HANIFAH (II)



HANIFAH (II)

Oleh: M. Irfan Luthfi


            Setelah Hanifah dan kekasihnya bertemu di stasiun. –kala itu. Kini, kekasihnya mendapatkaan sebuah pekerjaan baru dari atasannya untuk mengawal berita penerbangan kemerdekaan dari Jakarta ke Yogyakarta. Menurut kabar yang ia terima, penerbangan itu adalah penerbangan yang paling berbahaya yang pernah dilakukan, karena dilakukan ketika Belanda masih menguasai udara Indonesia. Namun, penerbangan itu harus dilakukan, karena mengingat tentara – tentara kemerdekaan RI yang mulai membutuhkan stok bantuan logistik dan obat – obatan dari pusat. Dan kala itu, Hanifah dan kekasihnya yang baru saja menikah merasa berat menerima surat dari atasannya itu. Terhitung belum ada satu minggu sejak pernikahan mereka yang sederhana di sebuah desa kecil di Yogyakarta. Surat itu sebenarnya sudah dikirimkan dari pusat sejak tiga hari yang lalu, namun baru tiba di hadapan mereka berdua hari ini. Surat itupun baru tiba setelah melalui perjalanan yang panjang, dari pusatnya di Jakarta. Melalui portir yang ada saat itu, membutuhkan waktu kurang lebih tiga hari lamanya agar surat itu dapat tiba di hadapan mereka seperti saat ini.


            “Mas., surat dari pusat lagi...?” Tanya Hanifah sembari terbangun dari tidurnya. Ia terbangun karena suami yang sangat ia cintai terbangun.
           
“Iyaa, dik., surat dari pusat lagi ini.., dan Aku tidak akan menerima surat ini...” jawab suaminya selepas membaca beberapa baris dari surat itu.
           
“Mengapa tidak kau terima surat itu, mas...? bukankah itu pekerjaan untuk mu, Mas...?” Tanya Hanifah lagi.

“Meski ini adalah surat untuk sebuah pekerjaan, tetapi pekerjaan ini mengharuskan Aku untuk pergi meninggalkanmu beberapa hari, Sayaang.., dan Aku tidak mau melakukan hal itu...” Jawab Suaminya dengan nada berat.

“Mas ku sayaang..,” Kata Hanifah lirih sembari memeluk suaminya dari belakang. ”Surat itu membuat mas harus pergi ke mana....?”

“Jakarta, Dik.., untuk mengawal penerbangan yang membawa bantuan logistik dan obat – obatan untuk tentara di Jogja ini...” Jawab Suaminya dengan nada berat lagi.

“E..e..e..m tetapi nanti jika mas tidak melakukannya, mas bisa – bisa tidak kerja lagi. Kasihani Aku sayaang.., nanti Aku makan apa..,?” Kata Hanifah lagi.

“Tapi kita baru beberapa hari bersama sayaang.., dan Aku terlalu berat untuk meninggalkanmu...” Jawab suaminya sembari mengecup kening Hanifah.

“Sayaaang.., “ kata Hanifah lirih.

“Sudah yaa sayaang.., surat ini tidak akan kita bahas lagi...” Kata Suaminya sambil menutup kembali surat itu dan memasukkan ke dalam laci.

“Iyaa sayaang.., “ jawab Hanifah manja.

Setelah perbincangan yang cukup singkat itu, mereka berdua pun kembali tertidur –saling berpelukan. Nyenyak., terasa seperti tidak ada kejadian serius yang baru saja terjadi. Namun beberapa menit selepas mereka berdua memejamkan mata. Terdengar suara dentuman – dentuman yang cukup membuat tanah bergetar. Pada awalnya, dentuman – dentuman itu terdengar jauh, namun lama kelamaan dentuman itu makin mendekat dan makin mendekat hingga akhirnya suara dentuman itu terdengar persis berada di samping rumah mereka. Suara yang cukup memekakkan telinga dan tanah yang bergetar cukup hebat membuat kedua sepasang kekasih yang baru saja menikah itu terbangun dari tidurnya. Mereka berdua begitu terkejutnya dan tidak menyangka sama sekali jika malam itu terjadi serangan dari Belanda yang begitu tiba – tiba. Keduanya saling berpelukan dan merapatkan diri ke ujung tempat tidur –berharap tidak ada sesuatu hal buruk yang terjadi. Dentuman – dentuman itu masih saja terdengar namun suaranya makin menjauh dan makin menjauh, hingga tak terdengar lagi suaranya. Selepas serangan mendadak itu, keduanya hanya dapat saling berpandangan dan saling melepaskan tatapan yang tajam. Seolah tidak percaya jika Belanda melepaskan serangan yang begitu mendadak pada malam hari itu.
Sepasang kekasih itu segera membenarkan pakaian mereka dan mencoba keluar untuk melihat keadaan sekitar setelah serangan itu. Hanifah segera bangkit dari tempat tidur dan berlari menuju keluar rumah. Begitu pula suaminya, yang sudah terlebih dahulu lari menuju keluar rumah untuk melihat keadaan sekitar. Betapa terkejutnya mereka berdua melihat apa yang ada di hadapan mereka. Bekas dari serangan tadi meninggalkan luka yang begitu mendalam di hati Hanifah dan suaminya. Bagaimana tidak, hampir seluruh desa hancur tak ada yang tersisa. Hampir seluruh pematang sawah yang menghiasi desa tempat mereka tinggal hancur. Hampir seluruh rumah di desa tempat mereka tinggal juga ikut menjadi korban dalam serangan tersebut. Tidak ada yang tahu berapa korban meninggal pada malam hari itu.

Pagi harinya, semuanya tampak jelas bahwa hampir tidak ada yang tersisa lagi dari desa tempat mereka tinggal. Begitu matahari semakin terlihat dari garis horizon, yang terdengar hanyalah tangis dan teriakan minta tolong dari orang – orang yang menjadi korban pada serangan tadi malam. Semuanya kacau, dan Hanifah serta suaminya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka hanya dapat memandangi rumah mereka yang masih utuh dan tidak ada rusak di bagian manapun. Rumah itu begitu berharga bagi mereka, karena itulah satu – satunya benda yang paling berharga yang mereka miliki.

“Sepertinya ini akan menjadi alasan mengapa surat itu tiba di hadapan kita, sayaang..” kata suaminya sambil terus menatap rumah.

            “Iya, mas.., sepertinya takdir sudah berbicara dan kita berdua tidak dapat menolaknya” kata Hanifah menanggapi, lirih.

            “Jika begitu, Aku akan bersiap – siap sayaang. Jika melihat keadaan yang ada, hari ini sepertinya ada kereta yang akan berangkat ke Jakarta sore ini.” Kata suaminya sambil menggenggam tangan kecil Hanifah.

            “Aku kan menyiapkan kebutuhan buatmu ke Jakarta, Mas.., “ Kata Hanifah sambil menatap tajam ke arah mata suaminya.

            “Iya, sayaang.., Aku kan menyiapkan juga kebutuhan alat jurnalisku.” Kata suaminya lagi.
            Mereka berdua pun segera bergegas masuk rumah kembali untuk menyiapkan segala kebutuhan yang akan dibawa sang suami ke Jakarta. Namun, setibanya di depan pintu rumah, Hanifah tiba – tiba jatuh tersungkur dan terbatuk – batuk seperti akan muntah. Suaminya langsung menahan jatuhnya Hanifah dengan menggengam lengannya.
           
            “Dik.., kamu kenapa...?” tanya suaminya sedikit panik.

            “Sepertinya ada sesuatu yang ada di dalam perutku dan membuatku mual.” Kata Hanifah sedikit lemas.

            “Apakah kau...?” tanya sang suami sambil mengelus pelan perut Hanifah.

            “Sepertinya iya, Mas.., Aku hamil...” jawab Hanifah tersenyum manis.

            “Aaah..., sayaaang.., justru di saat berbahagia seperti ini.., Aku harus meninggalkanmu sayaaang..,” kata sang suami sedih.

            “Jangan begitu, Mas.., Aku kan menjaga bayi kita ini selama mas pergi. Aku kan pastikan bayi yang ada di dalam rahimku ini sehat dan esok kan menjadi seperti bapaknya.” Kata Hanifah memberikan semangat untuk suaminya.

            “Baiklah jika begitu sayang, selama perjalanan ke stasiun nanti akan Aku coba untuk menghubungi bibimu, supaya ada yang menjagamu selama Aku pergi” kata sang suami kembali.

            “Baik, Mas.., sekarang bersiap – siaplah Mas.., atau nanti Mas bisa ketinggalan kereta api lhoo..,” kata Hanifah sembari mendorong – mendorong suaminya dari belakang.

            “Iya Dik..., jika begitu Mas mandi dulu ya.., “ kata sang suami sembari melangkahkan kaki menuju tempat pemandian yang ada di rumah itu.

            Sementara suaminya membersihkan diri, Hanifah mempersiapkan segala kebutuhan yang kan di bawa oleh suaminya selama bertugas. Dengan menggunakan sebuah koper kecil, ia muatkan beberapa helai pakaian ke dalamnya. Ia persiapkan juga peralatan jurnalistik suaminya yang sudah menjadi satu dalam satu tas kecil yang bisa di bawa ke mana – mana. Beberapa kali, Ia duduk beristirahat di atas dipan. Ia masih merasakan hal yang belum biasa ia rasakan. Perutnya terasa mual dan Ia belum terbiasa dengan hal itu. Oleh karena itu, Ia beberapa kali mencoba beristirahat dengan duduk di atas dipan kecil yang ada di kamar itu.

            Saat itulah, suaminya masuk dan melihat Ia terduduk di atas dipan. Harap – harap cemas, suaminya kembali menghampirinya dan mencoba menanyakan keadaan dirinya.
           
            “Dik, tidak apa – apa kan...?” tanya sang suami kepada Hanifah.

            “Tidak apa – apa mas..., hanya sedikit mual perutku ini Mas...,” jawab Hanifah sambil mengelus perutnya.

            “Sakit...?” Tanya sang suami kembali.

            “Tidak sakit Mas, tetapi hanya terasa mual saja. Terasa seperti mau muntah.” Jawab Hanifah kembali.

            “Atau Aku coba panggilkan Mantri...? barangkali bisa memberikan sedikit saran buatmu agar bisa menghilangkan rasa mual yang sedang kau rasakan.., Dik...,” Kata sang suami sambil mengelus rambut Hanifah.

            “Tidak Mas.., tidak usah.., beberapa hari mungkin Aku akan terbiasa dengan hal ini, Mas.., tidak apa – apa..” kata Hanifah menolak lembut saran suaminya.

            “Tapi Aku tidak tega meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini.., Aku baru bisa pergi jika kamu sudah merasa nyaman, sayaang.., “ kata suaminya kembali.

            “Tidak apa – apa mas.., benar.., tidak apa – apa.., nanti jika bibi sudah tiba di sini, yakinlah bahwa Aku ada merawat mas.., “ kata Hanifah mencoba meyakinkan suaminya.

            “Baiklah jika begitu sayaang..,” “Cuup...” kata suaminya sambil mengecup kening Hanifah. Hanifah yang saat itu masih merasakan mual, hanya bisa tertunduk. Ia merasakan getaran – getaran halus yang tak dapat ia jelaskan maknanya. Ia merasa, kepergian suaminya kini tidak akan berujung. Dalam artian, akan pergi selama – lamanya.

            “Aku sayaang kamu.., suamikuu..., “ kata Hanifah sembari menatap tajam mata suaminya dengan sedikit menitikkan air mata.

            “Istriku sayaang.., jika engkau berat untuk melepaskanku pergi, tidak apa – apa. Aku kan membatalkan perjalananku dan menjagamu, Sayaang...” Kata sang suami mencoba menenangkan.            

            “Tidaaak.., tidaaak... !!! Aku tidak ingin menjadi beban buat pekerjaanmu sayaang..,” Kata Hanifah mencoba untuk tegar.

            “Tidak apa sayang.., Aku akan membatalkan perjalananku hari ini. Toh.., masih banyak juga pekerjaan di luar sana yang menunggu untuk Aku lamar. Untuk sementara ini, Aku batalkan terlebih dahulu buat menjagamu dan menjaga anak kita ini...” kata sang suami lagi.

            “Maafkan Aku sayaang.., “ kata Hanifah sambil menepuk – menepuk dada suaminya.

            “Tak apa sayaang.., naa sekarang.., beristirahatlah dulu.., Aku kan masakkan sesuatu untuk mu sayaang..,” Kata sang suami sambil merebahkan tubuh Hanifah ke atas dipan.

            “Iya sayaang.., Aku kan mencoba untuk beristirahat sejenak...” kata Hanifah mengiyakan saran sang suami.

            Tak berapa lama kemudian, Hanifah pun tertidur. Sementara sang suami segera pergi ke dapur untuk menyiapkan beberapa santapan untuk istri tercinta. Ia mengambil beberapa sayuran dari kebun kecil yang terletak di belakang rumah. Sebuah kebun kecil yang ditanami bermacam – macam sayuran agar dapat segera disantap ketika mereka membutuhkannya.Ia mengambil sawi putih dan beberapa bawang. Ia berencana untuk membuat santapan yang disukai oleh istrinya, yakni oseng sawi. Ia segera menyiapkan beberapa peralatan memasak dan lima menit kemudian, Ia mulai memasak.

            Sementara sang suami memasak, Hanifah tertidur dengan pulasnya di atas dipan kecil. Ia tak sadar berapa ia tertidur hingga akhirnya Ia terbangun dengan sendirinya ketika jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Ketika Ia terbangn, betapa terkejutnya Ia melihat berbagai macam hidangan sudah tersedia di atas meja kecil yang ada di depan dipan. Ia pun segera bangkit dari tiduranya dan melihat suaminya sudah ada di depan pintu kamar sambil membawa “sutil” di tangan kanannya. Hanifah yang melihat hal itupun tersenyum manis. Sang suami pun juga tersenyum hingga akhirnya sepasang kekasih itupun tertawa terbahak – terbahak.

            “Silakan di coba istriku sayaang...” kata sang suami sembari mempesilakan Hanifah untuk mencicipi masakan yang sudah ada di atas meja.

            “Iya sayaang.., Aku kan mencicipinya” kata Hanifah sambil mencoba bangkit dari dipan tempat Ia tertidur tadi. Ia segera mengambil sendok serta garpu yang sudah disediakan di sebelah kiri piring saji. Tak membuang waktu lama lagi, Hanifah segera mengambil kesempatan pertamanya untuk mengambil makanan. Ia pun mendatangi meja kecil dan mengambil nasi beserta sayur dan lauknya. Setelah Hanifah mengambil sebagian kecil dari makanan yang tersedianya, suaminya pun segera menyusul. Ia pun segera mengambil nasi dan mengambil sayur serta lauknya. Kemudian sang suami pun duduk di sebelah Hanifah untuk menemani sang istri menyantap makanannya.

            “Enak, Tak.., sayaang...?” tanya sang suami kepada Hanifah.

            “Enaak.., sayaang.., Mas ternyata pintar memasak juga...” jawa Hanifah tersipu malu. Mengingat dirinya juga belum begitu pandai memasak.

            “Besok Mas ajarin masak deh.. biar kamu bisa masakin masakan buat Aku...” kata sang suami mencoba mengajak Hanifah untuk tertawa.

            “Iyaa sayaang.., Ajarin Aku masak, Mas.., biar Aku bisa masakin masakan buat kamu, Mas..,” kata Hanifah mengiyakan ajakan sang suami.

            “Sekarang dimakan dulu makanannya yaa.., keburu dingin nanti sayurnya...” kata sang suami kembali.

            “Iyaa Mas.., Aku makan ni..” kata Hanifah sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

            Mereka berdua pun akhirnya menikmati makan siang itu secara bersama. Di hari pertama di mana diketahui Hanifah mulai mengandung bayi, sang suami tidak meninggalkan sang istri, Hanifah begitu lama dan terus berada di sisinya. Sang suami tidak tega meninggalkan Hanifah hidup sendiri dan dalam keadaan hamil muda. Sedangkan saudara – saudaranya saja berjauhan dan sulit untuk menghubungi satu sama lain. Padahal komunikasi tercepat pada saat itu adalah surat kawat atau yang sering disebu telegram. Surat itu bisa mencapai tempat penerima dalam waktu satu hari saja. Namun sejak Belanda kembali mencengkeram republik ini, surat yang harusnya dapat tiba dalam waktu satu hari itu saja pun dapat tiba di hadapan penerima dalam waktu tiga hari. Alasan yang dikeluarkan oleh pihak Belanda cukup simpel, yakni guna mencegah perlawanan kepada Belanda semakin meluas, maka isi surat yang dikontrol dari pusat perlu dicegah. Meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama, namun tetap banyak juga yang masih menggunakan jasa layanan kantor pos.

            Perjuangan Hanifah dan suaminya tidak berhenti sampai di situ saja. Hanifah sebagai istri dari seorang wartawan perang yang setiap saat terancam jiwanya selalu berusaha menguatkan hatinya agar tetap tegar di saat – saat kepergian suaminya kelak dalam menjalankan tugas. Ia terus mencoba untuk terus berada di sisi suaminya, meski itu dalam artian konotatif. Ia selalu berkirim surat ketika suaminya berada di suatu medan tempur untuk bertugas. Ia ingin selalu menemani suaminya kemanapun Ia pergi, meski itu hanya menggunakan surat.

            Akhirnya setelah cukup lama melewati masa – masa yang cukup sulit, akhirnya pada hari kesepuluh bulan kesembilan, Hanifah merasakan Ia akan melahirkan. Sang Suami pun dengan segera mencari sebuah tumpangan untuk pergi ke kota menuju ke sebuah rumah sakit. Tak memakan waktu lama, akhirnya sang suami pun kembali ke rumah dengan membawa sebuah angkutan yang dapat membawa Hanifah dengan cepat menuju rumah sakit yang ada di kota. Dan tak membuang waktu lagi, Hanifah dan suaminya pun berangkat menuju ke kota.

            Sesampainya di kota, rupanya tidak mudah untuk menembus blokade Belanda. Truk yang Hanifah dan suaminya tumpangi rupanya tidak memiliki izin untuk melewati blokade itu. Hingga akhirnya sang suami pun turun dan memperlihatkan identitas kewartawaannya sehingga satu rombongan dalam truk itu pun diperbolehkan masuk ke dalam area yang dijaga oleh Belanda tersebut. Setelah berhasil menembus blokade Belanda, truk segera melesat menuju sebuah rumah sakit kolonial khusu untuk persalinan. Tidak mencapai lima menit, truk tiba di rumah sakit itu, dan sang suami dengan cepat langsung membawa istrinya, Hanifah ke ruang persalinan untuk segera dilakukan tindakan. Namun, seperti pada umumnya sang suami tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam ruang persalinan, dan hanya diperbolehkan menunggu di luar ruangan. Sang suami yang sedari tadi harap – harap cemas hanya bisa pasrah dan berdoa agar Hanifah dan bayinya dapat selamat.

            Dua jam berlalu sejak Hanifah masuk ke ruang persalinan, namun belum ada tanda – tanda bahwa bayinya telah lahir. Barulah tiga puluh menit kemudian, seorang suster keluar dari ruang persalinan itu dan mengatakan hal yang tidak dapat dipercaya oleh sang suami. Suster itu mengatakan bahwa bayi yang lahir adalah laki laki dan lahir dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun. Sang suami pun segera masuk ke dalam ruang persalinan dan mendapati istrinya, Hanifah masih tergolek lemah namun terlihat jelas senyum manis yang mengembang dari bibirnya. Sementara bayinya, sudah bersih dan berada di sisi ibunya.

            “Mas.., anak kita yang pertama, laki – laki.., mirip sama kamu, Mas..” kata Hanifah lirih.

            “Iya Dik.., kita beri nama siapa untuk putra pertama kita ini, ya sayaang...?” kata sang suami sembari mengelus rambut Hanifah dan mengecup bayi yang masih tertidur itu.

            “Aku nurut Mas aja.., karena bayi ini laki – laki, jadi Aku nurut Mas aja...” kata Hanifah sambil tersenyum.

            “Kalo begitu.., Aku akan menamainya Agus Syarifudin..,  bagaimana sayaang...?” tanya sang suami.

            “Bagus sayaaang.., layaknya seperti nama seorang tentara...” kata Hanifah tersenyum.

            “Sayaaang..... “ ucap sang suami lirih.

            “Temani Aku lagi yaa sayaang.., Aku takut ditinggal sendiri...” kata Hanifah memohon.

            “Aku kan terus menemanimu sayaang.., kemanapun kau pergi, dan bagaimana keadaanmu, Aku kan terus menemanimu.., sayaang.., “ Ucap sang Suami sambil mengelus rambut Hanifah yang masih basah oleh peluh keringat. “Sekarang, istirahatlah dulu sayaang.., Aku kan menjaga bayi kita..”


HANIFAH (II)

-----****-----


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Aku Pulang Kuliah

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR