LELAKI TUA PENJAJA KORAN


LELAKI TUA PENJAJA KORAN
Oleh: M. Irfan Luthfi


Koraaaan……! Koraaaan.! Sebuah pesawat baru saja jatuh kemarin!!! Semua penumpangnya tewas.!!! Koraaan..!!!! Koraaan.!!!, berita hangaat.., berita hangaaat!!!Teriak seseorang yang sudah tak lagi umurnya sambil membawa seikat koran yang baru saja keluar dari percetakan. Dengan menggunakan sepeda tuanya, orang tua itu tampak semangat sekali mengoperkan korankoran kepada pelanggan setianya. Ia terus lakukan itu tiap pagi tanpa mengenal rasa lelah. Sehingga orangorang yang tinggal di komplek sudah akrab sekali dengan orang tua itu.


Orangorang komplek memanggilnya Pak Ridwan. Ada yang seringkali pula memanggilnya Kakek Ridwan. Memang sepantasnyalah Ia dipanggil Kakek Ridwan, karena umurnya yang sudah tak lagi muda, dan keriput di wajahnya sudah memperlihatkan bahwa dirinya sudah benarbenar tua. Namun semangatnya itulah yang sering dikagumi oleh orangorang. Biasanya orangorang yang seumur dengannya sudah tidak mampu lagi melakukan apaapa. Meski mampu pun, mungkin hanya mengerjakan halhal kecil. Tidak seperti Pak Ridwan, yang pekerjaan loper korannya mengharuskan ia untuk mengayuh sepedanya minimal dua puluh kilometer untuk mengais rejeki. Itu pun belum cukup, setelah pagi mengayuh sepedanya untuk meloper koran, biasanya Ia segera mengambil koran sisa yang tidak ia loperkan untuk Ia jual di perempatanperempatan jalan. Lagilagi, semangatnya tidak terlihat kendur, meski Ia harus berdiri seharian, sepanjang siang, untuk menghabiskan korankoran yang tersisa tadi.

----- *****-----
Sebelumnya, Pak Ridwan bukanlah seorang loper koran. Ia adalah bekas tentara veteran yang ikut memperjuangkan kemerdekaan republik ini. Ia ikut berjuang bersama dengan temantemannya yang lain hingga akhirnya Belanda dan sekutunya hengkang dari negeri ini untuk selamalamanya. Ketika itulah perjuangan Pak Ridwan dan temantemannya sebagai tentara veteran itu berakhir. Meski sebagai tentara veteran, tak selamanya Ia sehat dan selalu meminggul senjata untuk memperjuangkan kemerdekaan republik ini. Beberapa kali, tubuh Pak Ridwan tertembus timah panas dan mengharuskan dirinya untuk menginap di bangsal rumah sakit. Dari kejadiankejadian yang pernah ia alami, paling parah ketika Ia ikut terkena dalam ledakan granat di suatu area pertempuran yang kala itu menewaskan hampir satu peleton pasukan. Hanya Pak Ridwan, dan beberapa temannya saja yang selamat karena berhasil berlindung sebelum granat yang dilemparkan oleh Belanda itu meledak.

