SEPULUH


SEPULUH
Oleh: M. Irfan Luthfi


Pagi itu terasa berat bagiku. Mengingat hari itu adalah hari penentuan diterima atau ditolakkah Aku untuk menjadi siswa baru di sebuah SMA negeri di tengah Kota Yogyakarta. Namaku Adi. Aku baru saja lulus dari jenjang SMP-ku. Dan kini tengah mencari sebuah SMA yang akan menjadi penerus perjuanganku dalam meraih cita-cita. NEM-ku lumayan bagus. Tiga puluh enam koma enam lima. Cukup bagus untuk seorang lulusan SMP kala itu. Dengan nilai itu, Aku yakin jika Aku akan diterima di SMA negeri yang telah lama menjadi impianku.


Aku merasa malas sekali hari itu. Seluruh tubuhku terasa kaku, meski sebenarnya itu hanya perasaanku saja. Perasaan yang menahanku untuk dapat terbangun di pagi itu. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Dari pintu itu masuklah sesosok laki-laki dewasa yang telah tampak cukup tua dan telah tampak pula keriput di raut wajahnya. Dialah Ayahku. Ayahku yang selalu membimbingku, membantuku, ketika Aku sedang menghadapi suatu masalah yang tak dapat Aku selesaikan.

“Nak, bangunlah. Hari sudah pagi. Sholatlah Subuh dan minta kepada Allah supaya engkau dapat diterima di SMA yang selama ini sudah kau impi-impikan.” Kata Ayahku.

“Baik, Yah… Tapi….” Jawabku, namun Aku tak dapat meneruskannya.

“Tapi apa, Nak…..?” Tanya Ayahku kembali.

“Apakah dengan NEM-ku itu, Aku bisa diterima di SMA yang selama ini Aku impi-impikan, Yah?” Tanyaku pada Ayah.
“Nak, yakinlah! Dengan NEM-mu itu, engkau dapat diterima di SMA yang kamu inginkan” Jawab Ayahku bijaksana. “Sekarang sholatlah dulu, dan berdoa kepada Allah. Ingat! Usahamu kini menjadi harapanmu..!.”

“Baiklah, Yah…” Jawabku dengan nada tanpa harapan.

Aku mulai beranjak bangun. Kutapakkan kakiku pada lantai yang dingin. Memang, bagiku suasana pagi itu sungguh berbeda. Kadang panas, kadang dingin. Yang jelas Aku sedang tidak sakit, tetapi sungguh Aku benar-benar merasa tidak nyaman saat itu. Bingung, cemas, semua bercampur aduk dan terus berputar dikepalaku hingga Aku benar-benar merasa tak mampu untuk merasakan semuanya lagi di pagi itu. Aku segera berjalan menuju belakang rumah. Di mana tempat wudhu dan segala sesuatunya ada di sini. Ku buka keran dan air pagi yang dingin mengucur dengan derasnya. Kubasuh semua mukaku, tanganku, rambutku, hingga ujung jari-jari kakiku. Meski dingin namun air itu cukup menenangkanku. Semua kebingungan dan kecemasan tadi seolah hilang untuk sementara waktu. Setelah dirasa cukup, Aku pun menutup keran itu dan menuju langgar untuk melaksanakan Sholat Subuh. Di tengah bayang-bayang gelapnya langit fajar, Aku tertunduk lemah, tak berdaya, semua-ku serahkan pada Yang Kuasa, memohon pertolongan-Nya, agar Aku benar-benar dapat diterima di SMA yang selama ini Aku impi-impikan.

Lima belas menit berlalu, namun Aku masih terus bertahan duduk bersimpuh di hadapan-Nya. Aku terus berdoa dan berdoa serta meyakinkan diri bahwa dengan NEM-ku, Aku dapat diterima. Di atas hamparan sajadahku, Aku menyadari semua kesalahan yang ada di masa laluku, memohon ampunan-Nya, dan berusaha mencari jalan terbaik untukku. Semua kulakukan hanya untuk meraih satu impianku saat itu. Diterima di SMA negeri di Kota Yogyakarta.

---***---

Kudongakkan kepalaku dan Aku melihat jam dinding rumah sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Aku segera merapikan alat sholatku dan mulai untuk beraktifitas pagi. Namun, karena pagi itu perasaanku benar-benar tak nyaman, maka Aku putuskan untuk tetap bertahan di dalam rumah. Meski membosankan, tapi apa mau dikata, firasatku mengatakan Aku gagal pada hari ini. Dan firasat itu begitu nyata di dalam pikiranku.

Di tengah kebosananku, Aku mencoba menghidupkan televisi. Kucari acara-acara yang mungkin dapat mengurangi kebosanan dan kegelisahanku. Kutemukan satu acara yang mengasyikkan untukku. Aku menonton dan tak lama kemudian telepon genggamku bordering. Sebuah pesan singkat masuk ke dalam telepon genggamku. Sulit untuk kupercaya setelah melihat pesan singkat itu. Semakin menambah ketidaknyamananku pada pagi itu. Apalagi setelah melihat nama pengirimnya. Yang membangkitkan rasa amarahku. Pesan singkat itu berbunyi:

“Adi, met pagi…., gimana sekolahnya?” Pengirim: Echa

Echa.

Mantan pacarku sewaktu Aku duduk di bangku SMP. Semua memori, kenangan, yang telah Aku buat dan lewati bersamanya terasa terulang kembali. Begitu indahnya hingga memori terus berputar dan sampai pada saat ia telah bersama lelaki lain yang dirasanya lebih mampu daripada Aku. Aku kalah..

Sepeninggal dirinya, Aku merasa lebih bebas. Aku dapat kemanapun, bersama siapapun tanpa ada suatu ikatan apapun. Namun, pesan singkatnya pagi itu terasa akan mengubah segalanya. Mengapa dia yang telah lama tidak menjalin komunikasi denganku tiba-tiba membukanya kembali?. Itulah yang Aku pikirkan saat itu. Dan sungguh, pesan singkatnya di pagi itu telah memicu sisa-sisa amarahku yang belum sempat Aku limpahkan kepadanya. Dan Akupun berniat melimpahkannya melalui balasanku.

“BLM” itulah pesan singkat yang Aku kirimkan kepadanya. Dingin, keras, jelas, dan tajam. Hanya dengan huruf B, L, dan M Aku mencoba menyampaikan perasaan amarahku padanya. Namun, sepuluh menit kemudian Aku berpikir bahwa maksud pesanku tidak tersampaikan dengan baik. Karena dia membalas pesan singkatku.

“Adi, Sekarang Aku sangat membutuhkanmu…” Pengirim: Echa

Percaya atau tidak, itulah yang ia kirimkan kepadaku. Satu hal kubutuhkan dari orang lain adalah kepercayaan. Di mana Aku sangat menghargai orang yang telah kupercaya dan ia mempertahankan kepercayaannya padaku. Dan dia mengkhianati kepercayaan itu dan mencoba lari dariku. “A!” betapa sakit rasanya ketika melihat bahkan Secara langsung merasakan orang yang telah Aku percayai pergi begitu saja. Hingga akhirnya, setelah semua memori itu berputar dan memenuhi pikiranku, Aku dapat membalas pesan singkatnya.

“Maaf, Aku tidak akan membantumu”
Begitulah, dan seterusnya ia tidak lagi membalas pesan singkatku lagi.

---***---

Jam delapan pagi, sepuluh Juni dua ribu dua belas. Benar-benar akan menjadi hari yang teramat bersejarah bagiku untuk merasakan dan masuk ke sebuah SMA negeri dan menjadi generasi abu-abu yang baru. Tak sabar Aku menanti hal tersebut, namun Ayahku mau mengantarkanku sekitar jam sepuluh pagi. Di tengah-tengah jam penantian yang terasa sangat lama, Aku terus berdoa agar Aku dapat dengan mudah diterima Sehingga tidak memusingkanku lagi. Ditengah-tengah keheningan doaku, telepon genggamku kembali berdering. Terus berdering, hingga akhirnya, setelah dering kesepuluh kalanya Aku mengangkat telepon itu. Echa..

“Halo!” Sapaku.

“Adi, halo juga….” Sapanya kembali.

“Ada apa, Cha? Langsung saja…!” Tanyaku dengan nada agak sedikit emosi.

“Kamu punya waktu hari ini?” Tanyanya padaku.

“Ya, setelah Aku mendaftar!” Jawabku, keras.

“Baik, Aku akan menemuimu.” Katanya padaku.

“Carilah Aku, jika engkau bisa!” kataku padanya.

“tuuut……..”

Sempat beberapa kali Aku mendengar seperti suara isakan tangis ketika Aku menerima teleponnya. Aku tak mengerti apa maksud isak tangis itu. Untuk apa dia menangis?. Dia kan sudah punya yang lebih mampu daripada Aku?. Kenapa dia menangis?. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di dalam kepalaku dan Aku anggap sebagai angin lalu saja. Aku pun berencana menempati janjiku, apabila dia benar-benar bisa menemukanku.

Sekali lagi Aku menengok jam tanganku. Jam masih menunjukkan pukul Sembilan pagi. Masih ada satu jam lagi untukku untuk mempersiapkan mental dan banyak berdoa agar Aku diberikan kemudahan saat mendaftar nanti. Di saat itulah, Ayahku tiba dari kantornya. Ia pulang lebih cepat karena sudah berjanji padaku untuk mengantarkanku mendaftarkan diri.

“Nak, segeralah bersiap-siap, supaya nanti tidak terlambat.” Perintah Ayahku.

“Baik, Yah. Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya dulu.” Jawabku menyanggupi perintah Ayah.

“Ayah tunggu di depan, ya…” Kata Ayahku kembali.

“Baik, Yah..” Jawabku sambil berlalu.
Aku segera mempersiapkan segalanya. Ijazah, buku rapot, sertifikat-sertifikat, Aku bawa dan kumasukkan ke dalam tas panggung kecil. Setelah meyakinkan semua sudah terbawa dan tidak ada yang tertinggal. Aku segera memohon restu pada Ibu dan segera menyusul Ayahku yang sudah menunggu di depan. Aku berangkat….

---***---

Pukul sepuluh kurang sepuluh menit Aku sampai. Aku segera turun dari mobil dan langsung masuk menuju ke area pendaftaran di SMA tersebut. Tanpa diduga sebelumnya, suasana sudah ramai sekali. Rupanya orang-orang mendaftar pada jam-jam awal, Sehingga antrean yang semenjak dari pagi tadi belum ada habisnya. Kusegerakan menuju loket pembelian formulir untuk membeli satu berkas formulir pendaftaran. Meski harus berdesak-desakan, akhirnya Aku berhasil membelinya juga. Segera ku menuju ke sebuah tempat untuk mengisi formulir itu. Di dalam formulir itu kuisikan segala macam data yang diperlukan, identitas diri, nilai, pilihan SMA, dan lain-lain. Semuanya kuiisi dengan teliti dan kuyakinkan tidak ada yang terlewat. Setelah selesai, Aku menyerahkannya pada petugas penerimaan dan Aku dipersilakan menunggu hasilnya di depan layar proyektor. Di layar proyektor, terlihat sekali ratusan deretan nama-nama calon siswa beserta nilai-nilai mereka. Aku terus berharap agar namaku masuk ke dalam deretan nama-nama itu.


Tepat pukul sepuluh, pembaruan data dilakukan, dan tanpa diduga…!. Namaku, Adi..!, Tercantum di deretan nama-nama calon siswa tersebut. Betapa gembiranya Aku melihat hal tersebut bahkan lebih gembira lagi ketika mengetahui Aku berada di urutan nomor sepuluh. Aku segera berlari menuju Ayahku yang sedari dari tadi hanya duduk-duduk di bangku taman sambil membaca koran. Ayahku terkejut.

“Bagaimana, Nak…?!!” Tanya Ayahku dengan sedikit agak berteriak.

“Masuk, Yah, nomor sepuluh…!” Jawabku senang.

“Alhamdulillah, Nak. Bersyukurlah pada Allah engkau telah berhasil mewujudkan impianmu!” Kata Ayahku.

“Alhamdulillah, Aku sudah masuk…..” Kataku lirih.

Ayahku kemudian berkata lagi, “Sekarang bagaimana, Nak? Kita pulang?”

“Maaf, Yah.. Tapi Aku di sini masih mempunyai satu urusan lagi dengan temanku SMP, Yah…” Kataku sambil memohon.

“Baiklah, tapi pulang jangan sore-sore, dan hati-hati di jalan. Janji?” Kata Ayahku memberikan syarat.

“Janji, Yah…” Jawabku.

“Baiklah, Ayah ke kantor lagi ya. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan” Kata Ayahku sambil berlalu dari hadapanku.

“Baik, Yah….” Teriakku pada Ayah.

Kini satu urusanku telah selesai. Namun Aku masih harus menyelesaikan satu urusan yang lain. Yakni urusanku dengan Echa..

---***---

Sekitar sepuluh menit Aku menunggu dan dia tidak terlihat di SMA tempatku mendaftar. Akhirnya Akupun merasa bosan dan kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar mengitari area SMA itu yang begitu luasnya. Kupandangi sekelilingnya, ada laboratorium bahasa, laboratorium fisika, sungguh lengkap sekolah ini. Akhirnya, kuhitung tibalah ini kesepuluh kalinya aku mengitari sekolah. Dan ketika aku melintasi depan gerbang dalam sekolah, Sesosok perempuan remaja, yang tak asing bagiku berdiri di depan gerbang utama sekolah. Selama sepuluh detik kuperhatikan, dia hanya menoleh ke kanan, kiri, dan sepertinya dia mencari-cari diriku. Benar adanya!. Ketika dia tepat menoleh ke arahku, dia menatapku tajam. Aku segera mundur dan berjalan menjauh dari gerbang untuk menghindarinya. Dia mulai mengejar dan terus mengejar. Hingga akhirnya Akupun merasa sangat lelah. Tepat ketika Aku tiba di salah satu bagian sekolah ini yang agak lumayan sepi, Aku menghentikan langkahku dan membalikkan tubuhku. Dia sudah berada di hadapanku.

“Apa….?!!!!” Teriakku padanya.

Dia mulai menunduk dan menitikkan air mata.

“Tak usah pura-pura menangis!” Sekali lagi Aku berteriak padanya.

“Aku tidak berpura-pura, Adi…!” Teriaknya padaku sambil menangis.

“Jika Engkau tidak berpura-pura, lantas Apa?!!!” Tanyaku sekali lagi.

“Aku salah!, Aku salah!, Puas kau Adi?!!” Teriaknya sekali lagi padaku sambil menangis.

“Aku terhenyak mendengar apa yang ia katakan padaku. Aku tak tega melihatnya menangis di hadapanku. Aku berusaha melunak…

“Echa, Mengapa kamu ingin bertemu dengankun?” tanyaku padanya.

“Aku ingin bertemu denganmu, karena Aku ingin mengkui sesuatu padamu, Adi..” Jelasnya singkat.

“Mengakui apa, Cha…?” tanyaku sekali lagi

“Aku ingin mengakui jika selama ini Aku telah salah menilaimu, Adi. Dan membuatku lari dengan laki-laki lain yang ternyata dia hanya pembohong berat…!” katanya sambil terisak-isak.

“Dan, sekarang kamu ingin bagaimana?” tanyaku padanya.

“Aku ingin kembali padamu, Adi!, Aku salah dan Aku masih mencintaimu, Adi…!” Jawabnya.

“Kembali padaku?” tanyaku seolah tak percaya dengan apa yang dia katakan.

“Ya!. Aku ingin kembali bersamamu!, Aku salah! Hukum Aku!. Lakukan apa saja kepadaku! Aku rela, demi untuk membuktikan betapa masih cintanya Aku padamu, Adi..!” Katanya memohon.

Aku terdiam sejenak. Aku pun mulai mendekat kepadanya. Dengan ujung jariku, kusingkapkan sebagian rambutnya yang menutupi wajahnya dan kuusap air matanya. Aku mengangkat wajahnya selama beberapa saat aku memandanginya. Akhirnya Akupun berkata:

“Sudah, Cha jangan menangis lagi. Aku masih dapat mempercayaimu sampai sekarang.”

Begitu mendengar apa yang Aku ucapkan kepadanya, Dia kembali tertunduk, menangis sembari memeluk tubuhku dengan erat. Ia sandarkan kepalanya pada bahuku. Kuusap-usap rambutnya, kubelai, dan ia tampak merasa nyaman sekali berada di dekapanku.

“Adi, kau mau memaafkan dan menerimaku kembali ke hadapanmu?” Tanyanya padaku lirih.

“Iya, Echa… udah jangan nangis lagi dong… masih kaya anak kecil aja…” Jawabku sambil ku berusaha untuk menghiburnya. Ia tersenyum, dan ia mengusap air matanya dengan tangannya sendiri. Kini wajahnya tampak lebih cerah sebelum dia datang padaku. Dia tersenyum kepadaku, dan berkata:

“Aku tidak lebih dari seorang pengkhianat, namun, di dunia ini, hanya kamu, Adi, yang mau menerima seorang pengkhianat kembali.”

“Sudahlah, Echa, tak usah kamu pikirkan lagi. Yang penting sekarang kamu
jangan sedih lagi ya..” pintaku kepadanya

“He.eh…” jawabnya singkat.

Akhirnya Aku dan Echa pun kembali menjalin tali cinta setelah melalui sebuah pertemuan yang tak terduga ini. Sungguhpun ini adalah hari yang paling bersejarah bagiku. Sepuluh Juni dua ribu dua belas. Hari dimana aku diterima sebagai siswa baru di sebuah SMA negeri di kota dengan nomor urut sepuluh. Dan juga hari dimana Aku menerima Echa, mantan pacarku kembali padaku. Hari yang akan Aku ingat selalu dimana angka sepuluh, benar-benar menjadi angka keberuntunganku.

-----*****-----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Aku Pulang Kuliah

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR