HANIFAH
HANIFAH
Oleh: M. Irfan Luthfi
Sebuah kereta api baru saja
meninggalkan stasiun itu. Seorang gadis yang tak lebih masih berusia
dua puluh tahun masih berdiri di sebuah peron.Gadis muda yang
mengenakan baju keperwiraan wanita itu baru saja melepas kepergian
kekasihnya yang akan ikut bertempur di medan perang. Tampak ia masih
mengayun – ayunkan sapu tangan putih ke arah kereta yang perlahan
mulai menjauh dan menjauh dari stasiun itu. Hingga akhirnya kereta
itu tak tampak lagi dan Ia hanya bisa berdiri termenung menatap ke
arah matahari terbenam. Mengingat beratnya hati untuk melepas
kepergian sang kekasih ke medan perang yang tiada jelas akhirnya.
Ialah Hanifah, seorang gadis muda yang harus mulai merasakan beratnya
menjalin cinta di masa perang kemerdekaan. Meski kekasihnya bukanlah
seorang tentara, namun seorang wartawan perang. Namun bahayanya sama
saja, bahkan lebih daripada seorang tentara. Tanpa senjata ataupun
alat perlindungan yang lain, seorang wartawan perang harus ikut
berjuang mendokumentasikan tiap peristiwa yang terjadi di medan
pertempuran. Meski harus meregang nyawa, namun perjuangan haruslah
tetap dilakukan.
Jika kalender perang benar
adanya, Ia hanya harus menunggu selama tiga bulan hingga kekasih yang
sangat Ia cintai itu kembali dari medan perang. Namun kalender itu
seringkali berbohong. Sering hingga enam bulan para pejuang perang
baru kembali dari medan. Atau bertahun – tahun bahkan hingga seumur
hidup, para pejuang itu tak kunjung kembali. Mereka sudah dilaporkan
dalam keadaan sebagai pahlawan kemerdekaan. Tentu saja Hanifah
mengharapkan hal yang demikian. Sudah begitu besarnya cintanya pada
kekasihnya. Ia genggam terus sapu tangan yang sedari tadi ia
lambaikan ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun. Ada perasaan
yang tidak dapat ia jelaskan, namun perasaan itu membuat air matanya
meleleh membasahi pipinya yang merah.
Suasana stasiun kembali sepi.
Hanya ada beberapa dari para tentara pejuang RI yang masih berjaga di
sekitar stasiun. Melihat tidak ada lagi yang bisa Ia lakukan,
akhirnya Ia mulai melangkahkahkan kaki meninggalkan stasiun itu.
Sesekali ia menengok ke belakang, berharap kereta itu kan kembali
lagi, sehingga Ia dapat bersama kembali dengan sang kekasih. Namun
tampaknya itu mustahil, karena berapa kalipun Ia menoleh ke belakang,
tidak ada asap hitam yang terlihat. Kereta itu telah benar – benar
menuju Jatinegara. Ia pun memutuskan untuk meninggakan stasiun itu
untuk kembali ke rumah. Dengan sepeda onthelnya,
Ia kayuh dengan perlahan sepeda yang sering Ia kendarai bersamai sang
kekasih. Sepanjang perjalanan, air matanya tak henti – hentinya
menetes dari matanya. Cinta sejati yang tak dapat dipisahkan lagi.
-----*****-----
Minggu
ke dua semenjak Ia berpisah dengan kekasihnya. Rasa rindu mulai
memenuhi lubuk hatinya. Hatinya terasa akan meledak jika terus
mengingat dan merindukan kekasihnya itu. Rupa – rupanya kekasihnya
merasakan hal yang sama. Sepucuk surat baru saja tiba di rumahnya.
Sepucuk surat beramplop coklat dan dibalur dengan pita merah putih
pada sudut amplopnya. Ketika di buka, tidak hanya selembar kertas
yang ada di dalam amplop itu. Setangkai bunga yang wangi dan tidak
mudah rusak menyertai hadirnya surat itu di hadapannya. Cepat –
cepat ia membaca surat itu dan betapa senangnya Ia setelah
membacanya. Kekasihnya selamat tiba di Jatinegara meski di sekitar
Klender dihadang oleh tentara kompeni yang berusaha menghalangi –
halangi para tentara kemerdekaan untuk tiba di Jatinegara. Kekasihnya
mengabarkan bahwa dirinya berada di kamp bekas PETA di daerah Klender
bersama dengan teman – teman wartawan seperjuangannya. Ia begitu
terharunya membaca kalimat terakhir dari surat itu. Di situ tertulis:
“Bersama
soeratkoe ini, Akoe kirimkan padamoe setangkai boenga.., Selama
boenga itoe masih mekar dan haroem baoenja, Akoe pasti kan kembali
padamoe...”
Hanifah
kembali meneteskan air matanya dan memeluk erat – erat surat dan
setangkai bunga itu. Segera saja ia mengambil sebuah wadah yang telah
Ia isi dengan air dan ditaruhlah bunga itu ke dalam wadah itu. Baru
kemudian Ia letakkan wadah berisi bunga itu di depan jendela
kamarnya. Ia pandangi sejenak bunga yang kan menjadi saksi kepulangan
kekasihnya itu ke hatinya. Bunga itu cantik, kecil, dengan dua
tangkai daun yang menghiasinya dan terlihat segar meski baru saja
dikeluarkan dari dalam amplop.
Begitulah
seterusnya, tiap minggu surat – surat yang memberitahukan tentang
keadaanya kekasihnya selalu hadir di rumah. Tak lupa Ia juga
membalasnya satu persatu dan selalu ia sertakan pula pita berwarna
merah muda di ujung suratnya tanda betapa rindunya Ia akan kehadiran
kekasihnya di sisinya. Bahkan di tiap akhir surat, selalu sertakan
sebuah kalimat harapan akan kembali hadirnya kekasihnya di sisinya.
“Mas..,
Akoe kan selaloe menantimoe di peron stasioen di mana tempat kita
berpisah doeloe. Kan koekenakan bajoe yang sama ketika melepasmoe
pergi, Mas.., Akoe rindoe mas.., jaga diri baik – baik, agar kita
dapat berjoempa lagi...”
Sebuah
kalimat harapan yang menggambarkan betapa besar harapan Hanifah bisa
bertemu kembali dengan kekasih yang begitu Ia cintai tersebut.
Sebelum kekasihnya itu pergi, mereka sebenarnya sudah berencana untuk
menikah terlebih dahulu. Namun, panggilan tugas yang memaksa mereka
untuk menunda janji suci tersebut. Oleh karenanya, Hanifah sudah
mempersiapkan baju pengantin yang kan ia kenakan ketika di acara
pernikahan dengan kekasihnya itu. Meski artinya baju itu kan baru ia
kenakan tiga bulan lagi lamanya.
Hari
berganti hari, minggu berganti minggu. Tak terasa kini sudah
mendekati tiga bulan lamanya Hanifah hidup sendiri bersama surat –
surat yang kekasihnya kirimkan. Namun minggu – minggu terakhir,
surat – surat itu tak tampak. Ia mulai merasakan kecemasan akan
kekasihnya itu. Tiap tukang pos yang melewati depan rumahnya selalu
Ia hentikan dan tanyai, kemungkinan ada surat yang terlewat dan tidak
sampai kepadanya. Namun hasilnya sia – sia. Surat dari kekasihnya
itu memang benar – benar tidak ada. Hanifah segera berlari menuju
ke kamarnya dan melihat bunga yang dikirimkan oleh kekasihnya pada
surat yang pertama. Bunga itu tampak agak sedikit layu. Warna
merahnya agak memudar dan di bagian tepi ada yang sudah mulai
menguning. Daun – daunnya pun mulai kering. Hanifah yang melihat
hal inipun semakin tidak tenang hatinya. Ada apa gerangan?. Apa yang
terjadi, mengapa kekasihnya tidak mengirimkan surat...?” Ia mencoba
membaca surat yang terakhir Ia terima. Di dalam surat itu tidak ada
sesuatu yang istimewa, tidak ada kabar ataupun sesuatu hal yang
memberitahukan sesuatu apa yang kan kekasihnya lakukan di sana. Semua
tampaknya baik – baik saja, namun mengapa minggu ini surat itu
tidak sampai ke hadapannya.
Hanifah
yang begitu cemas dengan keadaan kekasihnya mulai mencoba mencari
informasi – informasi. Pertama yang Ia lakukan adalah mencoba
mendatangi markas tentara kemerdekaan di dekat stasiun untuk
mendapatkan informasi. Ia hanya dititipi satu catatan kecil dari
kekasihnya yang berisikan nomor batalyon di mana kekasihnya ikut di
dalamnya.
“Pak,
saya ingin mencari informasi mengenai batalyon enam puluh tujuh,
Pak...” kata Hanifah pada salah seorang tentara di sana.
“Mbak
tunggu di sini sebentar ya, akan kami coba carikan informasi mengenai
batalyon enam puluh tujuh” kata tentara tadi sambil mengambil
kontak radio untuk mencoba berkomunikasi dengan radio di batalyon
enam puluh tujuh.
Komunikasi
pun langsung dilakukan. Hanifah hanya dapat berdiri saja mendengarkan
percakapan antara tentara itu dengan tentara di batalyon enam puluh
tujuh. Hanifah mendengarkan dengan seksama setiap berita yang
disampaikan melalui radio tersebut. Ia mengetahui bahwa saat ini
batalyon enam puluh tujuh sedang dalam keadaan kritis karena digempur
habis – habisan oleh tentara kompeni. Bahkan semalam terjadi
serangan mendadak yang dilakukan oleh Belanda yang memaksa batalyon
enam puluh tujuh harus bertempur habis – habisan. Hanifah mendengar
semua berita itu dan berharap tidak ada berita buruk yang
disampaikan. Harapannya terkabul. Tidak ada berita buruk yang
disampaikan. Belum ada laporan tentara ataupun wartawan perang yang
meninggal dunia. Setelah mendengar berita itu, Hanifah yakin bahwa
kekasihnya sekarang sedang bertempur dengan maut untuk
mendokumentasikan seluruh kegiatan perang yang terjadi. Ia pun terus
berharap agar kekasihnya dapat kembali ke Yogyakarta dengan selamat.
-----*****-----
Hari
ini tepat tiga bulan sudah sejak kepergian kekasihnya. Hanifah
mencoba bersiap – siap untuk menjemput kekasihnya di stasiun. Ia
kenakan baju yang dulu kenakan ketika berpisah dengan kekasihnya. Tak
lupa ia membawa sapu tangan putih yang dulu ia lambaikan ketika
kereta yang membawa kekasihnya pergi. Ia mencoba berpenampilan
seperti dulu ketika Ia berpisah, agar kekasihnya dapat dengan mudah
mengenalinya.
Ia
berangkat pagi – pagi ke Stasiun Tugu. Sesampainya di sana, rupanya
sudah banyak juga orang yang menunggu kehadiran keluarga mereka
kembali. Begitu pula Hanifah. Setelah ia memakirkan sepedanya, Ia
langsung masuk ke dalam stasiun dan dalam sekejap Ia berada di antara
kerumunan orang – orang. Ia terus melihat ke arah ufuk barat
menanti asap hitam yang keluar dari cerobong asap mesin kereta. Ia
juga menanti suara peluit yang ditiupkan oleh mesin kereta ketika
mendekati sebuah stasiun. Kini hanya tinggal waktulah yang berbicara,
kapan kereta itu kan tiba.
Satu
jam berlalu, dua jam berlalu, tiga jam berlalu, hingga akhirnya
selama enam jam penantian, kereta itu tak kunjung datang. Hanifah
mulai merasakan kecemasan memenuhi hatinya. Hingga akhirnya sebuah
pengumuman diumumkan lewat pengeras suara, bahwa kereta dari
Jatinegara sebentar lagi akan masuk. Hanifah segera bergegas menuju
barisan terdepan dari barisan orang – orang yang menunggu di atas
peron. Ia keluarkan sapu tangan putihnya untuk menandakan bahwa
dirinya ada di situ. Ia siap menanti kehadiran kembali kekasihnya
yang begitu Ia cintai.
Setelah
lima belas menit berlalu, dari ufuk barat tampaklah asap hitam yang
mengepul. Makin lama makin pekat. Dibarengi dengan suara peluit
panjang dari mesin kereta, dan lampu besar yang menyorot ke arah
stasiun. Kereta dari Jatinegara berhasil tiba di Yogyakarta. Perlahan
namun pasti, kereta itu makin mendekat dan mendekat. Suaranya makin
menderu dan kencang, hingga akhirnya peluit panjang pun dibunyikan
menandakan bahwa kereta masuk ke dalam stasiun. Decitan – decitan
suara rem yang beradu dengan roda besi pun semakin keras terdengar
sebelum akhirnya kereta benar – benar berhenti.
“Mas...!!!
Mas...!!!, di mana kamu Mas...??!!!! Aku di sini.... Mas...!!!!”
Teriak Hanifah seraya melambai – lambaikan sapu tangan putih ke
arah salah satu pintu masuk kereta.
Beberapa
kali Ia berteriak, tetap tidak ada yang menjawab. Ia terus melihat
orang – orang yang keluar dari gerbong kereta, berharap salah
seorang dari orang – orang itu adalah kekasihnya. Namun tak kunjung
kekasihnya itu keluar dari kereta, bahkan hingga orang terkakhir
turun dari kereta tersebut. Hanifah menitikkan air mata, di manakah
kekasihnya? Mengapa tidak ada dalam rombongan kereta ini.?. Ia
genggam sapu tangan putih itu erat – erat berharap suatu keajaiban
terjadi. Benar saja. Dari gerbong paling belakang, turunlah seorang
lelaki dengan menggunakan tongkat. Lelaki begitu Ia kenal. Mulai dari
tas, hingga kemeja yang dipakainya. Tanpa membuang waktu lagi, Ia
segera berlari menghampiri lelaki itu.
“Maaas...!!!!...,
Maaaas...!!!!” Teriak Hanifah.
Lelaki
yang baru saja turun dari kereta itu langsung menoleh ke arah di mana
teriakan berasal dan melihat Hanifah berlari ke arahnya. Ialah
kekasih Hanifah...,
“Mas..,
“ Panggil Hanifah setibanya Ia di hadapan kekasihnya itu.
Ia
langsung peluk erat – erat kekasihnya itu. Air matanya tak dapat Ia
bendung lagi. Betapa bahagianya kekasihnya dapat kembali ke
Yogyakarta dengan selamat.
“Maafkan
mas, ya dik.., tidak bisa mengirimi kamu surat.., Mas harus
mendapatkan perawatan di rumah sakit darurat...” kata kekasihnya
seraya mengelus rambut Hanifah.
“Mas..,
Aku benar – benar rindu...” Kata Hanifah denga suara lirih.
“Mas
juga, dik..., tapi sekarang kita sudah berjumpa kembali kaan...?
berarti sekarang rindumu sudah sirna....” kata kekasihnya lagi.
“Mas
ini.., masih mencoba bercanda Mas....” kata Hanifah sambil menatap
tajam mata kekasihnya.
“Tidak,
Dik.., Aku juga rindu akan kehadiranmu, Dik.., benar – benar
anugrah kita dapat dipertemukan kembali ya Dik...” kata kekasihnya
sambil menggenggam erat tangan Hanifah.
“Iya
Mas....” kata Hanifah lagi seraya memeluk erat tubuh kekasihnya itu
dengan erat.
“Eh,
sudah.., Dik..., mari kita pulang.., kita ikut truk tentara republik
saja ya...” Ajak kekasihnya.
“Iya
Mas.., tapi sepeda kita bagaiamana...?” tanya Hanifah.
“Sudah,
naikkan saja nanti sepeda kita ke atas truk, Dik... “ Jawab
kekasihnya seraya tersenyum.
“Maaas..,”
Kata Hanifah mulai menggenit.
“Jangan
di sini Dik, genitnya.., kelihatan orang – orang lho.., nanti di
rumah saja...” Kata kekasihnya lagi...,
“Iya,
Mas...” balas Hanifah tersenyum.
Dengan
perlahan, mereka berdua pun mulai meninggalkan stasiun. Stasiun Tugu,
tempat mereka dipertemukan kembali. Mereka terus saja melepas rindu
dengan berjalan sambil bergandengan tangan. Rona cahaya mentari
tenggelam di ufuk barat menambah manis pertemuan mereka. Pertemuan
kembali antara dua sosok manusia yang dipisahkan karena salah satu
dari mereka harus berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan RI ini.
Perjuangan berat yang harus dihadapi, kerinduan yang berat dan
harus dipendam dalam – dalam. Hingga akhirnya berbuah manis pada
pertemuan yang mengharukan. Inilah kisah Hanifah dan kekasihnya.
Kekasihnya yang tak lain adalah wartawan perang. Dengan hanya
bersenjatakan kamera, pena, dan kertas, terus berjuang
mendokumentasikan setiap perjuangan tentara republik dalam
mempertahankan kemerdekaan NKRI. Meski itu artinya nyawa yang menjadi
taruhannya.
Tetap
Jaya Indonesia. Pantang menyerah hadapi cobaan. Terus maju pantang
mundur. Jangan kau sia – siakan perjuangan para pahlawanmu..!!!!!
-----*****-----
hahaha jebule ono calon sarjana sastra iki, sastra informatika :D
BalasHapusfan...
BalasHapuscerita sek nang buku mu kae lhoo..
sek tentang kapal..??
wkwkwk..