MIMPI YANG ABADI





MIMPI YANG ABADI

Oleh: M. Irfan Luthfi


            Namaku Amir. Aku adalah anak jalanan yang hidup di bawah kolong jembatan kereta di sebuah kota besar yang cukup terkenal. Hidupku sepertinnya memang seperti ini. Tidak ada hal yang berubah dan dari kecil hanya menjadi anak jalanan yang terus saja bekerja di bawah terik sinar mentari dan di tengah perempatan jalan yang tak pernah sepi. Seandainya saja Aku mengetahui benar kisah hidupku, bagaimana Aku bisa menjadi seorang anak jalanan seperti ini, pasti Aku kan mencoba sebuah usaha kecil untuk mengubah hidupku ini.


            Pagi hari kembali menyambut. Sinar mentari pagi mulai menembus sela – sela sambungan kardus yang sengaja ku bentuk menyerupai sebuah tempat bernaung yang nyaman. Layaknya anak jalanan yang lain, Aku bangun begitu saja dari tidur dan bergabung dengan anak anak yang lain. Kami tidak pernah melakukan apapun di pagi hari. Yang kami tahu hanyalah bangun dari tidur dan berkumpul dengan anak – anak yang lain untuk merencanakan sesuatu untuk hari itu. Aku dan anak – anak yang lain memang tak pernah mengenyam pendidikan. Sehingga agama pun Aku tak kenal. Jangankan beribadah, Tuhan pun Aku tidak tahu. Yang Aku tahu hanyalah bagaimana cara bertahan hidup di tengah – tengah kehidupan kota yang keras ini.

            Saat berkumpul, biasanya Aku merasa tenteram. Seperti ada keluarga kecil yang melindungi diriku. Keluargaku adalah anak – anak jalanan ini. Yang tak pernah mengenal siapa Ayah dan Ibu mereka. Meskipun beberapa dari mereka masih memiliki orang tua. Namun sebagian besar dari kami, termasuk Aku benar – benar tidak mengenal siapa orang tua yang telah melahirkan Aku, dan mereka. Saat berkumpul itulah, Aku benar – benar merasa memiliki keluarga meskipun itu bukan bapak atau ibuku. Namun hanyalah anak – anak jalanan yang memiliki nasib serupa denganku.

            Di jalanan Aku dikenal sebagai pemain musik yang handal. Sehingga seringkali, ketika kami mengamen, Akulah yang diserahi untuk memainkan sebuah alat musik yang sudah menjadi teman hidupku selama kurang lebih tiga belas tahun ini. Alat musik itu sangat umum dan tidak asing bagi semua orang. Alat musik itu bernama gitar. Gitar klasik yang sudah cukup tua umurnya dan suaranya sudah tidak senyaring dulu. Beberapa bagian dari gitar itu sudah mulai mengeropos dan menyisakan tulangnya saja. Meskipun begitu, Aku terus mencoba merawat gitar itu sebaik mungkin. Karena itu adalah sisa harapan hidupku satu – satunya. Selebihnya tidak ada lagi yang dapat kuharapkan.

            Ketika mentari mulai beranjak naik, dan jalanan mulai ramai kembali dengan kendaraan orang – orang berpunya, Aku pun mulai beranjak dari tempatku berkumpul. Aku pun mengambil semua perlengkapan yang sering Aku bawa ketika mengamen. Sebuah topi biru kusam, tas kecil yang sudah sobek di salah satu bagiannya, dan yang terpenting gitar tua yang sudah keropos itu. Setelah mengambil semua barang – barang itu, Aku kembali ke kerumunan anak – anak jalanan itu dan mengajak mereka untuk segera bersiap juga. Berharap agar rejeki pada hari ini dapat lebih banyak dari kemarin. Semua anak jalanan itu pun segera bergegas kembali ke tempat bernaung mereka dan mengambil semua peralatan yang dibutuhkan. Ada yang mengambil pipa pralon yang dimodifikasi mennyerupai kendang. Ada yang mengambil kecekan. Dan ada pula yang mengambil gitar kencrung. Semua alat mereka manfaatkan untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu.

            Demikian pula denganku, setelah Aku dan anak – anak yang lain siap, kami pun mulai bergerak menuju sebuah perempatan jalan yang cukup ramai namun tidak ada kelompok anak – anak jalanan lain yang menempati tempat tersebut. Apabila kami mendapat anak – anak jalanan lain telah menempati tempat tersebut, maka sudah menjadi tradisi kami harus mencari tempat lain yang belum ditempati. Apabila kami memaksakan diri, maka yang terjadi adalah tawuran yang benar – benar tidak dapat terhindarkan. Namun syukurlah untuk hari ini, perempatan dekat tempat bernaung kami belum ditempati oleh anak – anak jalanan yang lain. Langsung saja, Aku bersama anak – anak yang lain menuju perempatan itu dan segera mengamen kepada pengendara yang sedang berhenti menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.

            Aku bekerja cepat. Karena jarak antara lampu merah dengan lampu hijau di perempatan itu tidak ada dua menit. Sehingga Aku dan anak – anak sepakat bahwa satu menit digunakan untuk memainkan musik dan bernyanyi sedangkan satu menit sisanya untuk mengamen. Memang satu menit untuk mengamen bukanlah waktu yang cukup banyak, namun hasil yang Aku dan anak – anak dapat sudah sangat lumayan. Karena biasanya pengendara – pengendara yang berhenti mengeluarkan uang berkisar lima ratus hingga seribu rupiah. Sedangkan waktu kerja kami dari pagi hari hingga sore menjelang matahari terbenam. Untuk makan siang biasanya kami tiadakan karena agar penghasilan kami lebih banyak dan lebih dapat memenuhi kebutuhan kami.

            Akhirnya waktu telah beranjak sore. Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Aku dan anak – anak segera memutuskan untuk mengakhiri mengamen kami di hari itu. Kemudian kami segera berkumpul di satu tempat untuk menghitung jumlah penghasilan yang kami dapatkan pada hari itu. Satu persatu lembaran uang yang kami terima dari pengendara – pengendara itu kami hitung. Baik itu uang receh maupun uang kertas, kami hitung semua hingga benar – benar semua uang yang ada di dalam kotak tidak ada yang tertinggal. Setelah semua terhitung, kami pun membagi rata penghasilan yang kami dapatkan pada hari itu. Benar – benar rata sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Barulah setelah itu Aku dan anak – anak yang lain bisa menggunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhan hidup di hari itu.

            Aku pun segera saja pergi ke warung makan terdekat untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Semenjak disepakati bahwa untuk waktu makan siang ditiadakan, Aku harus benar – benar menahan lapar dan haus seharian penuh. Kesemua itu dilakukan demi mendapatkan penghasilan lebih sehingga kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Maklumlah, semenjak semua harga kebutuhan naik, Aku harus lebih pandai – pandai mengatur pemasukan yang Aku dapatkan. Meskipun demikian, Aku masih sempat menyisihkan beberapa lembar uang dari penghasilanku. Aku masih ingin menggapai sesuatu yang benar – benar Aku impikan. Sebuah impian yang mungkin dimiliki oleh banyak orang lain. Yakni berkumpul dengan keluarga. Oleh karena itu dengan usahaku menyisihkan beberapa lembar uang ini, Aku berharap dapat mencari tahu keberadaan orang tuaku sehingga Aku dapat bertemu dengan mereka. Meskipun itu Aku harus pergi jauh dan tak jelas kapan kembalinya, namun Aku masih memiliki impian itu. Yakni impian untuk bertemu untuk orang tua yang telah melahirkanku.

            Aku tak pernah habis pikir, mengapa Aku ditinggalkan sendirian di tengah liarnya kehidupan kota besar di mana Aku tinggal sekarang. Aku berharap setelah dapat bertemu dengan mereka, Aku bisa mendapatkan sedikit rasa kasih sayang dari mereka. Dalam arti meskipun sangat kecil kemungkinan Aku dapat diterima kembali. Tetapi hal itu tak menyurutkan niatku untuk mewujudkan impianku ini. Bahkan, mungkin impianku ini baru bisa terwujud setelah Aku cukup tua nanti. Lebih jauh lagi, mungkin tidak pernah akan terwujud dan hanya menjadi mimpi yang abadi karena Aku telah mati sebagai anak jalanan yang tidak pernah mengenal orang tuanya.


----- ***** -----

Cerita ini didedikasikan untuk perjuangan anak – anak jalanan yang berjuang untuk hidup ditengah kerasnya kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Aku Pulang Kuliah

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR