LANGIT GELAP (I)



LANGIT GELAP

Oleh: M. Irfan Luthfi


            Langit gelap, mendung. Angin kencang berhembus. Pohon – pohon besar berayun. Dahan – dahan jatuh. Semua menjadi seperti tak terkendali. Di sore itu. Amir dan kawan kawannya masih saja tetap bermain bola tanpa memperhatikan keadaan cuaca yang semakin memburuk dan tidak tentu. Mereka terus saja berlari, menggiring bola, berteriak teriak, dan tidak menyadari bahaya yang mengintai mereka ketika bermain di lapangan luas di saat cuaca yang tidak bersahabat. Burung – burung yang sebelumnya tenang pun ikut panik setelah pohon tempat mereka hinggap bergoyang cukup hebatnya ditiup oleh angin yang cukup besar dan cukup hebat. Suasana di sore itu bak akan terjadi hujan badai yang hebat, namun terlalu menipu untuk menjadi sebuah hujan badai.


            Amir terus saja bermain bola. Hingga tiba – tiba langit murka dan menyambarkan sesuatu yang menggelegar dan tidak tampak kasat mata. Semua orang di tempat itu terjatuh dan setelah semua tersadar barulah terlihat kerusakan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang menyambar tadi. Sebuah lubang besar menganga terbentuk di tengah lapangan. Dan di dekatnya Amir tampak tergeletak tidak bergerak. Kawan – kawannya yang ikut bermain bola bersamanya tadi segera mendekati tubuhnya dan memeriksa apakah dia masih bernapas.

            “Amiir..., Amiir...!!!..., Amiir.., !!!!” bangun.., bangun..,!!! Katakan sesuatu.., Amiir....!!!!” Teriak salah satu temannya sambil menggoyang – goyangkan tubuhnya.

            “Amiiir....!!! Banguuun...!!!” Teriak salah satu temannya yang lain.

            Selama lima belas menit lamanya, teman – temannya berusaha menyadarkan Amir. Mereka semua tahu bahwa Amir masih hidup karena hembusan napasnya masih dapat dirasakan, meski lemah. Mereka semua terus mencoba membangunkan Amir hingga akhirnya beberapa orang tua datang ke tempat itu dan mencoba melihat apa yang terjadi. Orang – orang tua itu pun langsung menyeruak masuk ke dalam kerumunan anak – anak. Tanpa basa – basi lagi, salah seorang orang tua yang datang itu langsung mengangkat tubuh Amir dan dibawa ke tempat yang teduh dan kering. Dialah Pak Bakri, salah satu warga yang tinggal di dekat lapangan tempat Amir dan teman – temannya bermain. Ia langsung meletakkan tubuh Amir di sebuah amben yang terletak tidak jauh dari lapangan itu. Tempat itu –meski kecil, namun cukup kering dan nyaman. Pak Bakri segera melepaskan baju yang dikenakan Amir, dan kemudian melipatnya dan dijadikan sebagai bantal untuk Amir berbaring.

            Anak – anak yang lain –yang ikut bermain bersama Amir segera mengikuti ke mana Pak Bakri pergi. Sesampainya di amben tadi, mereka langsung membentuk kerumunan lagi seperti ketika Amir tak sadarkan diri di tengah lapangan tadi.

            “Hey, kamu....! jangan hanya berdiri di situ saja.., carikan sesuatu yang dapat menghangatkan tubuh temanmu ini....!” bentak Pak Bakri pada salah seorang teman Amir, Rudi.

            “Tapi, Apa Pak...? Semua basah di sini....” jawab Rudi.

            “Tidak punyakah kau sesuatu di rumah...? bawa kemari dan tolonglah temanmu ini...!” perintah Pak Bakri lagi.

            “Iya, Pak.., Iya.., Pak.., Saya ke rumah dulu mengambil sesuatu...” Kata Rudi sambil membalikkan badannya, bersiap berlari menuju ke rumahnya.

            “Baik.., yang lain juga lakukan hal yang sama.., cari sesuatu yang dapat menghangatkan tubuh temanmu ini....!” perintah Pak Bakri ke semua anak – anak yang masih berkerumun di amben itu.

            “Baaaiiik..., Pak Bakrii....!!!!” jawab anak – anak itu serentak.

            Anak – anak segera bubar dari tempat mereka berkerumun tadi. Mereka segera berlari menuju ke rumah masing – masing untuk mencari sesuatu yang bisa menghangatkan tubuh teman mereka. Sementara anak – anak bubar ke rumah masing – masing, para orang tua berkumpul di amben tadi. Salah seorang orang tua yang lain, Pak Farid membuka percakapan.

            “Pak, akhirnya terjadi juga.., Aku harap ini tidak terjadi lagi. Masa lalu benar – benar mengingatkannya pada hal yang terburuk...” kata Pak Farid.

            “Aku harap, Amir bukan kelahiran yang kita takutkan. Apalagi jika terpicu oleh kejadian tadi” kata salah seorang orang tua yang lain, Pak Nur.

            “Bukan, Amir bukan kelahiran yang kita takutkan.., karena Ia termasuk kelahiran natural.” Kata Pak Bakri.

            “Tapi, apakaha kau melihat kilat tadi yang menyambar tubuh Amir...? kilat itu berwarna merah menyala..., seperti pada waktu itu...” kata Pak Nur.

            “Ya.., meskipun itu berwarna merah.., tapi tidak berpengaruh pada Amir.., karena Ia kelahiran natural.., Ia tidak akan terpengaruh oleh kekuatan itu...” jelas Pak Farid. Yang perlu kita takutkan adalah Rudi.., meskipun dia anak yang baik – baik, namun dia termasuk kelahiran spiral. Ada kekuatan di dalam tubuhnya yang belum terpicu untuk keluar. Aku sangat harap – harap cemas tadi, apalagi jika yang kilat itu menyambar tubuh Rudi...”

            “Lantas, Amir kan baik – baik saja...?” tanya Pak Nur.

            “Ya, untuk sementara ini, ia baik – baik saja. Karena Ia kelahiran natural, maka kekuatan yang ada di dalam tubuhnya tidak akan terlalu terpicu.” Jelas Pak Bakri.

            “Syukurlah, berarti yang kita khawatirkan sekarang adalah Rudi...?” tanya Pak Nur.

            “Iya, Rudi, dia kelahiran spiral. Tidak kau lihatkah tanda yang ada di tangannya?” jawab Pak Bakri.

            “Tanda di tangan Rudi, jelas – jelas menampakkan bahwa Ia kelahiran spiral. Namun kedua orang tuanya tidak mengetahuinya jika putranya memiliki kekuatan yang hebat namun kalah dalam pengendalian. Sehingga cenderung akan menggunakan kekuatannya untuk hal – hal yang merusak.” Tambah Pak Farid.

            Sesuat yang mereka bertiga bicarakan adalah bukan sesuatu yang asing lagi. Mereka bertiga sedang membicarakan kejadian yang beberapa puluh tahun terjadi di desa mereka. Sebuah batu meteor sebesar genggaman tangan orang dewasa jatuh di tengah lapangan tempat Amir dan teman – temannya bermain tadi. Meteor tersebut sebelumnya tidak diketahui oleh warga di sekitar lapangan tersebut, namun setelah ketiga orang tua tadi, Pak Nur, Pak Farid, dan Pak Bakri bermain di lapangan tadi, mereka menemukan benda yang disebut meteorit itu tadi. Batu meteorit yang mereka temukan itu sangatlah aneh. Berwarna merah menyala dan memantulkan cahaya. Karena mereka bertiga tidak mengetahui benda apakah itu, mereka pun lantas memainkannya. Hingga tak sengaja batu itu jatuh dan terantuk oleh batuan yang ada di sekitar lapangan tersebut sehingga pecah berkeping keping. Setelah batu itu pecah, satu hal kejadian aneh kembali terjadi. Pecahan – pecahan batu tadi melayang dan kemudian melesat menyebar ke segala arah dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Batu itu menusuk dan masuk ke dalam tubuh orang – orang yang sedang kebetulan berada di sekitar lapangan. Namun orang – orang tidak merasa jika mereka baru saja terkena serangan batu meteorit aneh. Anehnya lagi, perut ataupun bagian tubuh mereka yang lain, tidak ada yang terluka.

            Setelah kejadian itu, mulai timbullah hal – hal aneh. Mulai terlihat kelahiran – kelahiran bayi yang dibilang cukup “aneh”. Beberapa bayi yang lahir menunjukkan hal – hal yang tidak seperti pada bayi – bayi pada umumnya. Seperti sudah bisa merangkak, ataupun berjalan meskipun baru beberapa bulan dilahirkan. Hal – hal aneh ini kemudian berlanjut ketika dewasa. Anak - anak dari kelahiran – kelahiran tadi, memiliki sebuah kekuatan yang berbeda dengan orang – orang pada umumnya. Kekuatan itu dapat berupa, keahlian berpikir yang melebihi dari rata – rata orang pada umumnya, kekuatan untuk mengangkat benda berat meski hanya satu orang saja, ataupun kekuatan untuk menerbangkan benda – benda, dan sebenarnya masih banyak lagi kekuatan – kekuatan yang lain. Meskipun kekuatan ini bisa dibilang seperti anugerah dari Yang Maha Kuasa, namun tipe kelahiran ternyata menentukan anak – anak dari tiap kelahiran tadi. Kelahiran tipe satu bisa dibilang kelahiran natural. Yakni kelahiran yang terjadi pada satu bulan purnama. Anak – anak yang mengalami kelahiran natural memiliki kekuatan yang berbeda. Kekuatan itu adalah pada pengontrolan pada kekuatan yang masing – masing anak miliki. Sehingga kelahiran natural lebih bisa mengontrol kekuatannya untuk tidak mudah terpicu.

            Berbeda dengan kelahiran yang disebut sebagai kelahiran spiral. Dikatakan demikian karena kelahiran terjadi saat bulan sabit terjadi. Anak – anak kelahiran spiral ini memiliki kelebihan yakni mereka dapat memaksimalkan penggunaan kekuatan mereka lebih dari seratus persen. Namun mereka juga memiliki kelemahan, yakni tidak bisa mengontrol atas kekuatan mereka sendiri. Sehingga, pada akhirnya kekuatan merusaklah yang keluar dari anak – anak kelahiran spiral. Inilah yang selalu ditakuti oleh Pak Nur, Pak Farid, dan Pak Bakri. Apalagi, ternyata kekuatan – kekuatan itu terus turun hingga paling tidak sampai ke keturunan kesepuluh.

Hal yang paling menakjubkan dari kejadian ini adalah, orang – orang yang terkena batu ini, ataupun keturunannya bakal immortal ataupun tidak dapat mati. Dan Pak Nur, Pak Farid, serta Pak Bakri sebenarnya sudah hidup di dunia selama seratus lima puluh tahun. Mereka selalu berpindah – pindah tempat untuk menghindari kecurigaan orang – orang dan sepuluh tahun terakhir ini, mereka bertiga tinggal di desa yang sekarang mereka tempati ini.

“Untung yang terpicu bukan Rudi, ya Pak., karena dia keturunan spiral.” Kata Pak Farid.

“Iya, untung sekali Amir yang tersambar. Karena dia kelahiran natural, kita yakin bahwa kekuatannya pasti akan terpicu namun Amir dapat mengontrolnya.” Kata Pak Bakri.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak mungkin mengisolasi anak itu dari dunia luar?” Tanya Pak Farid.

“Itu yang sedari tadi saya pikirkan Pak Farid, kita saja agar bisa hidup tenang saja harus berpindah pindah tempat terus. Apalagi jika Amir, yang kekuatannya baru saja terpicu. Berarti di bisa immortal.” Kata Pak Nur

“Kita harus berbicara dengan keluarganya, dengan menunjukkan fakta – faktanya dan menunjukkan sedikit kekuatan yang Amir miliki. Dengan begitu, keluarganya akan percaya jika Amir benar – benar terpicu kekuatannya karena petir tadi.” Kata Pak Bakri menambahkan.

“Namun, tidak semudah itu Pak Bakri. Karena ini menyangkut masalah yang benar – benar di luar jangkauan pikiran manusia. Jika kita tiba – tiba saja menceritakan hal seperti itu, bagaimana dengan keluarganya?. Justru kemungkinan terburuk yang kita hadapi adalah, keluarganya menganggap kita sebagai orang dungu dan akan menyebarkan berita kita kepada orang lain. Akhirnya kita sendiri yang tidak bisa hidup tenteram....” kata Pak Nur.

“Resiko untuk tidak hidup tenteram adalah resiko kita, Pak.., kita sudah seratus lima puluh tahun hidup dan kita sudah merasakan tinggal di berbagai tempat karena hanya untuk kita merasa hidup nyaman dan orang – orang tidak curiga dengan keberadaan kita yang sudah hidup seratus lima puluh tahun ini...” Kata Pak Bakri lagi. “Apa kita culik saja si Amir ya...? barulah kita beritahu rahasia mengapa kita culik Amir hanya kepada Amir sendiri....”

“Sepertinya usul itu sangat bagus, Pak.., bahkan bapak pernah menculik saya kan dulu setelah saya mengalami hal yang sama...” kata Pak Farid.

“Hahahaha.., “ Pak Bakri pun tertawa.”Memang benar, dulu kami membuat rencana untuk menculik bapak dan menjelaskan mengapa bapak kami culik. Sepertinya rencana itu bisa kita gunakan kembali. Mengingat keadaan Amir sekarang sama persisi dengan keadaan Pak Farid dulu.”

Akhirnya mereka bertiga pun sepakat untuk menculik Amir. Pada malam harinya, mereka bertiga pun berkumpul di sebuah gudang yang berada di dekat lumbung padi milik keluarga Amir. Di gudang itu, hanya ada sebuah meja kecil, dan sebuah lampu yang mengantung di tengah. Ketiga orang tersebut pun dengan sangat serius merencakan penculikan Amir. Meskipun malam itu hujan sangat deras dan guntur menyambar – menyambar, namun hal itu tidak mengurangi keseriusan mereka dalam menyusun rencana besar itu.

            Akhirnya, mereka bertiga pun selesai menyusun rencana. Jam di dinding gudang menunjukkan bahwa hari telah pagi. Pukul tiga pagi, waktunya orang – orang desa terbangun dan mereka harus segera menyelesaikan pertemuan mereka supaya tidak menimbulkan kecurigaan orang – orang. Mereka bertiga pun segera membubarkan diri. Keluar dari gudang dan menyebar ke segala arah dengan membawa potongan – potongan rencana penculikan yang telah mereka buat. Hari itu, penculikan akan segera mereka lakukan.

LANGIT GELAP (I)

-----****-----

Bersambung..., 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Aku Pulang Kuliah

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR