TUJUH PULUH DERAJAT


TUJUH PULUH DERAJAT

Oleh : M. Irfan Luthfi

(Cerita Fiksi-Sains)

Apabila di dalam karya fiksi ini terdapat kesanamaan tempat, nama, dan sebagainya tak lain dan tak bukan itu hanyalah unsur kesengajaan.



CHAPTER 1
Mengapa Gelap?

05:00 AM
            Jam weker berdering menandakan pukul lima pagi. Seketika sebuah sekeluarga di pondok kecil di Guatemala terbangun. Mereka terbangun dalam keadaan menggigil kedinginan. Bagaimana mungkin, sebuah negara tropis dapat berubah seratus delapan puluh derajat dari suhu normalnya. Keluarga itu pun segera mencari pakaian tebal untuk melindungi dan menghangatkan tubuh. Setelah mendapatkan pakaian yang mereka cari, mereka segera keluar dari pondok untuk mengetahui kejadian apakah yang sebenarnya terjadi. Ketika mereka keluar, betapa terkejutnya mereka. Sebuah kejadian yang luar biasa dan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Awan hitam besar yang menutupi matahari. Itu bukan awan biasa, namun lebih menyerupai asap yang sangat tebal. Bahkan teramat tebal.  Kejadian ini membuat dunia mereka gelap. Seperti tak ada siang. Bak neraka, di atas kepala hanya terdapat asapa hitam pekat yang menutupi sinar matahari. Kontras dari apa yang terjadi kemarin siang, ketika suasana masih sangat terang benderang, namun telah terjadi rekor suhu terpanas di tempat itu. Yakni tujuh puluh derajat celcius. Bagaimana mungkin suhu dapat berubah dengan sangat cepat, bahkan dalam hitungan jam.
            Di belahan bumi yang lain, di Amerika Serikat justru mengalami suhu yang teramat ekstrim. Meskipun saat itu baru menjelang malam. Suhu yang ekstrim ini membuat freon mesin – mesin pendingin di berbagai kantor menguap dan menambah parah keadaan. Terlebih lagi, aktivitas produksi yang tidak dihentikan. Sehingga, karena begitu panasnya, suhu di reaktor – reaktor pembangkit bertenaga nuklir tidak dapat dipertahankan. Keadaan mulai tidak terkendali ketika salah satu reaktor bocor dan produksi listrik harus dihentikan agar radiasi tidak meluas. Seketika, seluruh reaktor dihentikan aktivitasnya. Tidak beroperasi. Jelas, media ketergantungan hanya tinggal pada air. Namun pembangkit bertenaga air ini jelas tidak mencukupkan seluruh daya yang dibutuhkan. Akibatnya, ketika sistem terakhir ini dipaksakan, mesin pembangkit yang memiliki batas itu pun berhenti beroperasi. Akibatnya listrik pun benar – benar mati total. Lebih lanjut, tanki – tanki penyedia bahan bakar juga harus diamankan, karena begitu tinggi suhu yang ada, uap yang dihasilkan dari bahan bakar yang disimpan dalam tanki – tanki itu pun menguap dan dapat meledakkan tanki kapan saja. Hal ini pun berimbas pada alat – alat transportasi yang ada. Pesawat tidak diizinkan untuk lepas landas, bus – bus berhenti beroperasi, dan kereta bawah tanah juga berhenti beroperasi. Seketika Amerika Serikat saat itu juga mengalam kelumpuhan total.
            Di lain tempat, Rusia, mengalami musim dingin yang hebat. Badai salju tak ada henti – hentinya. Sama halnya dengan Amerika Serikat, sistem jaringan listrik juga mengalami kelumpuhan. Di Negara Jepang, ketebalan salju mencapai lima meter. Paling parah terjadi negara Kanada dan beberapa negara di Eropa yang seluruhnya wilayahnya hampir tertutup salju. Seperti tidak ada tanda – tanda kehidupan. Semua gelap, listrik pun tidak ditemukan di mana – mana. Semua pencahayaan hanya memakai penerangan sederhana. Serta satu – satunya alat komunikasi yang yang berfungsi adalah Radio Marconi. Karena radio ini hanya menggunakan listrik kecil, sehingga dapat diaktifkan dengan mengunakan baterai. Tidak ada lampu yang menyala di malam itu. Tidak ada suara televisi yang memecah kesunyian malam, yang ada hanyalah suara – suara aneh dan asing. Suara itu berasal dari atas langit. Suara itu bukan pratanda akan turun hujan, namun sesuatu hal yang lain. Semua manusia pada malam itu sangat takut.

-----*****-----

            Fujimoto Mushasi, seorang pengawas cuaca di daerah Jepang, sangat sibuk malam itu. Ia menerima banyak telegram dari berbagai belahan bumi. Ada satu berita yang membuat ia sangat tertarik. Berita ini terkait dengan keadaan es di kutub utara dan kutub selatan yang menghilang. Berita ini diterima dari dua unit kapal yang sedang menyeberangi kutub utara dan kutub selatan. Kapal – kapal itu adalah “Golden Marie” dan “S.S. Rubika”. Keduanya mengirim pesan dengan kode pesan yang sama namun dengan isi yang berbeda. “Golden Marie” memberitakan bahwa kutub utara telah hilang. Sedangkan “S.S. Rubika” memberitakan bahwa kutub selatan menghilang. Pesan ini terlambat lima jam sampai di Jepang. Di dalam berita itu keduanya tertulis dikirimkan tengah malam waktu Jepang dan Fujimoto baru membacanya pada pukul lima pagi waktu Jepang.
            “Terlambat” kata Fujimoto dalam hati.
            Ia segera pergi ke salah satu pantai di dekat dengan kantornya. Benar saja! Pantai telah lenyap. Permukaan air laut sudah naik seratus meter lebih tinggi dari tinggi normalnya. Daerah pesisir, dan beberapa desa telah lenyap. Yang ada terlihat hanyalah penduduk lokal yang mulai membangun tempat pengungsian yang aman. Fujimoto sangat terkejut, bagaimana mungkin dunia dapat berubah hanya dalam hitungan jam.
            Di lain tempat di Jepang, Fujimoto banyak menerima laporan bahwa akan terjadi topan yang paling kuat sepanjang sejarah pertopanan Jepang. Hal itu terlihat dari salah satu monitor pemantau cuaca yang memperlihatkan bahwa topan sebesar bahkan melebihi F5 sedang terbentuk di barat daya Jepang. Kontan saja, Fujimoto segera melarikan mobilnya menuju pusat tanggap bencana. Di sana ia langsung menemui penjaga alarm dan segera memberi tahu apa yang akan terjadi. Petugas itu pun langsung menuju ke ruang kendali dan menekan tombol alarm peringatan topan. Seluruh Jepang mendengarkan alarm itu dan terjadilah kepanikan dan keributan. Kepanikan untuk mencari bunker yang aman. Pagi itu, suasana di Jepang yang semula penuh dengan kepanikan dan keributan berubah menjadi sangat sepi.
            Kembali ke Amerika, setelah dilanda panas dan gelap secara berlebihan, layar monitor pada pusat cuaca menunjukkan akan ada badai es yang akan melanda seluruh wilayah di Amerika. Namun, anehnya tidak ada kepanikan pada waktu itu, karena warga tetap beraktivitas seperti biasa. Bahkan sampai adanya berita pemberitahuan di televisi, tidak ada warga yang mempedulikannya. Semuanya masih dan mulai menjalankan aktivitas bisnis mereka. Tidak ada yang mengetahui seberapa besar bencana yang akan mereka hadapi. Bencana sedang menghadang, dunia panik apa yang akan mereka perbuat.

-----*****-----

08:00 AM
            Pukul delapan pagi, orang – orang Amerika masih menjalankan aktivitas bisnisnya. Bahkan yang lebih parah lagi, kebanyakan orang – orang itu masih berada di jalanan. Ada yang terjebak dengan kemacetan, ada yang sedang melakukan survei lapangan, menjajakan makanan, dan lain sebagainya. Di antara sekian orang – orang Amerika yang melakukan aktifitasnya di jalan, ialah Harris Harrison. Ia sering dipanggil Harri. Ia bekerja untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada bagian divisi klimatologi. Pagi ini, Ia sedang melakukan survei lapangan di jalanan New York. Harris sedang berusaha mencari tahu penyebab suhu panas yang berlebihan dan apa dampaknya di kemudian hari. Tak tanggung – tanggung, Ia memberhentikan setidaknya sepuluh kendaraan umum berbagai jenis untuk melakukan uji emisi. Meskipun mendapat cercaan dari orang – orang, Ia tetap melakukan pekerjaan ini guna mendapatkan sampel yang siap untuk diuji di laboratorium. Setelah mendapatkan cukup sampel, Ia kemudian memasukkannya ke dalam sebuah wadah khusus yang sudah dipersiapkan untuk menyimpan sampel – sampel ini. Kemudian Ia taruh wadah itu ke dalam bagasi mobilnya dan bersiap untuk pergi meninggal tempat itu. Sekali lagi, sebelum ia pergi, Ia kembali melakukan cek ulang suhu di tempat ia melakukan survei. Hasilnya sungguh mengejutkan, suhu di termometer standarnya menunjukkan angka enam puluh sembilan derajat celcius. Ia tidak percaya dengan hasil yang ditampilkan oleh termometer itu. Kemudian ia menggoyangkan termometer itu, dan melakukan cek ulang suhu kembali. Hingga tiga kali dilakukan pengecekan, hasilnya tetap sama. Suhu di hari itu, mencapai enam puluh sembilan derajat celcius. Setelah mendapatkan kepastian hasil pengukuran suhu itu, Harris pun kemudian mencatatkannya ke dalam buku. Ia memperhatikan catatan – catatan sebelumnya. Pada hari pertama ia melakukan survei di sini, suhu menunjukkan angka dua puluh lima derajat celcius. Pada hari kedua, suhu menunjukkan angka empat puluh derajat celcius. Pada hari ketika, suhu meningkat lagi menjadi lima puluh derajat celcius. Terakhir, pada hari ini suhu menunjukkan angka enam puluh sembilan derajat celcius. Harris pun berpikir, bagaimana hal ini bisa terjadi dan menurutnya cukup mustahil terjadi peningkatan suhu begitu cepat dalam kurun waktu kurang dari seminggu. Selama perjalanannya ke laboratorium, pikirannya tidak tenang. Ia merasa ada sesuatu hal yang akan terjadi, namun Ia belum tahu apa.
            Perjalanan menuju ke laboratorium memakan waktu satu jam lamanya. Selama perjalanan itu, Harris merasa sangat menderita. Suhu yang begitu panas, membuat keadaan di dalam kabin mobilnya begitu pengap dan suhu dingin dari Air Conditionernya tidak dapat berfungsi maksimal. Meski hanya satu jam perjalanan saja, namun ini sangat melelahkan bagi Harris. Karena cuaca hari ini, sangat panas.  Setibanya di laboratorium, Ia segera memakirkan mobilnya. Ia segera mengambil sampel – sampel yang telah ia kumpulkan tadi dan bergegas menuju ke dalam laboratorium untuk melakukan penelitian darurat. Ia segera menuju ke ruangannya dan langsung menyalakan komputer yang biasa ia gunakan untuk menganalisi data – data hasil survei. Setelah komputer siap digunakan, ia segera memasukkan data – data yang ia simpan. Satu – satu persatu data ia masukkan dengan teliti. Sering pula ia mengulangi kembali dan mencocokkan data – data yang sudah ia masukkan dengan data – data yang masih tertulis di atas kertas. Barulah, setelah Ia yakin data – data di antara keduanya cocok, Ia menekan tombol Enter. Proses analisa dimulai, dan pada layar komputer tertera tulisan “Estimating time: 5 hours 14 minutes 56 seconds remaining”. Melihat waktu analisis yang dibutuhkan sangat lama, akhirnya Harris pun memutuskan untuk mencoba beristirahat sejenak.
            Lima jam berlalu, akhirnya proses analisis yang dilakukan oleh komputer selesai dilakukan. Namun Harris belum terbangun juga dari istirahatnya, dan tidak mengetahui jika komputer sudah selesai melakukan analisis terhadap data – data yang telah Harris masukkan. Harris pun terbangun setelah salah satu staf nya membangunkan dirinya dan memberitahukan bahwa ada sesuatu yang muncul dari layar komputer Harris. Harris segera terbangun dan menuju ke mejanya kembali untuk melihat hasil yang ditampilkan oleh komputer. Betapa terkejutnya ia melihat hasil dan simulasi yang ditampilkan. Berdasarkan dari data – data yang ia peroleh selama ini, hasil analisis menyatakan bahwa dalam beberapa jam ke depan, bumi akan mengalam gejolak dan bencana alam yang dahsyat akan terjadi. Harris segera mencoba menghubungi pusat pengendalian bencana, dan beruntung sekali tidak membutuhkan waktu lama, salah seorang dari pusat itu menjawan panggilan Harris. Tanpa pikir panjang lagi, Harris segera memberitahukan apa yang sedang ia lihat sekarang. Pada awal mulanya, salah seorang dari pusat itu tidak percaya. Namun setelah melihat beberapa data yang Harris kirimkan, orang itu baru percaya dan segera melakukan tindakan.
            Tindakan pertama yang dilakukan oleh pusat pengendalian bencana itu adalah mencoba untuk menghubungi kepresidenan. Sialnya, ketika dihubungi, preseiden sedang tidak ada di tempat. Presiden sedang berada di Uruguay. Sehingga, presiden tidak dapat memberikan perintah langsung untuk menindaklanjuti laporan dari pusat pengendalian bencana. Presiden yang saat dihubungi sedang melakukan sebuah pertemuan, langsung memerintahkan pihak militer untuk melakukan evakuasi terhadap penduduk sipil tanpa menginformasikannya kepada publik terlebih dahulu. Akibatnya, banyak penduduk sipil yang tidak percaya akan berita tersebut dan tidak mau dipindahkan oleh militer ke tempat evakuasi yang telah disiapkan.

-----*****-----

13:30 AM
            Sementara Harris dan petugas pihak pengendalian bencana kebingungan, di Jepang seluruh penduduk sipil sudah siap menghadapi bencana terburuk yang yang pernah ada. Mereka semua telah siap dan berlindung di dalam bunker mereka masing – masing. Bahkan air, listrik, bahan makanan, dan obat – obatan telah tersedia cukup untuk waktu kurang lebih satu tahun. Di antara banyaknya penduduk sipil yang sudah siap itu, hanya ada satu yang belum menyelamatkan diri. Dan Ialah Fujimoto. Ia masih berkendara dengan mobilnya untuk memperingatkan orang – orang agar segera masuk ke dalam bunker dan menguncinya rapat – rapat. Ia tidak memikirkan jiwanya sendiri, sampai – sampai salah seorang dari kantor tempat Fujimoto bekerja berulangkali mengingatkan dirinya bahwa topan semakin dekat. Namun, Ia tidak menggubris peringatan itu. Ia terus berkendara, hingga suatu ketika, di saat ia sedang berkendara, Ia mendengar suara gemuruh yang datang dari arah utara. Ia melongok keluar jendela dan terasa sekali angin yang bertiup dengan kencangnya. Instingnya bekerja. Ia tahu, bahwa topan telah sangat dekat. Ia pun segera memutar mobilnya dan memacunya untuk mencari tempat perlindungan yang aman. Sepanjang jalan yang ia lalui, ia tidak melihat satu pun bunker. Akhirnya, ia pun menemukan satu tempat yang menurutnya aman. Ialah stasiun kereta bawah tanah. Letaknya cukup dalam, sekitar sepuluh meter di bawah permukaan tanah. Ia segera masuk ke dalam stasiun itu dan mencari tempat yang aman untuk berlindung. Tidak sampai sepuluh menit setelah ia berlindung di dalam stasiun kereta bawah tanah itu, gemuruh yang ia dengar tadi terdengar makin dekat. Semakin dekat.., semakin dekat.., dan tiba – tiba stasiun kereta bawah tanah yang semula terang benderang menjadi sangat gelap. Fujimoto segera mengeluarkan sebuah senter kecil dari dalam saku celananya dan menghidupkannya. Ia sorot cahaya yang keluar dari senternya ke segala arah untuk melihat keadaan yang terjadi. Tetap saja, tidak terlihat. Karena suasana sangat gelap dan sangat bergemuruh. Fujimoto yang kala itu sedang terduduk kemudian merasa ada seperti angin yang bertiup dari atas. Ia segera mengarahkan cahaya senternya ke atas dan menemukan ada sebuah lubang sirkulasi udara yang menganga. Dari tempat ia berada, terlihat sekali aliran angin yang berhembus sedemikian kencangnya. Karena begitu penasaran ia kemudian mengambil sebuah Handy Talkie dan mencoba menghubungi orang – orang yang kini berlindung di bunker kantornya. Namun sepertinya usaha yang ia lakukan sia – sia. Sinyal radio tidak dapat menembus angin yang sedemikian cepatnya. Beberapa kali ia mencoba tetap saja gagal, dan hanya terdengar suara saluran radio kosong.
            Ketika Ia mencoba berkomunikasi dengan menggunakan Handy Talkie miliknya, untuk yang kedua kalinya, terdengar suara bergemuruh. Suara ini, kali ini lebih keras dari yang pertama tadi. Fujimoto tidak mengetahui apa yang akan terjadi lagi. Ia kemudian kembali ke tempat yang aman tadi dan menunduk untuk berlindung. Benar saja, datang angin topan yang kedua. Dan tampaknya kali ini lebih besar dari yang pertama. Karena tiupan angin yang masuk melalui lubang sirkulasi udara lebih besar dan lebih dingin dari yang pertama. Kali ini pun lebih menakutkan dari yang pertama. Tiupan angin yang kedua ini dibarengi dengan getaran – getara halus layaknya gempa bumi kecil. Hal ini menandakan bahwa angin yang bertiup di atas sana sangat besar dan sangat hebat. Kala itu, Fujimoto hanya dapat berlindung dan berdoa, agar semua baik – baik saja dan dapat segera berakhir.
            Ditengah – tengah suasana yang sangat menakutkan itu, terdengar beberapa ketukan dari Handy Talkie yang Fujimoto bawa. Untuk pertama kali, Ia tidak menghiraukanya. Namun, ketika ketukan itu terus menerus dilakukan, Fujimoto mulai penasaran. Kemudian Ia mengambil Handy Talkie tersebut dan mencoba mendengarkan ketukan – ketukan itu. Ketukan – ketukan itu tampak jelas dan teratur. Sekitar lima belas menit Ia mendengarkan ketukan – ketukan itu dan mencoba memahaminya. Akhirnya Ia baru menyadari. Ternyata ketukan – ketukan itu adalah sebuah kode morse yang dikirimkan dengan memanfaatkan gelombang radio kosong. Fujimoto pun segera melihat frekuensi gelombang radio itu. Ia melihat, bahwa ketika itu frekuensi adalah tepat pada frekuensi radio di kantornya. Tanpa pikir panjang lagi, Fujimoto segera membalas pesan dalam kode morse itu tadi. Ia juga menggunakan kode morse untuk membalasnya. Dan dalam waktu singkat, mereka saling berkomunikasi dengan menggunakan kode morse tersebut.
            #1 “Di sini Fujimoto koma dalam keadaan selamat”
            #2 “Di sini pusat koma kami juga dalam keadaan selamat”
            #3 “Baik koma bagaimana laporan mengenai topan ini”
            #4 “Topan ini koma sungguh luar biasa”
            #5 “Berapa kecepatan yang tercatat”
            #6 “Kecepatan maksimum yang tercatat koma paling besar tujuh ratus lima puluh kilo”
            #7 “Catat kecepatan itu dan masukkan dalam log koma saya akan keluar”
            #8 “Baik koma kami tunggu anda di bunker pusat”
            #9 “Saya akan berusaha ke sana titik habis”
            Sungguh mengejutkan, dari percakapan singkat tadi kecepatan angin topan yang tercatat adalah mencapai tujuh ratus lima puluh kilometer per jam. Fujimoto pun terduduk lesu, tidak dapat membayangkan bagaimana keadaan di atas jika Ia keluar dari tempat ini nanti. Pastilah seluruhnya sudah rata dengan tanah. Ia benar – benar merasa bahwa ini di luar kendalinya. Sebuah topan paling dahsyat sedang terjadi di Jepang. Hari ini. Ia tidak percaya akan hal itu, dan terus berdoa semoga dirinya baik – baik saja hingga topan selesai.
            Sekitar sepuluh menit, suara angin yang begitu mengerikan itu didengar oleh Fujimoto. Namun pada menit – menit terakhir, suara angin itu makin lama makin menghilang. Hingga akhirnya, pada menit kedua puluh sejak serangan topan pertama dimulai, suara angin itu benar – benar menghilang. Fujimoto segera menghidupkan senternya kembali dan menyorotkan cahayanya ke segala sudut. Tampak masih baik – baik saja dan tidak terlihat ada kerusakan sedikitpun. Kemudian ia mencoba menyorotkannya ke atas. Kali ini, bukan aliran angin yang ia dapatkan, melainkan sebuah cahaya yang cukup terang masuk ke dalam stasiun kereta bawah tanah itu melalui saluran ventilasi tadi. Fujimoto merasa bahwa serangan topan sudah selesai. Ia memutuskan untuk mencoba keluar dari tempatnya berlindung untuk melihat keadaan. Dengan perlahan ia melangkahkan kaki menuju tangga yang akan membawanya ke permukaan. Satu persatu anak tangga ia tapaki. Hingga akhirnya, ketika ia sampai di permukaan, sebuah pemandangan miris tersaji di hadapannya. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat sisa – sisa bangunan, gedung, kantor, rumah sakit. Satu pun gedung yang utuh tidak ada. Bahkan peradaban – peradaban yang ada juga ikut hancur dibawa oleh angin topan yang bertiup sangat dasyat tadi. Fujimoto hanya menggelengkan kepala. Ia tidak mampu menaksir berapa kerugian yang ditaksir akibat bencana ini. Meski sudah dihitung dengan menggunakan alat bantu hitung pun, tak dapat menemukan hasil yang pasti kerugian dari bencana ini. Ia terus memandang sekelilingnya. Yang tampak kini, Jepang hanyalah seperti sebuah lapangan yang sangat luas. Lapangan yang berwarna abu -  abu penuh dengan sisa – sisa bangunan yang hancur.
            Tak berlama – lama Fujimoto berdiri di pintu stasiun kereta bawah tanah tadi. Kemudian Ia mencoba berjalan menuju bunker kantornya berada. Dengan hanya bermodalkan GPS kecil yang selalu ia bawa kemana – mana, Ia mencoba menemukan letak bunker tersebut. Ia berjalan kaki melewati sela – sela reruntuhan bangunan. Jalan – jalan yang semula tampak, kini tak tampak sama sekali. Sehingga Ia hanya berjalan lurus saja sesuai dengan arah yang ditunjukkan oleh GPSnya. Hingga akhirnya, sebuah bunyi terdengar. Bunyi yang khas, jika posisi koordinat yang dituju GPS sudah tepat. Ini artinya, Fujimoto sudah sampai pada tempat yang dituju. Ia segera menutup GPSnya dan memasukkan nya kembali ke dalam kantong. Ia melihat sekeliling. Sama halnya dengan gedung yang lain, kantornya pun sudah luluh lantak. Tak ada yang tersisa. Bunker yang biasanya untuk memiliki pintu masuk di atas permukaan tanah, kini tidak terlihat lagi. Yang terlihat hanyalah pintu masuk yang ada di bawah permukaan tanah. Tanpa membuang waktu lagi, Fujimoto segera mendatangi pintu itu dan mencoba mengetuknya. Ia berharap masih ada yang selamat dalam bunker tersebut.
            Ketukan pertama tidak mendapatkan respon. Ia pun mencoba untuk mengetuknya kembali. Namun tidak ada respon. Hingga tiga kali ia mencoba, tetap tidak ada respon. Hingga akhirnya ia teringat pada Handy Talkie  yang ia bawa. Ia pun segera menyalakannya dan mencoba berkomunikasi dengan orang yang ada di dalam bunker.
            #1 “Pusat masuk pusat masuk, di sini Fujimoto berada di depan bunker, ganti”
            #2 “Di sini pusat, kami berada di dalam, akan segera kami buka pintu bunker, ganti”
            #3 “Baik, saya tunggu, ganti”
            #4 “Baik, saya keluar”
            Akhirnya, pintu bunker pun terbuka. Tampak dari dalam, seorang staff Fujimoto membawa sebuah senter dan Handy Talkie. Fujimoto yang masih berada di luar bunker itu pun tertegun. Bersyukur sekali semua staff nya dapat selamat dari bencana yang sangat mendadak tersebut. Tanpa menunggu lagi, Fujimoto segera masuk ke dalam bunker dan mencoba melakukan koordinasi dengan staff lainnya yang ada di dalam ruang kontrol. Ia menanyakan beberapa perihal mengenai bencana yang baru saja terjadi. Seorang staff mencoba menjelaskan semuanya kepada Fujimoto. Ia mencoba memahami setiap penjelasan yang dijelaskan. Di saat Ia mencoba memahami penjelasan mengenai kejadian topan itu, tiba – tiba indikator tsunami berkedip. Indikator ini hanya berkedip jika dideteksi ada gelombang besar yang menyerupai kriteria tsunami mendekat ke arah Jepang dalam radius seratus dua puluh kilometer. Fujimoto terkejut dibuatnya melihat berkedipnya indikator tersebut. Ia segera menuju ke komputer analisator untuk menganalisa gelombang besar yang akan tiba di Jepang tersebut. Sama halnya dengan sebelumnya, komputer membutuhkan waktu beberapa saat untuk menganalisa kedipan tersebut. Fujimoto yang sudah tidak sabar, mencoba untuk berkomunikasi dengan bunker pengawas pantai. Ia ingin mengetahui bagaimana keadaan lautan.
            Sekali lagi Ia terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh salah seorang pengawas pantai. Sebuah gelombang besar tampak terbentuk sekitar seratus dua puluh kilometer di arah barat daya Jepang. Ia segera membuka sebuah alat yang mempu memprediksikan luasan wilayah yang dapat terkena tsunami tersebut. Beberapa deret angka yang mustahil tampak di layar alat tersebut. Deretan angka – angka itu lebih besar daripada deretan angka – angka luas wilayah Jepang. Fujimoto terkejut setengah mati dan tidak mampu bergerak selama beberapa saat. Jika angka – angka yang ditunjukkan itu benar, berarti Jepang akan tenggelam seluruhnya dan tidak ada yang tersisa. Ia pun segera membalikkan badannya dan berkata kepada seluruh staffnya, bahwa tidak lama lagi Jepang akan tenggelam. Benar – benar tenggelam, dan tidak ada yang tersisa. Ia berkata bahwa kemungkinan kecil untuk dirinya dan staff – staffnya untuk dapat bertahan hidup dari serangan tsunami yang paling dasyat yang pernah melanda Jepang. Ia pun berkata sekali lagi bahwa kemungkinan waktu – waktu terakhirnya, staf – stafnya untuk merasakan hidup. Meski sulit dipercaya, namun inilah yang akan terjadi. Mereka hanya mampu berdoa agar dapat selamat dan dapat melalui semua bencana yang melanda Jepang saat ini. Hal – hal terakhir yang Fujimoto lakukan adalah, menyebarkan pesan – pesan darurat meminta pertolongan ke seluruh dunia...

-----*****-----
            Pada waktu yang sama, Amerika serikat juga dilanda kepanikan yang sangat luar biasa. Beberapa hasil analisa dari komputer memberitahukan bahwa bencana – bencana besar baru akan mereka hadapi. Harris menjadi lebih panik lagi, setelah menerima dua pesan dari Jepang yang isinya mengenai keadaan di Jepang dan situasinya saat ini. Harris harus segera meyakinkan masyarakat mengenai bencana yang akan terjadi. Tanpa membuang waktu, Harris segera menghubungi presiden kembali agar melakukan siaran darurat. Namun tanggapan yang diterimanya membuat Harris benar – benar marah. Kata – kata “hal itu biasa terjadi” yang didengarnya dari pembicaraan presiden membuatnya benar – benar sangat marah. Harris pun segera memerintahkan untuk seluruh anak buahnya berhenti bekerja. Seketika, sekitar tiga ratus staff dan karyawan tempat Harris bekerja menghentikan pekerjaannya. Setelah semua menghentikan pekerjaannya, barulah Harris melanjutkan pembicaraannya. Kali ini, Ia menyuruh seluruh staffnya agar segera menghubungi keluarga masing – masing agar segera menyelamatkan diri dan berlindung di dalam bunker kantor yang dapat menampung sekitar sebelas ribu orang. Suasana menjadi kacau, semua staff dan karyawan berusaha menghubungi keluarga mereka masing – masing agar segera mengungsi ke kantor untuk berlindung di dalam bunker. Memang tak mudah, banyak dari staf dan karyawan itu hampir putus asa, namun akhirnya mereka berhasil juga meyakinkan keluarga mereka untuk segera mengungsi.
            Sementara proses penyelamatan diri itu berlangsung, Harris segera berkonsolidasi dengan seluruh pengamat cuaca di seluruh wilayah Amerika Serikat. Ia terus menjalin komunikasi untuk mendapatkan hasil pengamatan cuaca dari tiap wilayah. Salah satunya dari wilayah Arizona. Laporan dari pengamat cuaca di sana mengatakan bahwa peningkatan suhu yang sangat signifikan terjadi di sana. Catatan suhu menyebutkan, suhu pada pagi hari tadi adalah lima belas derajat Fahrenheit. Namun siang ini sudah mencapai dua ratus derajat Fahrenheit, hampir mendekati titik didih. Mendengar hal yang sedemikian parahnya membuat insting Harris bekerja. Ia merasa harus menghubungi salah satu kapal cuaca yang sedang beroperasi. Ia mencoba menghubungi U.S.S. San Diego, salah satu kapal cuaca terkuat yang pernah ada di dunia. Beruntung sekali, kapal itu sedang beroperasi dan saat ini sedang ada di tengah Samudera Pasifik. Harris mengenal baik kapten kapal itu. Ialah Robert, teman seperjuangan Harris di bagian klimatologi. Harris pun langsung mengutarakan keinginannya agar Robert segera merapat ke Port Mayne, salah satu port kapal yang dekat dengan bunker kantor. Robert menerima panggilan Harris dan berusaha mencapai Port Mayne dalam waktu kurang lebih dua puluh jam. Harris mengiyakan saja, bahkan ia tidak tahu bagaimana keadaannya dua puluh jam ke depan melihat situasinya seperti ini.
            Setelah terjadi komunikasi singkat antara Harris dan Robert, Ia pun segera memerintahkan anak buahnya dan keluarga yang dibawanya untuk segera masuk ke dalam bunker khusus yang sudah disiapkan. Bunker itu dilengkapi dengan sistem pendingin udara tercanggih yang pernah ada. Bunker itu pula sangat lengkap media komunikasinya, bahkan memiliki satu set kontrol satelit milik Badan Departemen Pertahanan Amerika khususunya bidang Klimatologi, yakni Cray-1. Satelit ini hanya dikendalikan jika situasi yang benar – benar darurat terjadi. Sehingga keadaan di permukaan bumi dapat dipantau seluruhnya lewat satelit ini. Harris dan seluruh anak buahnya kini hanya dapat berdoa, semoga mereka baik – baik saja dalam waktu dua puluh jam ke depan.
-----*****-----
            Setelah mendapatkan berita dari Harris, Robert, kapten U.S.S San Diego berusaha mencapai Port Mayne dengan kecepatan tinggi. Robert mengerti keadaan U.S.S San Diego, meski sudah berusia lebih dari dua puluh tahun, namun kekuatannya masih dapat diandalkan. Hanya saja mesin yang kadang masih menjadi kendala. Karena usia mesin yang sudah cukup tua, jika dipaksakan sedikit saja, mesin kadang rusak dan membutuhkan waktu tidak sedikit untuk memperbaikinya. Oleh karena itu, Robert pun memerintahkan kepada seluruh kru kapalnya, khususnya kru mesin agar tetap menjaga putaran mesin.
            Sementara kru sibuk menjaga putaran mesin, Robert kembali ke meja navigasinya untuk melihat keadaan cuaca di sekelilingnya. Ia memperhatikan grafik suhu. Ia ceroboh, dan tidak memperhatikan secara cermat perubahan temperatur air laut yang terjadi. Pagi hari, ia melihat temperatur air laut masih berada pada angka lima belas derajat Celcius. Namun kini hanya tinggal lima derajat Celcius. Robert kembali memberikan perintah kepada seluruh krunya untuk dapat mempercepat kapal. Robert berkata, bahwa kapal harus segera berlomba dengan kebekuan yang mengejar dari kedua kutub bumi. Kecepatan kapal sudah mencapai titik maksimum, yakni dua puluh lima knot. Robert segera memerintahkan kru mesin untuk memindahkan percepatan dari setengah menjadi satu. Perlu usaha yang sangat keras untuk memindahkan tuas percepatan dari setengah menjadi satu. Karena dalam kurun waktu sekitar lima tahun saja, percepatan satu jarang sekali digunakan. Bahkan dalam log, hanya tercatat dua kali kapal menggunakan percepatan satu. Akhirnya, setelah tiga orang bergabung, tuas percepatan pun dapat dipindahkan ke percepatan satu. Dan putaran mesin kapal menurun sedang kecepatan kapal dapat naik lebih dari dua puluh lima knot. Robert kembali memerintahkan krunya untuk melakukan sesuatu. Kali ini, Robert memerintahkan krunya untuk memeriksa keadaan radiator pendingin, engkol katup, dan rotor utama. Salah seorang krunya langsung keluar dari kabin dan turun ke ruang mesin. Setelah melakukan pemeriksaan secara cermat, kru tadi melaporkan kembali kepada Robert bahwa keadaan radiator pendingin, engkol katup, dan rotor utama baik – baik saja. Setelah memastikan semua baik – baik saja, Robert pun akhirnya memerintahkan juru kemudi kapal untuk menurunkan hydrofoil agar kapal dapat melaju lebih cepat. Dan kapal melaju dengan kecepatan empat puluh knot menuju Port Mayne.

-----*****-----

Next Day
            Setelah dua puluh jam perjalanan kapal yang melelahkan, kini Robert sudah dapat melihat tanah Amerika, walaupun hanya lewat lensa teropongnya. Kini Robert harus mengarahkan kapal ke arah Port Mayne. Ia pun memerintahkan juru kemudi untuk menggeser haluan kapal lima derajat ke arah selatan. Perintah yang diberikan Robert langsung dilaksanakan oleh juru kemudi, dan dalam waktu kurang dari lima menit, haluan kapal sudah bergeser lima belas derajat ke arah selatan. Kapal dengan mantapnya melaju menuju Port Mayne. Teropong tidak pernah lepas dari tangan Robert. Ia berharap dapat segera menemuka Port Mayne. Benarlah!, tidak berselang lama kemudian, Ia melihat  Port Mayne. Namun, Ia tidak memerintahkan juru kemudi untuk mempercepat laju kapal. Robert memerintahkan sebaliknya, kapal harus dihentikan, meski jarak masih ada sekitar sepuluh mil. Juru Kemudi pun hanya melaksanakan perintah Robert. Percepatan kapal diposisikan ke nol, dan jangkar pun diturunkan. Sedikit demi sedikit, kapal yang cukup besar itu pun bergerak pelan. Hingga akhirnya berhenti, tidak bergerak sama sekali. Setelah memastikan kapal benar – benar berhenti, Robert segera keluar dari kabin untuk menyaksikan pemandangan yang cukup membuatnya takjub. Di hadapannya, tampak kota – kota di sepanjang pesisir Amerika mulai terbakar hebat. Kesan Amerika berwarna merah pun muncul. Meski saat itu masih gelap, namun kenyataan yang terjadi, karena kebakaran hebat yang terjadi itu langit tampak berwarna merah menyala. Robert yang melihat hal tersebut merasakan ada hal yang tidak beres terjadi. Instingnya berkata bahwa temannya, Harris sedang dalam keadaan yang kritis. Tanpa membuang waktu lagi, Robert memerintahkan juru kemudi untuk menjalankan kapal kembali. Jangkar ditarik ke atas, dan perlahan kapal mulai bergerak mendekati Port Mayne.
            Sebelum bersandar di Port Mayne, Robert berusaha menghubungi Harris. Beberapa kali usaha yang dilakukan Robert belum membuahkan hasil. Hingga di usahanya ke sepuluh kalinya, Ia baru dapat mendapatkan respon dari Harris. Meski terputus – putus, namun Robert dapat berkomunikasi dengan Harris. Robert berusaha mendapatkan beberapa informasi mengenai keadaan Port Mayne. Harris berusaha menjelaskan sejelas – jelasnya dan informasi yang disampaikan Harris beberapa ada yang membuat Robert terkejut. Di antaranya, suhu tempat bersandar kapal yang mencapai sekitar tiga ratus lima puluh derajat Fahrenheit. Mendengar laporan – laporan yang begitu mengejutkan ini membuat Robert harus berpikir ulang sebelum merapatkan kapalnya. Kapalnya adalah kapal tua dan terkadang mesin pendingin di kapalnya rusak. Ia sempat berdiam diri di depan pagar anjungan selama kapal masih bergerak menuju Port Mayne. Akhirnya, setelah beberapa saat berdiam diri, Ia mendapatkan ide untuk memanfaatkan beberapa kantong mayat yang tahan panas. Selama ini, kapalnya memuat kurang lebih seratus kantong mayat dan belum ada yang digunakan satu pun. Sehingga Ia memiliki pemikiran, mungkin tidak apa – apa jika mengambil beberapa kantong untuk digunakan sebagai pelapis pada mesin pendingin kapal agar tidak mengalami over heat.
            Tidak membuang – buang waktu lagi, Robert pun segera memerintahkan kru kapalnya yang sedang tidak terlalu sibuk untuk mengambil beberapa kantong mayat di dek dasar. Suasana kapal kembali menjadi sangat sibuk. Terlebih lagi, ketika Port Mayne sudah begitu jelas di depan mata, dan terlihat sekali besi penambat yang berada di ujung tempat bersandarnya kapal mulai berwarna merah menyala. Ini artinya di tempat itu sudah sangat panas sekali. Kru kapal yang bertanggung jawab menyandarkan kapal mulai panik. Karena mereka belum mendapatkan situasi seperti ini sebelumnya. Mereka semua bingung bagaimana cara menambatkan dan menyandarkan kapal jika melihat keadaannya seperti itu. Robert yang melihat hal itu, mencoba menenangkan semua kru. Ia kemudian memberikan sebuah instruksi yang sebenarnya tidak masuk akal namun bisa dilakukan. Instruksinya cukup mudah, “Putar seluruh baling – baling penggerak di kapal ini”. Semua kru yang mendengarnya terdiam sejenak. Mereka berpikir bahwa yang diinstruksikan oleh kapten mereka ada benarnya juga. U.S.S San Diego memiliki delapan baling – baling penggerak. Empat baling – baling berada di sisi depan dan belakang kapal. Sedangkan empat baling – baling lainnya ada di sebelah sisi kanan dan kiri kapal. Jika semua baling – baling itu digerakkan, maka yang terjadi adalah kapal dalam posisi netral. Tidak bergerak ke depan, belakang, ke kanan ataupun ke kiri. Hanya saja untuk melakukannya diperlukan kemampuan juru kemudi yang tinggi. Robert segera mempercayakan pekerjaan itu kepada seluruh krunya. Ia percaya bahwa krunya dapat bekerja dengan baik. Dan tanpa diberikan instruksi lagi, seluruh kru yang bertanggung jawab dalam hal penyandaran kapal segera melakukan berbagai persiapan.
            Sementara kru melakukan persiapan untuk melakukan penyandaran, Robert kembali berdiri di depan anjungan bersama teropongnya, berjaga jika ada sesuatu yang mendadak dan membutuhkan instruksi cepat dia dapat memberitahukannya kepada seluruh kru. Dia menoleh ke kanan, ke kiri, mengangkat teropongnya, melihat Port Mayne dari lensa teropongnya, dan menemukan sesuatu yang ganjil di depan matanya. Port Mayne mulai tenggelam!. Ia mengetahuinya dari batasan meter ketinggian air laut yang sudah naik mencapai kurang lebih sepuluh meter. Ini artinya, sekarang posisi kapal lebih tinggi dari pada tempat bersandarnya kapal. Robert segera menginstruksikan kepada seluruh krunya untuk mempercepat proses penyandaran. Suasana pun menjadi lebih sibuk. Bahkan beberapa ada yang panik dibuatnya. Seluruh kru telah siap. Beberapa kru sudah siap di tali penambat. beberapa kru yang lain juga telah siap di jangkar. Dan sekarang keahlian dari seorang juru kemudi benar – benar diuji.
            Kapal perlahan – perlahan mendekati tempat penyandaran. Meski sangat perlahan, namun lama kelamaan kapal makin dekat dengan tempat penyandaran. Terdengar suara baling – baling penggerak sisi kanan mulai berputar, disusul dengan balik – balik penggerak yang ada di sisi kanan. Barulah terakhir, baling – baling penggerak yang ada di bagian depan mulai berputar. Kapal mulai terasa stabil, sehingga mudah dikendalikan. Dan yang pasti, kapal mulai berhenti dan akhirnya benar – benar berhenti karena semua baling – baling telah berputar dengan kecepatan putar yang sama. Beberapa kru yang sudah bersiap tadi langsung menjalankan tugasnya. Ada yang menambatkan tali pada tambatan. Dan ada pula yang menurunkan jangkar. Setelah kapal sudah benar – benar aman untuk disandarkan, akhirnya juru kemudi pun mematikan mesin penggerak dan membiarkan mesin pendingin tetap menyala.
            Robert segera membentuk tim dari seluruh krunya tadi untuk melakukan proses evakuasi. Robert membaginya menjadi dua tim. Satu tim berada di kapal menjaga keadaan kapal. Satu tim ini diutamakan seorang juru kemudi, mesin, dan kru yang bertugas di bagian penambatan. Sedang tim kedua ikut bersama Robert untuk melakukan evakuasi. Seperti yang sudah diskenariokan sebelumnya, kantong – kantong mayat yang sudah dipersiapkan tadi segera diturunkan dari geladak kapal dan dibuka di dok penumpang agar Robert dan tim penyelamat dapat mudah melewatinya tanpa merasakan panas. Sesampainya di dok penumpang, Robert dan tim penyelamat segera mengenakan baju anti panas yang sudah disiapkan. Mereka juga membawa kurang lebih tiga puluh baju anti panas agar dapat dikenakan pada mereka yang akan dievakuasi secara bergantian. Setelah semua siap, Robert kembali memberikan satu instruksi kepada seluruh timnya agar tetap membawa seluruh orang yang ada di dalam bunker meski hidup atau mati. Seluruh tim memahami apa yang diinstruksikan oleh Robert dan mereka segera bersiap untuk berjalan menuju bunker yang sudah ditunjukkan oleh Harris sebelumnya.
            Robert dan tim evakuasi memulai operasi penyelamatan mereka. Mereka segera menuju ke bunker tempat Harris serta staf dan keluarganya berlindung. Jarak antara kapal dengan bunker itu ditaksir mencapai satu kilometer jauhnya. Mereka membutuhkan waktu dua puluh menit dari tempat di mana kapal bersandar. Setelah dua puluh menit perjalanan, mereka menemukan bunker pertama yang sudah tak berwujud lagi pintunya. Seluruh cat nya sudah mengelupas dan besi pegangannya juga tampak berwarna merah. Dengan menggunakan sebuah pengungkit, Robert dan beberapa orang dari timnya berusaha membuak paksa pintu itu. Usaha pertama gagal dilakukan karena besi pengungkit terlalu panas untuk dipegang. Hingga tiga kali mencoba tidak ada yang berhasil membuka pintu itu. Dan akhirnya di usaha keempat, pintu itu dapat terbuka. Ketika pintu terbuka, tampak pemandangan yang sangat tragis ada di hadapan mereka.

----- ***** -----

            Setelah pintu terbuka, hal yang Robert dan timnya saksikan adalah terbujurnya beberapa tubuh manusia di depan pintu bunker. Teringat apa yang sudah ia instruksikan sendiri, Ia langsung masuk saja ke dalam bunker itu dan memerintahkan salah satu anggota timnya untuk mengambil beberapa kantong mayat untuk jasad – jasad yang sudah kaku itu. Robert sendiri menghitung ada sekitar sepuluh mayat yang sudah dimasukkan ke dalam kantong, dan selebihnya tidak ada lagi. Selesai menata kantong – kantong yang berisi jasad itu tadi, Robert segera melanjutkan evakuasi mereka. Mereka masuk ke dalam bunker lebih dalam lagi. Mereka memeriksa satu per satu ruangan yang ada di dalam bunker itu. Mereka hampir memerika sekitar dua puluh pintu namun belum menemukan adanya tanda – tanda keberadaan Harris dan staf – stafnya. Hingga akhirnya mereka tiba di pintu terakhir dan juga merupakan pintu untuk ruangan yang paling dalam di bunker tersebut. Sebelum mereka masuk, mereka mencoba memastikan apakah ada orang di dalam ruangan itu. Robert mencoba mengetuk pintu itu dan beberapa saat menunggu, terdengarlah ketukan kecil lemah terdengar dari dalam. Tanpa berpikir panjang lagi, Robert segera mendobrak pintu itu dan sebuah keajaiban berada di mereka. Tampak Harris dan hampir seluruh staff nya masih hidup meski dalam keadaan yang lemas. Robert segera memerintahkan beberapa krunya untuk mempersiapkan baju anti panas. Robert dan timnya segera melakukan tindakan evakuasi. Secara bergantian orang – orang yang ada di dalam bunker itu dikeluarkan dan dinaikkan ke dalam kapal dengan mengenakan baju anti panas. Terakhir orang yang dievakuasi adalah Harris itu sendiri bersamaan dengan jasad staf – stafnya yang sudah meninggal dunia. Robert begitu senangnya melihat temannya masih hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dalam waktu dua puluh jam sebelumnya. Ia segera naik ke atas kapal bersama Harris dan memerintahkan segera kepada seluruh krunya untuk segera meninggalkan Port Mayne. Kru yang bertanggung jawab di atas kapal kembali sibuk. Mereka semua langsung bergerak menuju tempat mereka masing – masing. Ada yang melepaskan tali tambat, ada yang menarik jangkar, dan ada yang pula membantu juru kemudi untuk mengarahkan kapal kembali ke lautan.
            Tidak sampai setengah jam, kapal pun mulai berlayar kembali di tengah lautan. Kali ini U.S.S San Diego akan menuju Jepang. Robert juga menerima pesan dari Jepang yang membutuhkan evakuasi secepat mungkin. Kapal pun kembali di pacu secepat mungkin. Setelah semua beres, Robert pun kembali keluar dari kabin dan berdiri di anjungan kapal untuk melihat pemandangan laut. Tanpa disadarinya, dari belakang rupanya Harris mengikutinya. Dan mereka berdua berdiri bersandarkan di pagar anjungan menikmati lautan lepas bersamaan. Ketika itulah mereka memulai pembicaraan mereka. Robertlah yang membuka pembicaraan dengan menanyakan apakah yang terjadi selama dua puluh jam penantian U.S.S San Diego. Harris yang masih terlihat cukup lelah berusaha membenahi posisi berdirinya dan Harris pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

----- ***** -----

TO BE CONTINUED....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Aku Pulang Kuliah

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR