dan segera melipatnya. Selepas itu, dengan perlahan Aku menggerakkan kakiku untuk dapat beranjak dari tempat tidurku dan menapak di atas lantai.

“Sleeeep…, Nyesss….”

Itulah rasa yang pertama kali Aku rasakan ketika kakiku setelah sekian lama tidak menyentuh lantai rumahku. Setelah kakiku menapak pada lantai, Aku segera mencoba untuk bangkit dan berdiri. Dengan menggunakan kedua tanganku, Aku mendorong badanku dari tempat tidur dan Aku berdiri!. Aku Berdiri!. Aku Berdiri! Ya Tuhan…, Aku Berdiri!. Rasa bahagia yang benar – benar tak dapat kugambarkan dengan kata – kata kala itu. Aku mencoba untuk melangkah, dan Aku berjalan!..., Aku berjalan…! Ibu.., Bapak…! Aku bisa berjalan…!. Air mataku mengalir deras membasahi kedua pipiku, dan ingin sekali Aku memeluk makhluk itu namun tak dapat Aku lakukan. Seluruh bagian dari mahkluk itu hanyalah cahaya. Dan ketika Aku mencoba sekali lagi untuk memeluk mahkluk itu, Makhluk itu berkata:

“Doamu telah terjawab. Pergunakanlah sisa waktu hidupmu untuk taat kepada-Nya. Beribadahlah kepada-Nya. Karena Ia lah yang Maha Pemberi Kehidupan.”

Seketika makhluk itu pun hilang tanpa bekas dari hadapanku.



---***---


“Ibu…,! Ayaah….!..., Ibuuuu….!!!!..., Ayaah….!!!!! Bangun Ibu.., Ayaah…, !!! Lihat Aku.., Ibuu….!!.., Ayaah…!!!!” Teriakku sambil berlari menuju kamar tempat Ayah dan Ibu ku tidur.

Ayah dan Ibu sempat terkaget dengan suara ku yang cukup kencang memanggil – manggil mereka. Terdengar suara yang cukup gaduh dari dalam kamar Ayah dan Ibu. Mungkin mereka takut hal – hal yang buruk menimpaku. Sehingga mereka segera bergegas untuk bangun. Namun, ketika pintu kamar mereka terbuka. Seakan tak percaya, mereka berdiri terdiam dan melihat ke arahku.

“Lihat Aku, Ibu Ayah…, Aku bisa berdiri, dan berjalan kembali…” Kataku sambil mengambil beberapa langkah kecil untuk meyakinkan mereka.

Beberapa saat mereka memperhatikanku, tak lama kemudian air mata mereka berdua tumpah bak air terjun kebahagiaan. Mereka berdua segera memelukku erat tanpa berkata – kata ataupun bertanya. Karena mereka berdua tahu hanya keajaibanlah yang mampu memberikan ini semua kepadaku. Ayahku kembali memperhatikan wajahku sesaat dan kembali memelukku erat.

“Ayah.., Ibu.., Aku sudah bisa berdiri dan berjalan….” Kataku lirih kepada mereka berdua.

“Iya, Nak.., kami berdua bisa melihatmu berdiri dan berjalaan…” Jawab mereka berdua dengan terisak – isak. “Mari Nak.., kita segera bersembahyang untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas rahmat yang dilimpahkan kepadamu Nak…”

“Mari Ayah…, Mari Ibu….” Jawabku sambil menggenggam tangan mereka berdua dengan erat.

---***---


Keesokan paginya, pukul enam pagi. Waktu di mana seharusnya Aku bangun, namun Aku telah terbangun lebih awal dua jam dan mendapatkan keajaiban yang sulit tergambarkan. Aku segera menuju ke kamarku dan melihat keadaan duniaku yang kan segera kutinggalkan. Saat Aku melihat duniaku itulah, Ayah datang dari belakangku dan menepuk pundakku.

“Mari Nak.., kita lihat ke depan terlebih dahulu untuk melihat mentari pagi yang menyambut pagi indahmu ini….” Kata Ayah kepadaku.

“Baik Ayah…” Jawab ku sambil tersenyum.

Kami berjalan beriringan menuju pintu depan. Sesampainya di pintu depan, Ayah memutar kunci beberapa kali dan membuka pintu itu. Cahaya kuning mentari pagi perlahan masuk dan ketika Ayah mendorong pintu itu.., cahaya mentari pagi yang lama sekali tak pernah Aku rasakan menerpa tubuhku. Aku memejamkan mataku sejenak untuk merasakan hangatnya mentari pagi. Aku merasa sungguh tak percaya dengan keadaan yang kualami sekarang ini. Aku sembuh dari kanker yang menggerogoti tubuhku. Hingga Aku tak dapat berjalan kembali. Namun kini. Aku mendapatkan duniaku kembali…!!!!!!!!!

-----*****-----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Aku Pulang Kuliah

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR