KISAH SEORANG SOL SEPATU
KISAH
SEORANG SOL SEPATU
Oleh: M. Irfan Luthfi
Kisah
ini mungkin salah satu kisah yang paling berkesan di dalam hidupku. Di mana di
dalam kisah ini diceritakan seorang sol sepatu yang ikhlas mengabdikan hidupnya
untuk keluarga dan orang – orang di sekelilingnya. Di suatu Rabu sore di tahun
2009, kala itu Aku sedang duduk termenung di depan rumah sembari melihat
lambaian daun padi di sawah seberang rumah. Angin sore yang bertiup lembut
menambah suasana semakin tenang saja, apalagi di depan rumahku tumbuh banyak
sekali pepohonan. Aku ingat sekali, sore itu terasa pagi indah nan sejuk yang
membawa ketenangan untuk seluruh umat manusia.
Ketika
Aku duduk termenung, Aku melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahku.
Aku segera berdiri untuk melihat mobil siapakah itu. Tak lama kemudian, sesosok
manusia yang ku kenal turun dari mobil itu. Itu Ayahku, yang baru saja pulang
dari mengajar. Ia berjalan menuju pagar rumah bermaksud untuk membuka pintu
pagar. Namun, Aku telah sampai terlebih dahulu, dan kemudian membukakan pintu
pagar itu untuk Ayah. Ayah segera kembali ke dalam mobil dan memasukkan mobil
ke dalam garasi. Setelah mobil terparkir, Ayah pun keluar dari mobil dan
langsung berlari menuju pintu pagar. Aku yang baru berjalan kembali dari pintu
pagar bertanya – tanya apakah yang kan Ayahku lakukan. Mengapa Ia berlari –
lari menuju pintu pagar. Aku segera membalikkan badanku untuk mengetahui
jawabannya, dan tak lama kemudian Aku pun mengetahuinya. Tampak Ayahku
mengayunkan tangannya beberapa kali, dan seorang sol sepatu dengan sepeda
tuanya tampak perlahan mendekati dan berhenti. Aku melihat, Ayahku segera
mempesilakan tukang sol sepatu itu untuk masuk ke halaman rumah agar tidak
terlalu panas. Barulah setelah itu Ayah berkata padaku.
“Nak,
keluarkan semua sepatu dan sandalmu yang jebol ataupun rusak!”
“Baik,
Ayah.” Jawabku menjawab perintah Ayah.
Aku
segera masuk ke dalam rumah dan mengambil sandal serta sepatuku yang sudah
rusak. Kebanyakan sandal dan sepatuku rusak pada bagian solnya. Di mana antara
badan sepatu dengan solnya terlepas rekatannya. Sehingga terlihat rusak.
Setelah Aku mendapatkan sepatu dan sandalku yang rusak, Aku segera berlari
kembali ke luar rumah untuk ku serahkan pada Ayah. Tampak ketika itu, Ayah
sedang mengajak tukang sol sepatu itu berbincang – bincang. Sehingga antara
Ayah dan tukang sol sepatu itu terlihat sangat akrab.
“Ini
Ayah, sepatu dan sandalku yang rusak....” kataku sambil menunjukkan sandal dan
sepatu yang Aku bawa dari dalam rumah.
“O,
ya mana....” kata Ayahku sambil menerima sepatu dan sandalku yang rusak.
“Kalau
rusaknya begini, masih bisa diperbaiki, Pak...?” tanya Ayah pada tukang sol
sepatu itu.
“Oooo..,
ini masih sangat bisa, Pak..., ini solnya hanya terlepas rekatannya.., jadinya
masih bisa dilem dan dijahit....” jawab tukang sol sepatu itu.
“O,
ya.., kalau begitu mohon diperbaiki, ya.., Pak.., saya mau ambil beberapa
sandal dan sepatu lain yang rusak...” kata Ayahku lagi.
“O,
ya pak.., silakan.., silakan.., ini mau saya bersihkan dulu.., baru saya lem
kemudian saya jahit....” Kata tukang sol sepatu itu sambil mempersiapkan alat –
alat yang akan digunakan untuk menjahit sol.
Ayah
segera menyuruhku untuk menunggui tukang sol sepatu itu sembari Ia masuk ke
dalam rumah untuk berganti baju dan mengambil beberapa sandal dan sepatu lain
yang rusak. Aku pun menuruti perintahnya, dan kembali duduk di teras rumah. Aku
pun mendapatkan pengamatan baru. Kali ini Aku mengamati seorang tukang sol
sepatu yang sedang memperbaiki sandal dan sepatu yang rusak. Kuperhatikan
dengan seksama bagaimana Ia bekerja. Mulai dari membersihkan debu – debu yang
menempel, kemudian memeriksa kerusakannya. Memberikan lem pada lapisan yang
akan direkatkan, baru kemudian menjahitnya dengan menggunakan jarum dan benang
yang khusus. Tukang sol sepatu itu bekerja dengan sangat hati – hati. Apalagi
ketika Ia sedang menjahit sol – sol yang terlepas itu. Terlihat sekali, Ia
memberikan pola terlebih dahulu pada sol agar memudahkan Ia ketika menjahit sol
itu. Barulah setelah itu Ia menjahitnya dengan hati – hati.
Lima
belas menit berlalu, dan tukang sol sepatu itu baru saja menyelesaikan satu
pasang sepatuku yang rusak. Kini Ia baru akan memperbaiki sandalku yang robek
pada solnya. Barulah ketika itu, Ayahku keluar dari dalam rumah dengan membawa
beberapa pasang sandal dan sepatu yang rusak. Tanpa membuang waktu, Ayahku
segera memberikan sandal dan sepatu yang rusak itu untuk dibetulkan. Tukang sol
sepatu itu tampak senang sekali. Ia dengan segera menghentikan kegiatan
menjahitnya untuk sementara hanya untuk menerima sandal dan sepatu rusak dari
Ayahku. Setelah menerima sandal dan sepatu dari Ayahku, tukang sol sepatu itu
pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia kembali menjahit dengan hati – hati agar
hasil jahitan pada sol dapat rapi dan tidak terlihat akan adanya jahitan.
Selagi tukang sol sepatu itu menjahit, Ayahku mengjaknya berbincang. Ayahku
cepat sekali menemukan topik pembicaraan yang pas, sehingga enak untuk
diperbincangkan. Aku pun hanya mendengarkannya saja selagi duduk di teras.
Tidak
mencapai sepuluh menit lamanya, sandalku yang rusak sudah jadi. Beberapa kali,
tukang sol sepatu itu memastikan kembali jahitan pada sol sandalku kuat dan
tidak mudah untuk lepas kembali.ia menariknya beberapa kali dan setelah bisa dipastikan
kuat, tukang sol sepatu itu menaruh sandalku itu berdampingan dengan sepatuku
yang sudah lebih dahulu diperbaiki. Tak membuang waktu, tukang sol sepatu itu
segera menyelesaikan sepatu dan sandal yang lain. Ia mengambil satu buah pasang
sepatu yang tadi Ayahku serahkan untuk diperbaiki. Ia mulai membersihkannya,
mengelap, memberinya lem kemudian menjahitnya. Begitulah seterusnya hingga
akhirnya selesailah seluruh pekerjaan. Sepuluh pasang sandal dan sepatu telah ia selesaikan dengan baik.
Aku yang sedari hanya duduk di kursi teras beranjak berdiri dan menghampiri
tukang sol sepatu tersebut. Kemudian, dengan bertumpu pada satu kaki, aku pun
duduk di dekat tukang sol sepatu itu dan mengambil sepatuku. Kulihat, kuputar
berulang kali, ku tarik – tarik, dan benar – benar kuat. Ketika Aku memeriksa
sepatuku itu, tukang sol sepatu itupun berkata untuk meyakinkan diriku bahwa
sepatu yang Aku pegang saat itu sudah kuat.
“Sepatunya
itu sudah kuat, dik.., itu sudah dijahit, kalau mau dipakai untuk olahraga
sudah tenang. Ndak gampang jebol lagi.”
“Wah,
sepertinya iya ini, Pak.., sudah kuat…” kataku sambil memutar dan melihat –
melihat hasil jahitan tukang sol sepatu itu.
“Itu
jahitannya uda saya sembunyikan di bawah dik, jadinya lebih kuat dan lebih
rapi. Ndak kelihatan benangnya…” sambung tukang sol itu lagi.
“Wah,
betul sekali ini, Pak.., ndak kelihatan… ini sepatu udah dari SMA kelas satu
lho, Pak.., udah lama sekali.., saying kalo dibuang…” kataku sambil terus
memutar – mutar sepatuku.
“Biasanya
orang kalo sepatunya udah rusak terus dibuang dik.., padahal kaloo kerusakannya
seperti ini masih bias dibenahi, karena cumin
solnya saja yang lepas dari sepatunya…” kata tukang sol itu lagi sambil
mengerjakan sepatu yang lain.
“Iya,
Pak.., sayaaang sekali.., padahal masih bagus…” kataku lagi.
Aku
pun menaruh kembali sepatuku yang sudah jadi itu. Karena belum dibayar pula, Aku
tidak berani untuk mengambil sepatuku itu untuk dibawa masuk ke dalam. Ayahku
yang sedari tadi hanya berdiri saja melihat kemudian ikut – ikutan melihat
hasil pekerjaan tukang sol itu. Ayahku tampak puas dengan hasil pekerjaan
tukang sol itu. Ia melakukan hal yang sama Aku lakukan tadi. Yakni memutar –
mutar sepatu untuk melihat hasil jahitannya. Setelah puas kemudian
menurunkannya kembali. Barulah kemudian Ayah mengajak tukang sol sepatu itu
berbincang lagi. Hingga tak terasa satu jam berlalu dan hanya tersisa sepatu
lagi untuk dikerjakan. Sepatu yang tersisa itu adalah sepatu adikku. Sepatunya rusak
karena sering dipakai untuk sekolah. Tukang sol itu pun melakukan hal yang
sama. Ia membersihkan terlebih dahulu sepatu adikku, barulah kemudian melihat
kerusakannya dan memperbaikinya. Kali ini kerusakan bukan pada sol, melainkan
pada kulit sepatu yang sudah mulai rapuh. Rupanya tukang sol ini tidak
kehabisan akal. Ia kemudian berdiri dan
mengambil beberapa lembar karet tipis dan lem yang kuat dari kotak
perkakasnya. Baru kemudian dengan teliti ia mulai memperbaiki kulit sepatu yang
mulai rapuh itu.
Dengan
perlahan, ia mengoleskan lem karet yang sangat kuat. Kemudian menggunting karet
yang sudah ia siapkan tadi dan ia sesuaikan dengan ukuran kulit sepatu yang
akan diperbaiki. Setelah cukup yakin dengan ukurannya, barulah, ia tempelkan
karet itu ke bagian dalam kulit sepatu yang rapuh itu. Terakhir, ia pukul –
pukul dengan palu karet yang menempel itu agar lebih kuat. Tampak sekarang
sepatu adikku dapat dipakai kembali. Kulit sepatu yang tadinya robek dan
terlihat rusak, kini tampak lebih baik. Karet yang menempel di dalamnya pun
tidak terlihat dari luar, sehingga, kulit sepatu itu terlihat tidak pernah
rusak sebelumnya.
Setelah
semua selesai dikerjakan, tukang sol itu kembali memeriksa sepatu dan sandal
yang baru saja ia kerjakan. Tampaknya Ia ingin memastikan bahwa hasil
pekerjaannya rapi dan baik, sehingga memuaskan pelanggan. Yakin semua telah
baik dan rapi, Ia segera menata sepatu dan sandal tadi di hadapannya baru
kemudian merapikan seluruh perkakas yang Ia gunakan.
“Jadi,
semuanya berapa, Pak…?” Tanya Ayah pada tukang sol itu.
“Begini,
Pak, yang sandal ini sepuluh ribu per pasang, kemudian yang sepatu ini lima
belas ribu per pasang. Kecuali yang memperbaiki kulit ini, dua puluh ribu, Pak…”
jelas tukang sol sepatu itu.
“Ini
adalah enam sandal, tiga sepatu, dan satu sepatu yang kulitnya rusak tadi. Jadi
yang sandal enam puluh ribu, yang sepatu empat puluh lima ribu, yang sepatu
satunya lagi dua puluh ribu, jadi total seratus dua puluh lima ribu ya, Pak…”
kata Ayah.
“Iya,
Pak…” kata tukang sol itu membenarkan.
Ayah
segera mengambil beberapa lembar uang dari dalam dompetnya dan menyerahkannya
kepada tukang sol itu.
“Kembaliannya
buat bapak saja nggih…” kata Ayahku.
“Wah,
terima sekalih nggih, Pak.., kalau
begitu.., saya terusan Pak.., sudah
mau maghrib juga…” kata tukang sol itu dengan wajah yang gembira.
“Oh,
iya Pak.., silakan – silakan.., terima kasih banyak ya, Pak.., “ kata Ayah
mengucap terima kasih pada tukang sol itu.
“Sama
– sama Pak.., mari….” Balas tukang sol itu sambil mulai mengayuh sepedanya.
Selepas
tukang sol itu pergi, Aku langsung menghampiri Ayah yang masih berdiri di depan
pintu gerbang dan melihat ke arah tukang sol itu pergi. Tukang sol itu masih
sangat setia dengan pekerjaannya. Meski sekarang tukang sol sudah jarang sekali
ada, namun jasanya selalu ditunggu oleh pelanggannya yang membutuhkan sepatu
ataupun sandalnya untuk diperbaiki. Selain lebih kuat, dan lebih awet, hal itu
pun dapat menghemat pengeluaran yang digunakan untuk membeli sepatu ataupun
sandal yang baru. Terus berjuang para tukang sol, jasamu kan terus dinantikan.
-----*****-----
Komentar
Posting Komentar