Setelah perjuangan Pak Ridwan sebagai tentara veteran berakhir, Pak Ridwan terasa tidak memiliki apaapa lagi untuk diperjuangkan. Karena tentara veteran bukanlah sebuah pekerjaan dan otomatis, Pemerintah tidak ikut membiayai kehidupan seorang veteran. Veteran bukanlah bagian dari tentara pemerintah. Itulah yang membuat Pak Ridwan kini dilupakan begitu saja perjuangannya dan harus pintarpintar mencari profesi agar dapat mempertahankan hidupnya di tengahtengah pembangunan republik, kini. Profesi terkahir yang ia geluti sekarang adalah sebagai loper koran. Sebelumnya Ia pernah juga bekerja sebagai tukang parkir di sebuah pusat perbelanjaan ternama di Jakarta. Meski pekerjaan rendah, namun penghasilannya lebih dapat menjamin hidupnya daripada pekerjaannya sekarang sebagai loper koran. Ia berhenti menjadi seorang tukang parkir, setelah peristiwa krisis moneter besarbesaran di awal era tahun 90an. Ia bersama tukang parkir yang lain mendapatkan PHK dan ironisnya lagi, pesangon yang diberikan oleh pengelola pusat perbelanjaan itu tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya. Pernah, Ia juga ikut berdemo dengan temanteman yang terkena PHK lainnya hingga satu minggu lamanya. Namun, bukannya mendapatkan tanggapan dari pengelola pusat perbelanjaan, Ia dan temantemannya di tangkap oleh Satuan Polisi Pamong Praja.

Setelah ditangkap, Ia dan temantemannya dibawa ke suatu tempat entah di mana. Namun yang pasti itu di luar Jakarta. Sedang di tempat itu hanya terdapat hamparan sawah yang begitu luas, dengan sebuah bangunan permanen di tengah sawah tersebut. Bangunan itu dikelilingi oleh pagar tembok yang cukup tinggi, dan tertutup sekali. Sehingga orang luar pun tidak dapat melihat apa yang terjadi di dalam. Itulah yang Pak Ridwan lihat selama Ia dan temantemannya dikurung di tempat itu. Ia ditangkap atas tuduhan mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Ia tidak dapat berbuat banyak. Karena saat ditangkap, Ia hanya membawa dompet berisi satu lembar uang lima puluh ribuan, KTP, dan Kartu Kesehatan. Selebihnya hanya baju yang ia kenakan sekarang. Ia disiksa, dicecar berbagai pertanyaan, dan setelah itu dikembalikan ke dalam kurungan hingga akhirnya setelah empat puluh hari di dalam kurungan, Ia dibebaskan. Itu saja pun dengan ancaman, jika Pak Ridwan berani membuka mulut di muka umum, maka Ia akan ditangkap kembali dan dieksekusi.

Setelah keluar dari bangunan itu, Pak Ridwan bingung harus kemana. Akhirnya ia hanya menumpang pada sebuah truk yang sedang melintas. Truk itu sedang membawa muatan untuk diantar ke Yogyakarta. Pak Ridwan terpaksa ikut serta, karena Ia sudah bingung harus ke mana lagi. Bahkan Ia pun tidak tahu di mana tempat ia dikurung sebelumnya. Ia terus mengikuti kemanapun truk itu berjalan, hingga akhirnya truk itu sampai di Yogyakarta dan berhenti di sebuah stasiun. Stasiun itu tak asing buat dirinya. Karena di stasiun itulah ia dulu ikut rombongan tentara ke Yogyakarta untuk melakukan serangan besarbesaran di tanggal 1 Maret. Itu adalah Stasiun Lempuyangan. Di sinilah turun dari kereta untuk melakukan serangan itu. Ia segera berlari dan mendekat ke arah stasiun itu, Ia diam terpana melihat stasiun itu yang kini cukup megah dan cukup ramai. Ia terus diam terpana dan tak menyadari jika ada seseorang yang terus menerus memperhatikan dirinya. Ia baru menyadarinya ketika orang yang melihatnya dari tadi itu datang menghampirinya.

Pak Ridwan....?!!sapa orang itu.
Ridwan yang semula terpesona dengan keramaian Stasiun Lempuyangan terkejut dan menoleh ke arah orang yang memanggilnya itu. Seakan tak percaya, matanya terbelalak lebar, Ia menyadarinya, bahwa orang yang memanggilnya itu,

Pak Norman...?!!!, Betul Anda Pak Norman...?!!!!

Betul sekali Pak Ridwan.., wah.., lama sekali kita tidak bertemu Pak Ridwan....!! Apa kabarnya Pak Ridwan.....?!!!Jawab Pak Norman seraya menjabat tangan Pak Ridwan.

