HARAPAN

HARAPAN
Oleh: M. Irfan Luthfi


            Pagi yang sunyi, sepi, dan menyayat hati. Laksana tak ada gelombang kehidupan yang mengalir. Pagi itu benar – benar sepi dan semuanya tetap tak terjadi apa – apa hingga suara kokok ayam pertama di pagi itu lepas ke udara. Begitu kokok ayam pertama tadi memecah keheningan, satu persatu lampu dari tiap rumah yang ada di tempat tersebut menyala. Menandakan kehidupan telah kembali dan orang – orang yang berada di tempat itu bersiap untuk beraktivitas kembali.



            Sartono, anak seorang petani yang tinggal di tempat itu. Umurnya baru lima belas tahun, dan Ia masih duduk di bangku SMP. Ia merupakan anak tunggal dari seorang petani tersebut. Seperti orang – orang lainnya, begitu mendengar kokok ayam pertama lepas ke udara, Ia pun segera terbangun dan bersiap untuk menjalankan aktivitas pagi harinya. Jam dinding di pagi tiu kira – kira masih menunjukkan pukul tiga pagi. Namun, sudah menjadi kebiasaan orang – orang di tempat itu..., ketika mendengar suara kokok ayam pertama lepas ke udara.., mereka pasti akan segera terbangun dan menjalankan aktivitasnya tanpa mempedulikan masih jam berapakah di pagi itu.

            Sukino, Ayah Sartono merupakan petani terpandang di tempat tersebut. Ia terpandang karena selalu menemukan metode – metode yang baik dalam menanam, merawat, dan memanen hasil bumi yang di tanam. Mulai dari bagaimana cara membajak dan mengolah tanah yang baik, memberikan pupuk yang baik, dan memberikan pengairan yang cukup pada tanaman yang masih tumbuh, hingga bagaimana melakukan pemanenan yang baik sehingga tidak merusak tanaman yang akan di panen. Metode – metode ini pula yang membuat tempat Bapaknya dan orang – orang tinggal menjadi terkenal ke seluruh negeri karena hasil pertaniannya yang baik.

            Sartono hanya tinggal berdua bersama Bapaknya. Ibunya sudah meninggal ketika melahirkannya. Sehingga bisa dikatakan, Ia belum pernah melihat paras ibunya secara langsung. Namun, Ia dapat membayangkan paras Ibunya yang cantik walaupun hanya melalui foto – foto yang dimiliki oleh Bapaknya. Foto tersebut selalu ia letakkan di meja sebelah tempat tidurnya, sehingga ketika Ia tidur, Ia dapat melihat dan memandangi paras Ibunya sejenak sebagai obat penawar rindu.

            Meski hanya tinggal berdua dengan Bapaknya, hal itu tidak pernah membuat Sartono berputus asa. Ia tetap semangat menjalani hari – harinya berdua dengan Bapaknya. Ia dan Bapaknya selalu berbagi tugas. Untuk urusan dapur dan rumah tangga, Ia yang mengerjakannya. Untuk urusan mencari nafkah, merawat sawah dan sebagainya, Bapaknya lah yang mengurusnya. Meskipun terkadang, ketika pekerjaan rumah telah usai, Ia datang ke sawah dan membantu Bapaknya.

            Pagi itu adalah hari yang berbeda bagi Sartono. Sejenak Ia memandangi sebuah kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Pada kalender terpampang jelas bahwa hari ini adalah tanggal 29 Desember. Jikalau Ibunya masih hidup, inilah hari ulang tahunnya. Ia merasa sedih, tiap kali mendapatkan tanggal ulang tahun Ibunya. Karena Ia tidak dapat memberikan apa – apa kecuali hanya doa yang terus dipanjatkan untuk keselamatan Ibunya agar dapat masuk ke dalam surga. Tiap tanggal ulang tahun Ibunya, Ia pasti selalu datang ke makam bersama Bapaknya sekadar untuk membersihkan makam Ibunya dan mendoakannya. Dan Ia akan melakukannya lagi hari ini sepulang dari sekolah nanti siang. Oleh karena itu, Ia segera menemui Bapaknya sebelum terlambat berangkat ke sawah. Beruntung bagi Ia menemukan Bapaknya yang masih menyiapkan peralatan. Ia pun segera menghadap Bapaknya.

            “Pak, hari ini kita pergi ke makam Ibu ya...” Pinta Sartono

            “Eh, Apakah hari ini ulang tahun Ibumu?” Tanya bapaknya.
           
            “Iya Pak.., hari ini tanggal 29 Desember, ulang tahun Ibu” Jawab Sartono kembali.

            “Baiklah jika begitu, nanti pulang sekolah jam berapa?” Tanya bapaknya lagi.

            “Sekitar jam dua belas siang sudah pulang, Pak...” Jawab Sartono sembari mengingat jadwal – jadwal pada hari itu.

            “Jika demikian, kita ke makam ibumu pukul tiga sore ya, supaya tidak panas juga” Kata Bapaknya.

            “Baik Pak, nanti sepulang sekolah, Sartono juga akan mampir ke pasar sebentar untuk membeli bunga agar bisa ditaburkan di makam Ibu” Kata Sartono mengiyakan ucapan bapaknya.

            “Untuk uangnya, sisa minggu lalu masih ada kan? Kamu pakai dulu tidak apa – apa. Nanti bapak ganti” kata Bapaknya lagi.

            “Masih, Pak.., memang rencananya nanti uang itu akan Sartono gunakan untuk membeli bunga.” Jawab Sartono.

            “Baiklah, Bapak pergi ke sawah dulu ya., supaya cepat selesai dan kita dapat segera pergi.” Kata Bapaknya sambil mengangkat peralatannya ke atas gerobak.

            “Baik, Pak.., Sartono juga akan mulai mengerjakan pekerjaan rumah” Kata Sartono.

            Selepas pembicaraan pendek itu, Sartono segera pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia memang pandai memasak dan sudah sekitar sepuluh tahun Ia menyiapkan makan untuk dirinya dan bapaknya. Ia memasak dan sarapan yang nanti juga akan diberikannya kepada bapaknya yang sudah mulai bekerja di sawah. Setiap kali Ia berangkat ke sekolah, Ia harus mampir ke sawah tempat Bapaknya bekerja untuk membawakan sarapan. Biasanya, ia meletakkan sarapan bapaknya dalam sebuah rantang kecil yang disusun bertumpuk tiga. Satu rantang untuk nasi, satu rantang untuk lauk, dan satu rantang lainnya untuk sayur Ia juga membawa sebuah termos berisikan air teh hangat untuk minum bapaknya.

            Pagi itu, berhubung adalah tanggal ulang tahun ibunya, Ia memasak makanan yang cukup istimewa. Ia memasak nasi gurih. Nasi kuning yang lengkap dengan telur dadar iris, kacang goreng, mentimun dan bawang gorengnya. Ia tidak takut terlambat masuk sekolah, karena Ia sudah terbiasa memasak nasi kuning dengan cepat. Karena Ia sering melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Meskipun semua pekerjaan Ia selesaikan sendirian, namun Ia tidak pernah mengeluh. Ia percaya, apa yang Ia kerjakan hari itu akan memberikan manfaat bagi orang lain, meskipun itu Bapaknya sendiri. Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk membuat masakan yang spesial untuk pagi itu. Hanya dalam waktu satu jam saja, hidangan yang enak nan istimewa itu telah siap Ia hidangkan untuk dirinya dan Bapaknya. Tanpa membuang waktu, Ia lekas – lekas mengambil rantang yang biasa Ia pakai untuk mengantar makanan untuk Bapaknya di sawah. Ia lap terlebih dahulu rantang tersebut, untuk memastikan tidak ada kotoran yang menempel di sisi dalam maupun luar rantang tersebut. Setelah cukup yakin rantangnya bersih, Ia pun segera menata nasi kuning yang Ia baru saja selesai masak ke dalam tatakan rantang tersebut.


            Setelah selesai menata makanan ke dalam rantang, giliran Ia bersiap diri untuk menuju ke sekolah. Ia pun segera mengambil peralatan mandinya dan bersiap untuk mandi pagi. Pakaian seragam sekolahnya pun telah Ia siapkan sehingga tinggal memakainya saja setelah nanti Ia mandi. Hal – hal tersebut sudah biasa Ia lakukan bahkan sejak kecil. Ia benar – benar tumbuh menjadi anak yang mandiri. Ia sendiri pun, meski sibuk mengurus keperluan rumah juga tidak pernah datang terlambat ke sekolah. Selain itu, prestasinya pun cukup memuaskan. Bahkan tidak ada nilai nilainya yang merah ataupu di bawah nilai standar kelulusan.

            Tidak sampai satu jam lamanya, Ia selesai mandi. Ia segera berganti pakaian seragam sekolah dan mempersiapkan keperluan sekolah lainnya. Buku – buku pelajaran, buku tulis, dan alat tulis Ia masukkan ke dalam tas. Setelah semua siap, Ia pun segera mengambil rantang yang telah disiapkannya di atas meja makan. Barulah Ia berjalan meninggalkan rumah untuk mengantar makan dan berangkat ke sekolah.

            Perjalanan dari rumahnya hingga ke sekolah dapat Ia tempuh dengan berjalan kaki. Namun itu cukup memakan waktu dan Ia bisa saja terlambat di sekolah. Sehingga Ia lebih memilih untuk mengendarai sepeda Bapaknya yang sudah cukup tua dan bentuknya sudah tidak populer lagi saat ini. Sepeda itu adalah satu – satunya alat transportasi yang Ia dan Bapaknya miliki. Selain itu, mereka tidak memiliki alat transportasi lain. Pernah terpikirkan untuk membeli satu buah sepeda motor, namun mereka harus berpikir dua kali karena jauhnya rumah dengan stasiun pengisian bahan bakar terdekat. Sekitar lima belas kilometer.

            Ia segera mengeluarkan sepeda Bapaknya. Setelah menutup pintu dan mengunci seluruh jendela tertutup, akhirnya Ia pun berangkat ke sekolah. Dengan satu kayuhan yang kuat, Ia pun mulai mengendarai sepeda itu. Ia kayuh perlahan, melewati banyak pematang sawah yang cukup lebar. Melewati jalan kampung yang berbatu, semua Ia lalui agar dapat segera memberikan rantang makanan yang telah disiapkannya kepada Bapaknya. Dan tidak sampai lima belas menit, Ia sudah sampai di pematang sawah tempat Bapaknya bekerja. Ia segera meminggirkan sepedanya dan meletakkannya di pinggir gubuk yang ada di salah satu sudut sawah. Setelah memastikan sepedanya aman – aman saja, Ia segera mengambil rantang makanan yang Ia letakkan di sadel sepeda. Kemudian Ia pun memanggil Bapaknya sambil menunjukkan rantang makanan berisikan nasi kuning yang Ia buat tadi Pagi. Bapaknya yang sedang mencangkul mendengar teriakan Sartono, kemudian menghentikan aktivitasnya. Bapaknya segera meletakkan cangkulnya dan berjalan menuju ke gubuk tempat Sartono berdiri.

            “Letakkan di situ saja, nanti kau terlambat berangkat sekolah., “ Kata Bapaknya.

            “Baik, Pak.., Aku letakkan di dalam gubuk...” Kata Sartono sembari meletakkan rantang di lantai gubuk. “Aku berangkat sekolah ya, Pak...”

            “Ya.., ya.., hati – hati di jalan.., “ Kata Bapaknya sambil melambaikan tangannya kepada Sartono.

            Sartono segera mengambil sepedanya kembali dan bersiap untuk mengayuhnya kembali. Ia naiki sepeda tua Bapaknya dan mulai mengayuh menuju sekolah pelan – pelan. Ia kembali menyusuri pematang – pematang sawah yang lebar dan sebuah kompleks makam. Ya, di kompleks makam itulah ada sebuah pusara tempat Ibunya dimakamkan. Saat melewati kompleks makam itu, Ia berhenti sebentar dan menengok ke arah pusara Ibunya. Ia melihat pusara Ibunya tampak kotor. Banyak daun – daun kering yang gugur dan menutupi pusara Ibunya. Ia ingin sekali segera membersihkan pusara Ibunya, namun jika hal itu Ia lakukan, Ia akan terlambat masuk sekolah. Dengan berat hati, Ia putuskan untuk menangguhkan keinginannya itu dan kembali pada rencana untuk ke makam ibunya jam tiga sore nanti. Ia pun kembali mengayuh sepedanya kembali dan melanjutkannya dengan aktivitas belajar di sekolah.

----- ***** -----

            Pukul dua belas siang, kegiatan sekolah telah selesai. Lonceng sekolah telah berdentang tiga kali tanda sekolah telah usai. Sartono pun dengan segera melaksanakan semua rencananya pada hari itu. Ia segera mengambil sepeda tua Bapaknya dan bergegas menuju pasar untuk membeli bunga untuk ditaburkan ke pusara Ibunya. Letak pasar dengan sekolahnya tidak begitu jauh. Tidak sampai lima menit bersepeda, Ia pun tiba di pasar. Kios tempat berjualan bunga – bunga berada di depan pasar. Sehingga Ia tidak perlu memakirkan sepedanya di tempat parkir dan langsung menuju ke salah satu kios yang sudah menjadi langganannya ketika membeli bunga. Sesampainya di kios itu, Ia langsung mengambil satu keranjang bunga yang berisi bermacam – macam jenis bunga. Setelah membayar satu keranjang bunga itu, Ia segera kembali menuju sepedanya dan bersiap untuk pulang ke rumah. Ia harus segera tiba di rumah untuk menyiapkan segala sesuatu yang akan di bawa ke makam ibunya.

            Setibanya di rumah, Ia sudah mendapati Bapaknya sudah berada di rumah. Bapaknya terlihat sedang membereskan peralatan yang Ia gunakan di sawah. Ia segera meletakkan sepeda tua Bapaknya di dekat tempat Bapaknya membereskan peralatannya.

            “Bunganya sudah kubeli, Pak.., harganya dua belas ribu....” Kata Sartono sambil menunjukkan satu keranjang penuh dengan bunga segar.

            “Baiklah, letakkan bunga itu di situ. Kita sholat dulu baru kemudian berangkat.” Kata Bapaknya sembari menuju ke salah satu sudut di dekat pintu rumah.

            “Baik, Pak..,” Jawab Sartono.

            Sartono dengan segera meletakkan bunga itu di tempat yang sudah Bapaknya tunjukkan. Baru kemudian Ia masuk ke dalam rumah dan melepaskan seluruh atribut sekolahnya. Ia pun mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahnya dan segera melaksanakan sholat dhuhur di kamarnya. Setelah sholat, Ia pun berdoa atas rezeki dan kelancaran segala urusan pada hari itu. Setelah lima belas menit berada di kamar untuk melaksanakan sholat dhuhur, Ia pun bergegas menemui Bapaknya.

            “Pak, Apakah kita bisa berangkat sekarang. Aku takut jika nanti kita berangkat terlalu sore, hujan akan turun dan kita tidak dapat pergi ke makam Ibu” Kata Sartono.

            “Baiklah jika demikian, Bapak bersiap – siap dulu ya. Bapak juga perlu mengambil beberapa barang untuk dibawa ke makam nanti.” Kata Bapaknya.

            “Baik, Pak.., Aku tunggu di luar ya Pak.., “ Kata Sartono kembali.

            “Baiklah..,” Jawab Bapaknya sembari masuk ke dalam rumah.

            Sambil menunggu Bapaknya, Sartono mengambil kembali keranjang bunga yang tadi Ia letakkan di salah satu sudut pintu rumah. Ia tenteng keranjang bunga itu dengan maksud ketika Bapaknya sudah siap, mereka dapat langsung berangkat. Tidak sampai sepuluh menit, Bapaknya keluar dari rumah sambil membawa sebuah kotak terbungkus dengan kain berwarna kuning. Sartono merasa penasaran dengan kotak tersebut, namun Ia tidak berani menanyakan kepenasarannya itu kepada Bapaknya. Ia paham, Bapaknya pasti memiliki satu tujuan yang pasti dengan kotak tersebut.

            “Kita berangkat sekarang....” Kata Bapaknya sambil mengunci pintu rumah.

            “Baik Ayah.., keranjang bunganya sudah Aku bawa.., “ Kata Sartono.

            Sartono dan Bapaknya pun berangkat menuju ke kompleks makam yang letaknya tidak jauh dari rumah. Di situlah Ibu Sartono dimakamkan. Sartono berjalan di belakang Bapaknya sambil menenteng keranjang bunga. Mereka menyusuri banyak pematang sawah. Karena lebar pematang sawah itu hanya muat untuk satu orang saja, maka mereka harus berjalan beriringan. Baru lima menit berjalan, kompleks makam itu sudah terlihat, namun masih hanya temboknya saja. Sartono berharap sekali dapat mempercepat langkahnya, namun di depannya ada Bapaknya, dan Bapaknya berjalan dengan tenang menyusuri pematang. Karena itulah, Sartono tidak dapat mempercepat langkahnya.

            Tidak terasa berapa lama mereka berjalan, Akhirnya Sartono dan Bapaknya tiba di kompleks makam itu. Kompleks makam itu sangat sepi, hampir seperti tidak pernah ada yang mengunjunginya. Banyak semak belukar yang tumbuh meninggi hingga hampir menutupi pusara yang ada disekitarnya. Ia dan Bapaknya segera masuk ke dalam kompleks dan menuju ke pusara Ibunya. Beberapa meter berjalan, akhirnya mereka tiba tepat di hadapan pusara Ibunya. Sartono segera meletakkan keranjang bunganya dan bergegas mencari seikat sapu lidi untuk membersihkan pusara Ibunya. Ia segera menuju ke salah satu sudut kompleks makam tempat biasa menyimpan berbagai macam perlengkapan makam. Di sana Ia mendapatkan beberapa ikat sapu lidi, dan ember. Ia hanya mengambil seikat sapu lidi dan embernya saja yang kemudian Ia isi dengan air. Kemudian Ia segera kembali ke pusara Ibunya dan mulai membersihkan daun – daun kering yang berguguran di atas pusara. Setelah beberapa kali sapuan, kini pusara Ibunya tampak bersih, Ia pun melanjutkannya dengan menyiramkan air ke atas pusara untuk membasahi tanahnya. Barulah Ia taburkan bunga di atasnya.

            “Pak.., makam Ibu sudah cantik lagi...” Kata Sartono.

            “Baiklah, sekarang mari kita doakan Ibumu” Ajak Bapaknya.

            “Baik, Pak....” Kata Sartono lagi.

            Mereka berdua pun segera duduk bersimpuh di depan pusara itu. Bapaknya kemudian memimpin berdoa. Lima belas menit lamanya mereka berdoa. Setelah selesai, barulah Ayah Sartono menaburkan bunga ke atas pusara.

            “Selamat ulang tahun, Ibu.., “ Kata Sartono lirih

            “Ibumu pasti senang Nak, engkau masih mendoakan dan mengucapkan selamat ulang tahun buatnya meski engkau tidak pernah melihatnya.” Kata Bapaknya.

            “Aku masih bisa merasakan Ibu, Pak.., Aku sering merasakan Ibu memberikanku semangat ketika aku tidak bersemangat, Aku sering merasakan Ibu selalu membangunkan tidurku sehingga Aku tidak pernah bangun terlambat......” Kata Sartono.

            “Bapak memiliki sesuatu penting yang ingin disampaikan kepadamu, Nak.., “ Kata Bapaknya sambil menunjukkan kotak yang berbalutkan kain berwarna kuning. “Beberapa jam sebelum Ibumu meninggal, Ia meminta Bapak untuk menuliskan apa yang ingin disampaikan Ibumu, namun Ia juga meminta agar isi tulisan itu disampaikan saat tahun ke lima belas tahun kematiannya. Hari ini adalah tahun kelima belas kematian Ibumu, Kau berhak untuk mengetahui isi kotak ini, Nak...”

            “Sebenarnya, apa isi kotak itu, Pak...” tanya Sartono kepada Bapaknya.

            Bapaknya segera membuka ikatan kain kuning yang menutupi kotak itu. Tidak memakan waktu lama, kotak itu akhirnya terlihat juga wujudnya. Itu adalah kotak kayu biasa yang terdapat ukiran nama Ibu Sartono di salah satu sisinya. Bapaknya segera membuka kotak itu dan mengeluarkan secarik kertas yang sudah tua, berwarna kekuningan, dan lusuh.

            “Ini adalah harapan Ibumu, Nak.., “ Kata Bapaknya “Ibumu memintaku untuk menuliskan apa yang ingin Ia sampaikan buatmu di tahun kelima belas kematiannya, karena Ibumu merasa, pada saatnya itulah, kamu sudah dirasa cukup siap untuk menerima harapan Ibumu.

            “Apa, Pak..? Aku ingin mendengarkan harapan Ibu....” Tanya Sartono.

            “Baiklah, dengarkan baik – baik, Nak.., “ Kata Bapaknya.

           Nak, saat pertama kali Ibu melihat dirimu, Ibu sangat senang.., tapi pada saat itu juga, Ibu juga merasa Ibu tidak dapat menemanimu hingga dewasa.... Namun Ibu merasa sangat bangga dapat melahirkanmu di dunia ini dan kau menjadi satu – satunya harapan Ibu...,
Ibu memiliki beberapa harapan yang ingin Ibu sampaikan saat kau dewasa sekarang ini. Namun, karena Ibu tidak memiliki banyak waktu, Ibu hanya dapat meminta Bapakmu untuk menuliskannya di atas secarik kertas tua dan lusuh ini.
Nak..,
Jadilah Orang yang selalu santun,
Jadilah Orang yang selalu berguna, meskipun akhirnya kau akhirnya dicampakkan,Jadilah Orang yang selalu jujur, meskipun di dunia ini sudah sulit dijumpai orang yang jujur.Selalu kuatkanlah dirimu dan Tetaplah tersenyum, ya Nak.., meskipun Ibu sudah tidak dapat menemanimu.., Ibu akan selalu melihat dari tempat Ibu sekarang berada...Ibu akan sedih jika engkau sedih..,
Ibu akan senang jika engkau senang..,Tetaplah jadi anak yang dapat Ibu banggakan..,
Karena kaulah satu – satunya harapan Ibu..,


----- ***** -----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Aku Pulang Kuliah

MEMORI TERAKHIR

PIALA BERGILIR