SENJA KELABU DI BULAN MARET
Senja
Kelabu di Bulan Maret
Oleh:
M. Irfan Luthfi
Kereta
penumpang terakhir malam itu baru saja berangkat. Sesaat sebelum
rangkaian kereta itu benar – benar hilang ditelan gelapnya malam,
Aku masih sempat melihat lambaian sapu tangan putih yang Ia lambaikan
melalui jendela kereta. Aku hanya berdiri saja dan terus melihat
lambaian sapu tangan itu tanpa memberikan reaksi sedikitpun. Masih
agak berat juga dengan kepergiannya, namun itulah yang harus terjadi
dan mungkin memang harus terjadi. Baru beberapa saat kemudian,
gerbong terakhir dari kereta itu mulai menghilang ditelan kegelapan
malam. Saat itulah, Aku benar – benar sudah tidak melihat lambaian
sapu tangannya. Dengan perlahan, Aku berjalan meninggalkan peron di
mana Aku menerima salam perpisahan terakhir darinya. Aku menyebutnya
sebagai salam terakhir, karena Aku sendiri tidak tahu kapan dia akan
kembali.
Masih
teringat benar akan kenangan masa lalu di mana kisah pertama di mana
kami bertemu. Di sebuah ajang perhelatan yang wajib di gelar di awal
kegiatan perkuliahan. Kami hanya bertemu di sebuah kelompok kecil
yang merupakan bagian dari sebuah kelompok besar. Kami saling
berkenalan bukan sebagai sama – sama orang yang menjalani
perhelatan itu, namun sebagai kakak dan adik. Seorang adik yang terus
menggali ilmu dari kakaknya agar dapat berhasil dalam menjalani
perhelatan akbar itu. Mulai dari pertemuan pertama hingga berakhirnya
perhelatan akbar itu, Aku terus belajar padanya bahkan intensitasnya
melebihi dari teman – teman yang lain. Sampai – sampai Aku
dibilang “yang paling ber-SMS an” dengan kakak itu. Namun, secara
sadar atau tidak saat itulah Aku mulai untuk lebih dekat dengan
kakak itu.
Selepas
perhelatan awal perkuliahan itu selesai dilaksanakan, intensitasku
untuk berkirim pesan dengannya mulai berkurang. Karena Aku sendiri
sudah harus mempersiapkan semua kebutuhan kuliahku. Meskipun
demikian, Aku juga tidak begitu saja meninggalkan hal itu. Aku masih
tetap berkirim pesan dengannya, hanya saja intensitasnya yang
dikurangi. Tidak sesering ketika Aku masih belajar dengannya saat
perhelatan akbar itu masih berlangsung. Jujur saja, Aku menyimpan
rasa suka terhadapnya namun Aku masih bingung bagaimana cara
menyampaikannya. Berbagai cara sudah Aku lakukan termasuk melakukan
“pancingan – pancingan” kecil agar kata – kata yang Aku
pendam itu dapat keluar dengan mudah. Namun tetap saja sulit.
Setelah
turun dari peron, Aku segera mencari sebuah bangku di tempat tunggu
penumpang. Tanpa mengeluarkan banyak tenaga, Aku menemukan sebuah
bangku kosong. Aku segera menuju bangku itu dan menempatkan diriku
setibanya di sana. Kusandarkan punggung yang terasa pegal ini dan
mencoba untuk bersantai. Sembari bersantai kuambil sebuah headset
dari kantong kemejaku. Memasangnya pada telepon genggam, dan
mendengarkan mp3 dari
musik player yang ada di sana. Sembari Aku mendengarkan mp3
itu, Aku terus teringat dengan semua hal yang pernah kami lakukan
sebelum perpisahan malam ini. Namun apa daya, Ia telah melambaikan
sapu tangannya. Bagiku itu berarti bahwa Ia memutuskan untuk
melakukan perpisahan sampai waktu yang tak dapat ditentukan.
Hawa
dingin segera menusuk tulang, begitu Aku melihat bahwa jam di stasiun
sudah menunjukkan jam setengah sebelas malam. Segera kukenakan jaket
hitam yang sedari tadi hanya Aku selipkan di tas punggung yang
kubawa. Dengan cepat Aku segera mengenakan jaket itu, namun tidak
kukancingkan. Sehingga bagian depan dari jaket itu masih terbuka, dan
Aku hanya merapatkannya saja dengan baju yang kukenakan malam itu.
Tanpa mempedulikan hawa dingin yang masih bisa masuk dan menusuk
tulang, Aku segera menarik tasku dan kuletakkan di salah satu ujung
bangku tersebut. Tanpa membuang waktu lagi, segera saja kuluruskan
kakiku dan kurebahkan tubuhku ini di atas bangku tersebut. Kuletakkan
kepalaku di atas tas yang sudah kusiapkan tadi. Malam itu Aku tidur
di stasiun.
Aku
bermimpi, Aku melihat seberkas cahaya di hadapanku. Seberkas cahaya
itu makin lama makin menjauh dan akhirnya tidak tampak lagi.
Sementara yang terlihat saat itu hanyalah kegelapan yang semakin lama
semakin gelap hingga Aku tidak bisa melihat apa – apa lagi. Aku
benar – benar sendiri di dalam mimpiku. Gelap yang menyelimuti itu
menjadi teman di mimpiku malam itu. Terasa sekali bahwa Aku, di dalam
mimpiku juga merasakan hal yang sama, yakni baru saja merasakan apa
yang disebut salam perpisahan. Aku benar – benar tidak mengerti
mengapa apa yang kuimpikan malam ini bisa sama persisi dengan apa
yang Aku alami pada hari ini. Hal itu membuatku semakin yakin bahwa,
Ia memang pergi untuk waktu yang cukup lama.
-----*****-----
Pagi
harinya, Aku tersentak bangun dari tidur. Seorang petugas keamanan
dengan peralatan keamanan lengkap menghampiri bangku tempat Aku tidur
dan membangunkanku. Petugas keamanan itu menggoyang – goyangkan
tubuhku dan hal itu membuat Aku terkejut dibuatnya. Aku segera
bangkit dari tidurku dan membereskan semua benda – benda yang
kugunakan untuk tidur malam itu. Jaket yang kukenakan segera
kulepaskan dan kuselipkan kembali di tas punggung yang kubawa.
Setelah semua kembali beres dan rapi, Aku segera meninggalkan tempat
itu. Aku juga tidak ingin berlama – lama di tempat itu hanya untuk
menunggu jawaban, akankah dia kembali?.
Sambil
menggendong sebuah tas punggung yang tak jelas isinya, Aku keluar
dariKokoro no Hane.mkv stasiun itu dan berjalan menuju tempatku
memarkirkan sepeda motor. Sambil berjalan, Aku merogoh ke dalam saku
celana mencari – cari karcis parkir. Sudah menjadi aturan, ketika
seseorang yang memarkirkan sepeda motornya di tempat yang sudah
ditentukan, pasti akan diberikan sebuah karcis yang menjadi tanda
bukti bahwa sepeda motor itu adalah miliknya. Setelah cukup lama
mencari, akhirnya kutemukan sebuah karcis parkir yang lusuh. Walaupun
lusuh, namun nomor seri yang Kokoro no Hane.mkvtertera di karcis itu
masih dapat dibaca dengan jelas. Tanpa memasukkannya kembali, Aku pun
menggenggam karcis itu dan menyerahkannya kepada tukang parkir yang
sedang berjaga saat itu. Tukang parkir itu pun menerima karcis parkir
dan uang jasa yang kubayarkan. Tidak sampai sepuluh menit, Aku pun
keluar dari area stasiun itu dan pulang ke rumah.
Selama
perjalanan, Aku tidak habis – habisnya berpikir bagaimana hal itu
bisa terjadi. Mengapa hal yang seharusnya bisa menjadi baik, namun
malah menjadi semakin buruk. Apakah ada yang salah dengan apa yang
Aku lakukan selama ini. Okelah, Aku hanya mengerjakan sebuah
pekerjaan dan tantangan besar sebagai mahasiswa Teknik Informatika di
sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Aku suka mengembangkan
diriku untuk bisa lebih maju daripada orang lain yang ada
disekitarku. Tapi apakah itu salah, dan cukup membuat sakit hatinya,
sehingga Ia mengucapkan salam perpisahan kemarin malam. Mungkinkah
itu adalah sebuah gambaran bagaimana pekerjaan kita kelak? Di mana
kita harus meninggalkan keluarga kita untuk menyelesaikan sebuah
pekerjaan yang itu sangat menyita waktu luang. Sebuah pekerjaan yang
menurutku itu kelak sangat bermanfaat bagi banyak orang setelah Aku
lulus dari perguruan tinggi itu.
Perjalanan
selama setengah jam itu benar – benar terasa hanya sebentar buatku.
Pikiran yang kemana – mana membuat Aku tidak terlalu memperhatikan
jalanan yang ada di depanku. Aku hanya berkendara seperti pengendara
yang lain, mengikuti arus lalu lintas dan tidak melakukan hal – hal
yang lebih daripada itu. Sungguh, pikiran yang sedang kemana – mana
membuat Aku tidak sadar akan keadaan sekeliling. Sehingga, ketika Aku
sadar, Aku sudah sampai di sebuah perempatan besar di dekat rumahku.
Aku berpikir jika Aku kembali ke rumah sekarang, pasti orang tuaku
akan bertanya macam – macam kepadaku. Layaknya seorang penjahat
yang baru saja melakukan kejahatan, Aku pasti akan diinterogasi
dengan berbagai macam pertanyaan. Hingga akhirnya Aku pun memutuskan
untuk tidak pulang dulu pada hari itu, namun kembali ke kampus untuk
menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai. Sungguh setelah Aku mulai
memberanikan diri untuk maju, Aku mendapatkan banyak pengalaman yang
sungguh berharga. Pengalaman – pengalaman itu banyak sedikit
memberikan gambaran akan duniaku di masa yang akan datang. Menjadi
seorang ahli, guru, atau teknisi IT merupakan pilihan pekerjaan yang
dapat Aku pilih nanti. Namun pada intinya adalah sama, seorang IT
pasti akan lebih banyak bekerja di belakang layar untuk kemanfaatan
bersama.
Tanpa
membuang waktu lagi, Aku pun segera melajukan sepeda motorku menuju
ke kampus. Meski itu pun berarti Aku harus memutar jauh, namun hal
itu terpaksa Aku lakukan supaya pikiranku dapat kutenangkan terlebih
dahulu. Pekerjaan yang Aku lakukan ini benar – benar membuatku lupa
akan segalanya. Bahkan, mungkin, secara sadar, pekerjaan yang Aku
lakukan ini menjadikan senja suatu hari di Bulan Maret itu menjadi
kelabu. Aku pun menyadari sepenuhnya hal itu. Sungguh, Aku menyadari
hal itu. Bahwa senja kelabu di Bulan Maret itu, Akulah penyebabnya.
-----*****-----
Komentar
Posting Komentar