“Baik, Pak Norman, meski saya baru saja mendapatkan musibah” Jawab Pak Ridwan sambil tersenyum lebar.

“Musibah apa, Pak Ridwan...?” Tanya Pak Norman dengan nada agak tinggi.

“Saya baru saja ditangkap, Pak.., “ Jawab Pak Ridwan dengan nada tenang.

“Ditangkap...? kapan, Pak...? Baik – baik saja tapi kan, Pak selama ditangkap...?” Tanya Pak Norman lebih lanjut.

“Ya..., beruntunglah, Pak.., Aku baik – baik saja.., yaa.., meski ada beberapa luka yang sampai sekarang masih terasa.” Kata Pak Ridwan kemudian menunjukkan bekas lukanya. “Seperti luka ini, Pak.., “.

“Astaga, Pak.., ini kapan...?, Pak....? tanya Pak Norman kembali.

“Baru kemarin saya dibebaskan, Pak..., terus menumpang truk dan akhirnya sampai di sini..,” Jawab Pak Ridwan tenang.

“Pasti ditangkap oleh polisi – polisi pamong praja itu, Pak...? wah., saya juga pernah hampir tertangkap, Pak.., waktu ikut demo di perempatan nol kilometer.” kata Pak Norman.

“Betul sekali, Pak.., saya juga ditangkap gara – gara ikut berdemo dengan teman – teman saya sepekerjaan. Sudah di-PHK.., pesangon tidak sesuai dengan perjanjian...” jawab Pak Ridwan.

“Lantas, sekarang Pak Ridwan mau ke mana?” Tanya Pak Norman.

“Tidak tahu, Pak.., mungkin saya ingin mencoba untuk tinggal di Jogja ini saja. Karena saya sudah tidak punya apa – apa lagi, dan jika tinggal di Jakarta saya sudah di cap sebagai residivis juga kan, Pak...?” jawab Pak Ridwan sambil sedikit menundukkan kepala.

“Wah, semoga berhasil di Jogja ya, Pak..., saya malah baru mau berangkat ke Jakarta ini, Pak.., mau mencoba memperbaiki hidup...” kata Pak Norman mencoba memberikan semangat kepada Pak Ridwan.

“Iya, Pak Norman..., Semoga Pak Norman juga berhasil ya di Jakarta!” kata Pak Ridwan sambil menganggukkan kepalanya.

“Jika begitu, saya mau pamit, Pak.., saya mau berangkat ke Jakarta sekarang. Tampaknya kereta Empu Jaya sudah tidak mau menunggu di stasiun lagi..” kata Pak Norman sambil mengacungkan sedikit jempolnya ke arah kereta yang sedang berhenti di stasiun itu.

“Eh.., iya.., Pak Norman.., silakan – silakan.., hati – hati di jalan, Pak.., “ kata Pak Ridwan mempesilakan pak Norman untuk segera menuju kereta yang tengah berhenti.

“Semoga kita dapat berjumpa kembali, Pak...!!!” Teriak Pak Norman di depan pintu kereta sebelum akhirnya hilang masuk ke dalam kabin gerbong kereta.

“Saya menunggu Pak Norman di sini, sepuluh tahun lagi...!!!!!” teriak Pak Ridwan membalas teriakan Pak Norman.

Sepuluh menit kemudian, setelah pertemuan singkat Pak Ridwan dengan Pak Norman di stasiun, kereta Empu Jaya itu pun berangkat dan meninggalkan Stasiun Lempuyangan. Pak Ridwan segera membalikkan langkah dan keluar dari stasiun. Beberapa langkah dari pintu keluar stasiun, Pak Ridwan menghentikan langkahnya sejenak. Ia melihat ke arah langit, dan tampak bintang – bintang yang bersinar mulai menghiasi langit petang Yogyakarta. Tak terasa sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan Pak Norman, salah seorang teman seperjuangannya selama di korps. Veteran. Ia lah yang sering menolong Pak Ridwan ketika terluka karena serangan dari tentara – tentara Belanda yang tingkahnya berlebihan. Seraya melihat langit Jogja yang mulai gelap, sementara suara riuh ramai stasiun yang tiada habis – habisnya. Ia merasa suasana di Jogja sungguh berbeda dengan suasana di Jakarta. Keramaian yang menentramkan hati hanya terjadi di Jogja dan tidak akan ditemui di kota – kota lain. Pak Ridwan pun mencoba merogoh saku belakangnya dan mengambil dompet yang sempat diobrak – abrik isinya oleh petugas selama Ia dikurung. Untunglah, uang tidak sampai diambil. Hanya kartu identitas saja yang diambil. Satu lembar uang lima puluh ribuan yang ia miliki saat ini, harus cukup untuk menghidupi dirinya beberapa hari ke depan. Setidaknya hingga Ia mendapatkan pekerjaan yang pantas.

Pak Ridwan pun kembali melangkah keluar dari area stasiun. Ia memutuskan untuk berjalan kaki berkeliling – keliling Jogja untuk menemukan tempat yang tempat buat dirinya bermalam. Tak tahu berapa jauh ia berjalan, hingga akhirnya ia menemuka sebuah tempat yang nyaman di bawah kolong jembatan “kewek”. Sebuah jembatan kereta api yang menghubungkan antara Stasiun Lempuyangan dengan Stasiun Tugu. Ia segera berjalan ke bawah jembatan itu dan melihat ada beberapa orang yang juga ada di bawah jembatan itu dengan sebuah tong yang di dalamnya menyala api. Tampaknya tong itu berfungsi untuk penerangan dan penghangat buat mereka yang ada di sini. Ia segera saja bergabung dengan orang – orang bawah jembatan itu.

Beruntung sekali, orang – orang bawah jembatan itu adalah orang – orang yang baik. Pak Ridwan diterima baik di bawah jembatan itu bahkan ditunjukkan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Pak Ridwan segera menuju tempat yang ditunjukkan itu. Di sana ada beberapa gelaran tikar yang siap digunakan untuk orang – orang untuk beristirahat. Ia segera duduk, dan menyandarkan punggungnya pada dinding tiang jembatan itu dan mencoba untuk beristirahat. Namun tidak sepenuhnya Ia beristirahat. Matanya tidak dapat menutup seluruhnya. Ia mencoba beristirahat mengikuti aliran musik para pengamen yang ada di bawah kolong jembatan itu. Sungguh suasana yang berbeda dibandingkan ketika Ia berada di Jakarta dulu.

Keadaan Pak Ridwan ini bertahan hingga beberapa tahun. Ia selalu mencoba berbagai pekerjaan yang ada hingga akhirnya menemuka pekerjaan sebagai loper koran cocok buat dirinya. Selain dapat pergi ke mana - mana sesuai tempat pelanggan, Ia juga tidak harus ikut dikejar – kejar oleh satuan polisi pamong praja itu lagi. Inilah awal mula Pak Ridwan memilih karir terakhirnya di dunia ini sebagai loper koran di Yogyakarta.

-----*****-----

Sudah sepuluh tahun lamanya Pak Ridwan bekerja sebagai loper koran. Hingga suatu ketika, saat ia sedang beristirahat di sela – sela pekerjaannya, Ia teringat akan janjinya pada teman terbaiknya, Pak Norman sekitar sepuluh tahun yang lalu. Ia berjanji untuk menunggu kedatangan Pak Norman kembali ke Jogja sepuluh tahun sejak pertemuan mereka yang tidak terduga itu. Ia segera bangkit dari tempat beristirahatnya dan kembali mencoba menjajakan koran – korannya yang tersisa. Ia mencoba agar koran – korannya dapat segera habis, dan dapat menunggu teman terbaiknya itu di Stasisun Lempuyangan.

“Koraaaan.... Koraaaan.....!!!! Seribu rupiah sajaaa....!!!!.., Koraaaan....” Teriak Pak Ridwan ditengah hiruk pikuknya jalan raya.
Begitulah yang Pak Ridwan hingga sepuluh menit ke depan. Hingga akhirnya, koran – koran sisa dari loper korannya tadi pagi habis terjual. Ia segera memasukkan semua penghasilan hari itu ke dalam tas pinggang kecil dan kemudian berlari menuju tempat Ia menitipkan sepeda. Ditariknya sepeda dari tempat parkirnya dan ia kayuh cepat – cepat agar dapat tiba di Stasiun Lempuyangan dengan tepat. Ia terus mengayuh sepedanya, tidak ia pedulikan berapa banyak peluh yang ia keluarkan. Ia terus mengayuh, hanya demi untuk bertemu dengan teman terbaiknya. Tidak terpikir olehnya jika sepedanya tidak memiliki satu rem pun. Baik itu rem belakang maupun rem depan. Hingga ketika tiba di sebuah persimpangan jalan yang mana Ia seharusnya berhenti, namun Ia malah tetap mengayuh, muncul sebuah mobil berwarna putih perak yang akan berbelok. Pak Ridwan yang terlambat menyadari bahwa tidak ada satu pun rem yang menempel di sepedanya hanya dapat berteriak.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaa.... Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..... Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...”

“Bruuuuuuk...,!!!! Braaaaaaaak....,!!! Krosaaaaak....!!!!!!!”

Suara benturan itu cukup keras dan membuat orang – orang yang berada di sekitarnya kaget dan terkejut. Orang – orang segera berlarian menuju tempat asal suara benturan itu dan menemukan Pak Ridwan sudah tergeletak dengan darah mengalir dari kepalanya. Beberapa orang yang melihatnya segera membawa Pak Ridwan yang tergeletak itu ke rumah sakit. Dengan sebuah taksi, Pak Ridwan di bawa ke rumah sakit dengan cepat, dan akhirnya masuk ke UGD di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Pak Ridwan tergeletak tak berdaya. Seorang dokter menyatakan bahwa Pak Ridwan ada dalam kondisi koma. Tanda – tanda vital kehidupan hampir tak terlihat lagi, dan mungkin beberapa jam ke depan, Pak Ridwan bisa meninggal dunia. Mendengar hal tersebut, orang – orang menjadi terkejut. Terlebih lagi, di antara orang – orang yang mengantar Pak Ridwan ke rumah sakit itu ada teman sepekerjaannya sebagai loper koran. Sehingga orang itu sudah mengenal baik Pak Ridwan. Ia menjadi bingung, bagaimana harus memberitahu keluarga Pak Ridwan. Sementara Pak Ridwan sendiri sudah lama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan keluarga maupun kerabat dekatnya.

Jam berganti jam.., menit berganti menit, dan detik berganti detik, dan akhirnya..., pada pukul 23.59, Pak Ridwan menghembuskan napas terakhirnya. Tiada keluarga maupun kerabat yang tahu akan kepergian Pak Ridwan. Bahkan teman terbaik Pak Ridwan.., Pak Norman juga pasti tidak akan tahu, karena mereka berdua sudah lama sekali tidak saling berkomunikasi. Karena keadaan inilah, kemudian Pak Ridwan dimakamkan secara sederhana saja. Hanya beberapa pelayat yang mengenal betul Pak Ridwan mengantarkan jasad Pak Ridwan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Dan mulai hari itu, kisah Pak Ridwan sebagai penjaja koran berakhir. Benar – benar tidak ada yang mengetahui kisah ini, baik itu keluarga, kerabat, bahkan teman terbaiknya sekali pun. --- LELAKI TUA PENJAJA KORAN.


-----*****-----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Aku Pulang Kuliah

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR